Masih inget Makro ? Itu loh… pelopor hypermarket2 di Indonesia sebelum hypermarket2 lainnya macam Giant & Carrefour menjamur di Indonesia.

Seiring dengan menjamurnya berbagai hypermarket di pelosok jabodetabek, nama Makro terkesan agak tenggelam, salahsatunya karena kalah mentereng dibandingkan Giant atau Carrefour. Padahal, Makro inilah yang menurut gue setidaknya mampu mendidik para konsumennya, IMHO 🙂 Di Jakarta, hypermarket Makro ini dibangun di pinggiran kota (contoh : yang di PasarRebo sono). Kira-kira 200m setelah keluar tol, mobil yang mau menuju ke Makro harus belok kiri-masuk ke sebuah jalan, yang berujung pada area parkirnya Makro yang luas. Emang namanya juga siy, ikut merepresentasikan ukurannya yang “makro” alias gede n luas…. kayak hanggar gitu. Untuk membuat toko seluas ini & mengakomodasi ukurannya yang emang “makro”, memang paling tepat dibangun bukan didalam pusat kota, melainkan di daerah2 suburban yang masih menyediakan lahan luas 😛 Bayangkan kalau misalnya bikin hypermarket didalam gedung pertokoan, trus untuk parkirnya aja musti naik ke lantai tujuh sementara hypermarketnya dua lantai dibawah lantai dasar, belum lagi parkirnya ngantri puanjaaaang pula… hiiih, kayaknya nyari parkirnya aja udah bikin pusing ya ? Apalagi kalo ntar pas belanja & rebutan barang-barang sale ? 😛 Trust me, belanja di hypermarket dalam pertokoan kayak ITC itu jauh lebih memusingkan daripada belanja di Makro yang luaaaas n legaaaa ini.

Selain itu, karena dibangun di pinggiran kota, Makro ini praktis jadi tidak merebut lahan dan mata pencaharian pedagang tradisional. Tidak seperti Carrefour yang dibangun di tengah-tengah area pasar Blok M-Melawai itu, yang kemudian mematikan sumber penghasilan pedagang kecil.

Kembali ke Makro. Selain area parkirnya luas, gedungnya juga luas berlangit-langit tinggi. Yang gue lihat, di beberapa bagian atapnya sengaja dibuat tembus cahaya agar penerangan gedung di siang hari cukup memanfaatkan penerangan sinar matahari. Hm, smart 😉 Yang juga unik adalah : disini kudu beli barang secara borongan, dalam partai besar. Kalau gak beli segantang penuh, yah minimal beli per-tiga items. Kecuali electronics, home appliance & kitchen utensils (itupun hanya beberapa jenis), nggak ada ada barang yang dapat dibeli per-satuan. Bagi yang menjalankan usaha jualan di warung atau jualan makanan, asik juga bisa belanja sekaligus disini (alternatif lain selain memesan dari supplier langsung). Gue sempat bengong saat melihat selai kacang favorit gue yang dijual di Makro; biasanya kalo beli di Giant/Carrefour, adanya cuma size 200 gr, eh… di Makro dijual dalam ukuran 1 kg !!! Buset, bisa buat mandi lulur selai kacang tuh 😀 Begitu pula dengan kecap. Bokap gue niy demen banget masak apapun pakai kecap cap Bango… makanan apapun nyaris selalu dikecapin sehingga stok kecap di lemari dapur cepat habis. Waktu gue & bokap sedang menyusuri bagian saus & kecap, kami menemukan kecap Bango yang dijual dalam jerigen 5 liter. Otomatis gue ngakak sambil ngeliatin mukanya bokap… LIMA liter bo’, bisa buat persediaan kecap selama setahun…! Si Bokap yang ngerti kenapa gue ngakak, langsung menyeret gue pergi dari section itu, hahaaa… 😛

Lalu, ada satu hal lagi yang bikin gue kagum sama Makro.

Pas gue, bokap & nyokap ngantri bayar belanjaan, gue lihat pembeli yang sedang membayar belanjaannya di kasir tu sibuk memasukkan belanjaanya ke dalam tas nilon seukuran karung. Tas nilon tersebut disiapkan sendiri oleh si pembeli. Sempat gue berpikir, apa nih toko tidak menyediakan tas plastic seperti toko-toko pada umumnya, ya ? Pas gue menoleh ke kanan, pertanyaan gue pun terjawab. Pada sebuah cantolan, tergantung tas-tas plastic merah yang ukurannya lebih kecil dari karung beras, bertuliskan “Makro”. Dan, tas-tas plastik tersebut ternyata dijual seharga Rp.2000,-. Misalnya kalau belanjaan kita ni banyak… let’s say sekitar 5-10 tas, berarti harus keluar Rp.10.000-20.000 buat beli tas plastic doang.

Masih amazed, kemudian gue nengok ke kiri; di sudut jejeran kasir, tampak seorang ibu-muda asyik mengaduk-aduk boks superbesar berisi… kardus-kardus bekas ! Pastinya, ibu tersebut bukan pemulung yah… Disitu, beliau memilih 3 kardus yang kemudian dipakainya untuk mewadahi belanjaannya yang sudah dibayar. Setelah itu, dengan santainya si ibu mendorong shop-cart-nya menuju pintu keluar. Begitu pula dengan pembeli-pembeli lainnya, mereka tampak sudah biasa saat mengeluarkan tas-tas belanja milik mereka sendiri atau mengais-ais tumpukan kardus untuk mewadahi belanjaan mereka. Nggak satupun dari para pengunjung tersebut (setidaknya yang gue lihat di hari dimana gw belanja disitu yaaa…) melirik ke tas-tas plastik merak yang dijual Rp.2000,-/helai itu.

Selama ini, di hypermarket manapun yang gue datangi di jabodetabek (kecuali Makro-PasarRebo)… kantong plastic tu digunakan layaknya scrap paper. Ambil, pake, ambil pake… Santai banget mereka mengambil satu kantong plastic, mengisinya dengan belanjaan tidak penuh-penuh amat, lalu mengambil kantong plastic lainnya untuk belanjaan berikutnya. Bahkan mereka menyediakan kantung plastic kecil untuk barang2 belanjaan berukuran kecil atau barang yang dibeli dalam jumlah kecil, seperti kalau membeli sebotol shampoo, sebatang sabun, satu-pak Yakult, atau sebuah pasta gigi SAJA.

Mari kita pakai bersama ilmu matematika yang diajarkan guru2 kita jaman SD dulu : kalau dalam sehari, satu hypermarket dikunjungi 1000 pembeli, dan rata-rata setiap pembeli membutuhkan 5 kantung plastic untuk mengemas belanjaan mereka; Berapa plastic yang dikeluarkan oleh hypermarket tersebut dalam sehari ? bisa 5000-an kantung plastic… bahkan lebih. Belum lagi kalau saat belanja bulanan ? bisa 7-10 kantung plastic per pembeli ! Kalau 1 kantung plastic beratnya 10gram, berapa total berat kantung plastic yang kemudian terbuang setelah dipakai, per pembeli ? let’s say 70 gram. Kalikan dengan 1000 pembeli. Voila, 70.000 gram alias 70 kg kantung plastic. Terbuang ke alam. Itu hanya sampah kantung plastic dari satu hypermarket saja, yang tersalur melalui para pembelinya. Gimana kalau di Jakarta ada 30-an hypermarket ? Silakan dihitung jumlahnya. Belum lagi kalau sampah plastic tersebut datang dari kemasan2 makanan lainnya.

Supermarket & hypermarket di luar negeri sudah menggunakan kantong kertas setebal kantong semen (tanpa inner-lining plastik) untuk wadah belanjaan. Salah satunya karena kertas jauh lebih ramah lingkungan (mampu diurai oleh tanah), mudah untuk didaur-ulang dan bisa juga dipakai ulang. Sekarang malah katanya kantung kertas ini sudah tidak dipakai; sebagai gantinya, super/hypermarket tersebut menghimbau para pembelinya untuk menggunakan tas kain sebagai pengemas belanjaan mereka; ini karena tas kertas tetap saja punya usia batas daur-ulang. Menjawab tantangan ini, beberapa perusahaan seperti Envirosax menjual tas-tas belanja big-sized berbahan polyester dengan motif modis. Produk ini disukai karena selain ramah lingkungan, pemakai tas kanvas tersebut tampak keren saat memakai tas belanja modis ini 🙂

Kembali ke Makro (lagi); setidaknya Makro berusaha memperkecil keluarnya sampah plastic dengan cara menjual kantong plastic tersebut, daripada dikasih begitu saja for free (menurut gue sih kurang mahal, mending sekalian dijual Rp.5000,- per kantong :D). Tindakan di atas juga didukung dengan disediakannya kardus-kardus bekas yang bisa dipakai-ulang sebagai wadah belanjaan. Kardus-kardus tersebut kondisinya kokoh & bagus (bukan kardus supermie yang letoy itu), dirapikan dan ditumpuk dalam sebuah keranjang besar. Para pembeli “self-service” mengambil kardus-kardus bekas tersebut untuk mengemas belanjaan mereka; ambilnya bebas & gratis, asal nggak maruk aja 😛 Pemakaian kardus bekas tersebut mengadaptasi konsep pakai-ulang (reuse), yang secara tidak langsung memperlambat mata rantai perjalanan sampah2 kardus tersebut menuju tempat pembuangan sampah (bandingkan jika kardus tersebut langsung dibuang setelah selesai dipakai sekali).

Menurut gue, apa yang dilakukan oleh Makro ini jauh-jauh lebih “cerdas” dibandingkan dengan hypermarket atau supermarket lainnya. Mendidik konsumen untuk peduli & sadar lingkungan, kalo kata temen gue. Kalau melihat bagaimana konsumen di Indonesia (baik itu kalangan menengah keatas atau ke bawah) masih mendewakan kantong plastic, harus diterima kalau kenyataannya pembeli/konsumen di Indonesia belum bisa dibilang sebagai konsumen yang “sadar & peduli lingkungan”.

Tapi, menurut gue… menanamkan kebiasaan untuk “sadar & peduli lingkungan” ini adalah masalah membiasakan sebuah kebiasaan… yang nggak akan bisa diterapkan sampai mengakar kalau pelaksanannya dibuntuti oleh motif-motif ekonomi & alasan untuk mengeruk duit. Ini, pernah dilakukan oleh Carrefour saat “Plastic-Free Day”… dimana di hari itu, Carrefour tidak menyediakan tas plastik untuk para pembelinya, pun carrefour tidak menyediakan kardus-kardus bekas sebagai pengganti wadah belanjaan. Instead, Carrefour mengganti kantong plastik putihnya dengan kantong yang mereka sebut “green-bag”… yang terbuat dari plastik. Dijual Rp. 2000,-/helai, pula. Plastik, diganti plastik… bukan diganti kantong kain atau kardus bekas. Efeknya signifikan sih (signifikan : pembeli menolak memakai plastik “green-bag” karena harus beli dg harga lumayan mahal). Cuma yah nggak tepat sasaran & nggak mendidik pembelinya… seolah membawa pesan : “Kalo bisa beli kantongnya, beli aja lagi… cuma 20.000 ini buat 10 biji. Kenapa tidak ??”. Banyak pula pembeli yang nggak tahu kalau : jika plastik “green-bag” yang dibeli itu jebol, pembeli boleh minta ganti plastik “green-bag” yang baru, gratis. Sayang-banget kalau upaya seperti ini nggak dilakukan secara total & tidak didukung oleh sosialisasi yang bagus (demi mendidik konsumen). Nanti jadinya bukan proses daur-ulang plastik… tetapi daur-ulang plastik menjadi duit.

Gue percaya akan nasihat nyokap gue waktu gue kecil : “…bisa karena biasa”. Kalau giant, carrefour, hypermart & supermarket lainnya tidak mulai membiasakan konsumennya untuk “sadar & peduli lingkungan” (ataupun sudah-melakukannya namun dengan setengah-setengah), bakal sulit juga membuat si konsumen menjadi “sadar & peduli lingkungan”. Salah satu modal yang dibutuhkan untuk membiasakan kebiasaan sadar-lingkungan ini adalah modal “tega & konsisten”, yang dibalut senyuman simpatik untuk membiasakan konsumen mengurangi pemakaian (atau pemujaan) terhadap kantong plastic. Makro aja bisa, kok. Lanjutnya, biasakan untuk membangun budaya “re-use”… kayak Superindo, yang ngasih poin untuk pembeli setiap kali pembeli tersebut memilih menggunakan kardus bekas (bukan kantong plastik) untuk mewadahi belanjaannya; poin yang terkumpul kemudian bisa ditukarkan dengan hadiah-hadiah yang tersedia. Lagipula, hypermarket-hypermarket tersebut nggak usah takut bakalan jadi nggak laku dengan menerapkan kebijakan “sadar-lingkungan” ini… kenyataannya, semua orang sekarang butuh belanja di hypermarket (karena isinya “sagala aya”).

Plastic memang salah satu penemuan yang memudahkan hidup manusia. Gue memakai plastic kok. Bolpen n laptop gue body-nya dari plastik 😀 Sekarang nyaris semua orang memakai plastic dalam kehidupan sehari-harinya; ini nggak bisa dipungkiri karena selain pembuatan plastik tu murah, industri plastikpun terbukti memberi penghidupan untuk tenaga kerjanya. Tetapi satu kenyataan yang sekarang harus diterima adalah : dengan meningkatnya pemakaian plastik (yang dibarengi oleh tingkat disposal yang tinggi), kini plastik sudah menjadi salah satu limbah sampah yang sangat sulit diuraikan alam. Plus, ada efek negatif dari senyawa kimia yang terkandung dalam plasticizer-nya plastic (contoh : dioxin), yang dilepaskan saat plastik dibakar atau dipanaskan (terbayang kalau anda memakai cangkir plastik saat menyeduh kopi ?). Saat senyawa kimia ini lepas terhirup oleh manusia, akibatnya bisa mempengaruhi sistem hormon & reproduksi.

Jadi untuk mengurangi jumlah sampah plastic, menurut gue sih yang paling masuk akal dilakukan adalah memperpanjang mata rantai pemakaian plastik tersebut. Memperlambat berubahnya plastic menjadi sampah. Bisa dengan menggunakan kantong plastic tersebut berkali-kali (terserah buat apa, asal jangan buat makanan ). Bisa juga dengan menolak menggunakan kantong plastic saat berbelanja, tetapi menggunakan tas belanja berbahan kanvas/polyester/nilon (yang bisa dipakai berkali-kali karena lebih kuat daripada kantong plastik)… atau memakai ulang kardus–kardus bekas untuk mewadahi belanjaan (jika belanja dalam jumlah banyak). Kalau beli barang kurang dari 10 item atau barang-barang berukuran kecil, mending dimasukin langsung ke dalam tas daripada dibawa pakai kantung plastic kecil. Biasakan pula untuk membeli barang2 dalam kemasan besar (misalnya, lebih baik membeli satu pouch sabun cair berukuran 1 liter, daripada membeli 5 botol sabun cair ukuran 200 ml). Modali juga diri anda -wahai para corporate slave- dengan peralatan makan non plastik & mug keramik/gelas beling yang setia diparkir di meja kantor/cubicle masing-masing, sehingga tidak perlu menggunakan plastic cup yang disediakan di samping dispenser air minum, atau sendok plastik dari warung2 nasi tempat beli makan siang. Bagi ibu-ibu atau yang doyan masak, silakan memakai sendok kayu untuk memasak & memakai wadah keramik/kaca untuk menyajikan makanan panas, daripada menyajikannya di piring Bakelite, melamin atau plastic. Kalau takut piringnya pecah, pilih produk Bakelite /melamin yang benar2 berkategori “food grade” (hanya dijual di supermarket atau toko2 perabot rumah tangga yang bagus, bukan di pasar SOGO-Jongkok Tenabang 😀 ). Mending beli melamin food-grade yang agak mahal, daripada beli melamin murahan yang banyak menghasilkan lepasan dioksin.

Masih ada banyak lagi cara yang bisa dilakukan. Modal utamanya adalah kesadaran & disiplin untuk membiasakan diri & untuk “melihat” apa yang terjadi di sekitar kita. Dimulai dari satu orang, dimulai dari diri sendiri.

(^^)

PS : tulisan ini nggak dimaksudkan untuk beriklan yaa… cuma mau ngasih insight aja kok 😉