Pernahkah saat tenggelam dalam kesibukan, kamu merasa tidak-punya-cukup-waktu untuk melakukan hal-hal diluar kesibukan itu sendiri ? Sampai2  dalam hati berharap seandainya sehari itu adalah 27 jam, bukannya 24 jam ?

Sebenarnya, bukan masalah  “punya-atau-tidak-punya-waktu”.

Gue selalu melihat konsep waktu seperti sebuah… kantong kain, yang nggak bisa melar.

Jika waktu diibaratkan seperti sebuah kantong, maka Tuhan ngasih volume (baca=jatah isi) kantong-waktu yang sama untuk setiap manusia di muka bumi ini : 24 jam sehari, 60 detik semenit, 7 hari seminggu. Segitu-gitu aja jatahnya, kantongnya nggak pernah melar.

Fitrahnya, manusia kemudian akan mengisi kantong-waktu mereka dengan beberapa hal yang mereka butuhkan. Seperti kebutuhan untuk makan, minum, menetap, cari duit & cari persahabatan.

Tetapi, tenyata mereka tidak pernah puas. Mereka selalu “ingin” akan ini dan itu; inilah yang cenderung membuat manusia suka membandingkan diri mereka dengan manusia lainnya.  Lalu, dimulailah perlombaan mengisi kantong-tersebut dengan lebih banyaaaaak lagi hal-hal yang mereka inginkan. Seringnya, disertai dengan alasan : “Pokoknya gue pengen itu, titik”

Saking sibuknya mereka mengisi kantong-waktu, mereka nggak sadar kalau kantong-waktu miliknya kepenuhan. Kepenuhan, karena dijejali berbagai macam kesibukan & hal-hal yang dikejar, diraih tiada henti. Padahal, awalnya hanya berasal dari embel-embel kata “ingin”, yang didahulukan sebelum kata “butuh” (kedua kata ini seringkali nggak terlihat bedanya, padahal… beda banget).

Saat kantong itu terus  dijejali penuh-penuh oleh bermacam hal yang diinginkan… akhirnya kantongnya jadi terasa berat. Menjelma menjadi beban, yang susah dibawa kesana-kemari saat menjalani keseharian.

Mereka jadi bingung. Lalu, keluarlah kalimat alasan itu : 

“nggak-punya-waktu”.

“Gue nggak sempet makan-malam bareng anak-anak gue, apalagi sarapan bareng. Pas gue pulang, anak2 gue udah tidur. Pagi pas gue ngantor, anak2 gue masih tidur... kayaknya gue udah hampir-hampir nggak punya waktu buat mereka.”

“Ma, Pa, aku nggak bisa dateng ke acara kumpul2 keluarga. Iya, Ma… aku tahu. Tapi Aku lagi sibuk banget nih soalnya.. Nggak punya waktu buat ikut. Kumpul2 keluarga berikutnya aja deh, baru aku ikut…”

Saat kantongnya kepenuhan, hal-hal yang mengisi kantong itu pun akan saling menekan satu sama-lain, bergesekan menciptakan friksi yang… samasekali tidak nyaman. Semakin diisi, maka semakin menekan & menghimpit. Pada manusia, semua tekanan, himpitan & friksi ini keluar dalam bentuk yang mungkin akrab kita dengar : stress.

Jadi, bukan berarti kita “punya-atau-tidak-punya-waktu”.

Waktu itu selalu ada. Tersedia, dalam jumlah segitu-gitu aja. Nggak berubah.

Yang harus ditanyakan bukanlah :  “Kenapa nggak bisa punya waktu ?”.   Tetapi : “Apa yang anda lakukan dengan waktu yang anda miliki ?”

Dari analogi di atas, menurut gue ada satu jenis manusia yang beruntung : yaitu manusia yang pada saat mengisi kantong-waktu miliknya, mereka sadar & tahu betul apa yang hendak mereka isikan kesitu (prioritizing)… DAN mereka tahu pula cara mengeluarkan hal-hal yang sudah tidak perlu berada didalam kantong-itu lagi.

Kalau menurut Anda, bagaimana ?