Waktu siap-siap pindahan ke Penang, yang terpikir oleh gue adalah :

ah, cincay…Malay ini. Deket sama Indonesia. Pasti nggak beda-beda jauh, dan gue nggak bakal homesick selama disana.

Ternyata… gue malah beneran kena homesick. Dan, itu datangnya dari empat benda berikut :

1. kecap.

2. teh.

3. sambel.

4. sabun cuci muka (foaming facial wash).

Nggak. Gue nggak merindukan Indomie atau Supermie sampe berdarah-darah (disini ada Mie Sedap, tapi NGGAK ADA Supermie dan Indomie, lho). Gue kangen sama martabak manis, but i finally succeeded making tons of it.  Tapi buat 4 benda diatas itu… gue nyerah deh. Gue gak menyangka kalo gue akan homesick karena keempat benda tersebut.

Gimana bisa homesick, mari kita bahas satu-persatu :

1. Kecap : gue nggak pernah nyadar kalo ternyata selama nyaris 26 tahun ini, gue hidup seia-sekata sama kecap. Terutama pas makan. Huhuhu, masih lekat di ingatan gue jenis makan siang favorit gue semasa kecil : nasi putih hangat2 + telur ceplok DAN siraman kecap cap Bango (Oia, waktu kecil, kalo makan siang, gue makannya bareng alm.Eyang Tie; Eyang bahkan sampe beliin gue satu set piring+mug warna pink yang cantiiik banget… acara makan gue nggak pernah senikmat ituh). Later, I always put a generous dash of kecap cap Bango di atas nasi hangat yang gue makan. Bukan kecap lain. Nggak tahu kenapa, kecap yang satu itu pas aja rasanya.

Waktu disini gue selesai belanja kecap, gue hepi sekaligus penasaran banget mencicipi rasa kecap produk sini yang baru gue beli. Udah sakaw pengen makan pake kecap neh !! Pas gue cicipin…

Glek.

OH, OKeeey… Rasanya aneeeeh. Baru kemudian gue belajar kalau makanan disini (yang kiblatnya ke masakan Peranakan Melayu-Cina) lebih banyak memakai kecap asin cair dan dark soy sauce (kecap item AJAH yang konsentrasinya pekat), bukan kecap manis yang gurih & kental ituh. Sedih banget, huhuhuhu. Bahkan di section makanan impor, mereka gak menjual kecap cap bango pun kecap ABC. Waktu gue tanya2 ke beberapa teman2, mereka bilang di sebuah pasar di tengah kota sana, ada yang jual kecap cap Bango. Tapiiii (ada “tapi”nya lagi ni)… nggak setiap saat disana ada kecap cap Bango yang ready-stock. kalau ada, itupun biasanya dijual dengan harga nyaris 3x lipatnya. Hiiiiihhh…!!

Waktu gue cerita ini ke Yogi (temen SMU gue yang skrg lagi kuliah di Eindhoven), dengan “happy”nya si Yogi bercerita kalau dia baru aja sukses bikin sate ayam & rasa sate-nya dipuji-puji sama teman2nya yg ikut nyicip. Yogi cerita kalau semua bahan2 & bumbunya dia dapatkan di sebuat toko yang nggak jauh dari dorm-nya. Di toko tersebut, dijual berbagai jenis produk makanan Indonesia dari mulai teh Sariwangi, bubuk kaldu Royco, Indomie, sampai ke…KECAP CAP BANGO. Ada semua-lah tersedia disana. Terutama KECAP cap BANGO. Iya, kecap yang gue cari-cari ITUH.

Aaaaarrrgggh!! Kenapa kecap cap Bango, primadona-nya kecap se-Indonesia ini, nyaris nggak bisa ditemukan di Malaysia, negara yang paliiiing dekat dengan Indonesia ??? Instead, kecap ini dengan begitu mudahnya ditemukan di Belanda sana, yang jauhnya ribuan kilometer dari Malaysia ????

Ini yang gue selanjutnya sebut sebagai “Paradoks-Kecap-cap-Bango” (emangnya temuan Eisntein aja yang bisa punya paradoks ?).

Bete abis deh gue. I miss my kecap Bango, hiiiks…

2. Teh : pengalaman yang sama dengan si-kecap terulang lagi dengan teh ini. Oia : I’m a tea addict. I always start my day with 2 cups of tea. Sehari gue bisa minum 4-5 gelas mug (bukan “cup”) teh, baik dengan ataupun tanpa gula. Sebenarnya manakala gue minum teh, gue nggak hanya sekedar glek-glek-glek menenggaknya habis. Gue menikmati proses membuat tehnya juga. Gue sukaaaa sekali menghirup harum uap seduhan teh yang menari-nari saat daun-daun tehnya disiram air panas. Gue sangat-menikmati rasa pertama dari sesapan teh yang menyentuh ujung lidah gue, saat gue mencicipi tehnya sedikiit di sendok kecil. Buat gue, aroma teh yang “pas” bisa menghasilkan rasa teh yang enak.  Lidah gue jadi peka dengan aroma seduhan dan keasaman rasa teh. Kalau rasa & aroma teh yang gue minum bisa menyentuh jiwa dan saraf2 indera pencecap gue, gue bisa fanatik dengan jenis teh tersebut. Dari beberapa jenis & merk teh, gue fanatik sama teh seduh cap botol & teh melati cap sosro. Percaya deh saudara-saudara sekalian, Indonesia MEMANG memiliki teh berkualitas terbaik di dunia. Uoh !!!

Tadinya sebelum pindah kesini, gue mau bawa beberapa bungkus teh cap botol atau Tong Tji (yang kemasannya dibungkus kertas-kopi  itu). Tapi nggak jadi, daripada dikira bawa-bawa bungkusan daun ganja kering 😛 Jadi, sebagai subtituen, begitu sampe disini  gue mencari beberapa produk teh lokal yang disinyalir memberikan “rasa terbaik”. Pas nemu yang pas, gue beli sekotak teh dulu. Gue seduh pula sesuai petunjuk (beda jenis teh, beda cara menyeduh-nya lho). Pas gue minum…

. . .

Nggak deh. Masamnya terlalu pekat. Kalo diakalin dengan dibuat jadi lemon tea, rasanya jadi aneh. Mungkin agak mendingan pas dicampur susu, tapi rasa khas teh-nya malah jadi hilang… yang tertinggal hanya masamnya saja. Demi bisa terus menenggak teh, akhirnya gue “pindah-haluan” ke teh Lipton, Dilmah & Twinnings yang rasanya memang enak, tapi bikin kantong kering, sambil dalam hati gue merintih-rintih : “I want my Teh-melati-cap-Sosro… hiiiiks !!!”

3. Sambel : OK, gue gak mau membahas dengan detil mengenai sambal karena ternyata bisa menyinggung nasionalisme dari masing2 pihak bangsa. Yang gue bisa deskripsikan mengenai rasa sambel (baik sambel homemade maupun sambel botolan) disini adalah : kalo beberapa bule sering mendeskripsikan sambal sebagai “chili paste”, NAH… seperti itulah rasanya sambel disini : benar-benar kayak “chili paste” DOANG, tanpa bumbu2 lain.

Luckily, nggak semua makanan sering gue makan bersama sambal. Hanya makanan2 yang default-nya pedas yang gue makan bersama sambel (jadi, gue gak akan makan Bakso atau BigMac dengan sambal. Beneran). Cuma ya ituh, karena gak bisa nemu sambel yang enak, maka setiap kali ada yang cerita ke gue kalau mereka baru aja makan nasi timbel plus lalap sambel terasi, atau makan nasi padang plus sambal balado atau sambal cabe ijo, hati gue rasanya agak-agak GIMANAAAAA GITUH… Kayak pengen NYEKEK yang cerita ajah. Huhuhuhuu…

I guess, untuk kasus kecap, teh & sambal diatas… itu masalah cocok-cocokan lidah aja. Tapi yah teteeeeeup, homesick gue yang paling berats disebabkan oleh 3 benda tersebut. Soalnya, rasa  aroma dari masing2 kecap, teh & sambel itu kayak udah nyatu-mendarah-daging dalam diri gue…

Oh, OK… terlalu hiperbola ya ? Biarlah… namanya juga kangen.

4. Sabun Cuci Muka (Foaming facial wash) : Nah, ini dia nih. Yang terakhir & yang efeknya keliatan jelas, di kulit wajah gue.

Gue sebagai pemilik kulit wajah ekstra-berminyak, menyadari kalo produksi minyak wajah gue hanya dikalahkan oleh produksi minyak oleh negara2 OPEC. Serius. Serba salah aja, kalao lagi di ruangan ber-AC, kulit wajah gue gak berkeringat tapi mengeluarkan ekstra minyak yang bikin wajah mengkilap. Kalau lagi terekspose panas, wajah gue akan berkeringan DAN ekstra berminyak. Pas gue bubuhkan pelembab di wajah gue, yang ada wajah gue nggak hanya jadi lembab, tapi juga EKSTRA berminyak. Kalau didandanin dengan make-up agak tebal, hanya butuh waktu sejam untuk melunturkan make-up tersebut dengan produksi munyak wajah gue sendiri. Sebel nggak sih ??

Dan nggak cukup hanya dengan blot-paper saja untuk mengangkat ekses2 minyak di wajah, itulah sebabnya gue lumayan sering mencuci wajah gue dengan sabun pembersih wajah (yang cocok dengan wajah gue hanya merk Nivea & udah 10 tahun belakangan gue setia sama produk ini). Tiap wudhu siang & sore hari, gue pasti cuci muka & minyak di wajah gue bisa berkurang kadarnya, awet sampai masa isya’, hehehehe. Karena sering cuci muka, gue jadi lebih banyak menghabiskan stok sabun cuci muka gue. Untung si Nivea ini harganya relatif murah, yang kemasan tube 100ml harganya nggak pernah lewat dari Rp.15.000,-.

Begitu disini & jalan2 ke Watsons… gue gembira banget karena menemukan sabun cuci muka Nivea ini 😀 Akhirnya.. akhirnya. Tapi… kegembiraan gue langsung berubah menjadi KENGERIAN saat melihat label harganya : RM 11.90, coba ya saudara-saudara !!! Ukuran sama-sama 100ml, harganya bisa beda sampe dua-setengah-kali lipatnya. Kalikan aja RM 11.90 dengan Rp.3000,-, maka jadilah gue disini harus menghabiskan setidaknya Rp.35.700,- untuk sebotol sabun pembersih wajah yang cocok dengan kulit gue, yang mana di Indomart depan rumah bisa gue dapatkan dengan harga nggak sampai setengahnya !?

Well, untuk sementara, dengan hati miris, gue hanya bisa merelakan duit setara Rp.35.700,- ditukar dengan sebotol pembersih muka yang udah jodoh banget sama kulit gue…

>>>>>>>>>

Karena itulah, Saudara-saudara… Saat nanti gue pulang ke Indonesia & kembali lagi kesini, demi kedamaian & kelangsungan hidup gue disini, gue BERTEKAD untuk memborong & menyelundupkan empat produk berikut :

Kecap cap BANGO,

teh cap botol atau teh melati cap sosro,

Sambel cap Belibis,

dan… sabun cuci muka favorit gue !!!!!!

UOooH !!!