Sebagai pendatang baru, kalau gue ketemu dengan sesama orang IND yang udah duluan tinggal di Penang, mereka suka bertanya seperti ini :

“Gimana, betah di Penang ?” (jawab : ya betah & harus betah, lha wong disini nemenin suami)

“Penang panas, gak ?” (jawab : sama aja kayak Surabaya & Jakarta)

“Gimana makanannya Penang ? Cocok gak sama lidah ?” (jawab :*nyengir 😀 *ini nggak pernah dijawab, soalnya penjelasannya panjang* 😛 )

Hehe, pertanyaan standar sih. Setelah melewati masa adaptasi selama bulan puasa (pake sakit pula), gue mulai bisa betah tinggal di Penang. Penang panas ? Yah, bandingin aja sama Jakarta, atau Surabaya yang sama-sama kota pantai kayak Penang. Mungkin bukan panas, tapi meranggas. Untung aja sekarang hujannya udah mengguyur Penang, setelah 2 bulan meranggas.

Kalo soal Makanan ? Nah, ini dia…

Culture shock gue cuma 2 :

1.waktu gue (pernah) parno & merasa gak aman untuk keluar rumah sendirian di Penang, saat berita kasus penyerangan thdp perempuan2 IND (umumnya TKI) disini sedang santer;

2. makanan di Penang.

OK.  I have a confession to make.

I always called myself an “taster”, simply because i love to fulfill my curiosity toward many kind of food from many countries (…not including the extreme food. yes, i’m not talking about trying “soto jeroan” or “fried-testicle” or even eating cobra’s bile). But basically, deep-down inside, I have an Indonesian mouth. It simply means that I can’t live without rice, fresh “lalapan” vegetables, sweet soy sauce (kecap), sambal, foods with terasi, spicy and hot food. Those ingredients are the main list in my gastronomic dictionary.

During my first month in Penang, I had a massive Indonesian-mouth attack.

Pada awalnya makanan di Penang ini enak-enak & “mblengerrr”, apalagi kalau suka makanan yang berkari, spicy & pedas. To tell u the truth, Penang is a BIG culinary “melting pot”… Mau makanan khas Nonya yang persilangan kuliner cina & melayu, ada. Mau makanan India mahzab India-muslim (mamak), ada. Makanan India yang mahzab aseli, ada juga. Mau makanan melayu aseli, ada. Makanan oriental, ada (cuma sayang bgt, banyak yang gak halal). Makanan Thai yang pedas-asemnya bikin merem-melek, ada. Goreng-gorengan a la hawker-food-stall, ada. Bagi penikmat gaya hidup “makan-enak-dan-murah”, Penang adalah surganya. Penang memang terkenal sebagai kota kulinernya Malaysia, meskipun banyak juga yang bilang makanan-Sarawak nggak kalah nampolnya dibandingkan sama Penang.

Bukan berarti gue gak makan sama sekali masakan Penang. Gue SANGAT menikmati char kuay teow, curry mee, nasi kandar , chicken tandoori, juga sambal belacan plus nasi lemak. Memang, di seantero malaysia, masakan Penang terkenal bercitarasa paling “spicy” & segar karena banyak dipengaruhi kuliner cina, thailand & india (baru-baru ini Penang juga diserang kelezatan masakan Indonesia, hehehe) dari para imigrannya. Belum lagi, disinilah tempat lahirnya masakan ala Nonya, yakni persilangan masakan melayu aseli dengan bumbu indocina. Plus, Penang juga kaya akan hasil lautnya. Tuh, kurang apa coba ???

Satu dua kali menikmati kekayaan kuliner Penang sih rasanya masih OK. Hanya saja, kalau udah berlebih…  jadi overwhelmed. Trus, jadi kangen sama masakan rumah… Masakan yang gue makan sejak kecil… Masakan yang gue tumbuh bersamanya… Masakan-aseli-negara-tercinta 😛 Sebagai orang yang tumbuh bersama sayur-lalapan yang seger, sambel & masakan pedas-asam-spicy, lama-lama perut gue “kaget” juga diisi masakan sini yang berkuah santan, berlemak, cenderung asin-manis, less-spicy & kurang sayuran segar. Beneran. Akhirnya, merindu-berat juga sama sambel-ulek… apa daya nggak punya ulekan, jadi rindunya ditahan-tahanin dulu deh… 🙁 Untuk sayur, gue harus rajin-rajin beli supaya bisa masak menu sayur yang segar. Disini, hidangan sayur murah, tapi penyajiannya nggak terlalu segar. Asam laksa Penang yang katanya terkenal asem & pedes pun gak bisa menaklukkan lidah gue. Hanya masakan Thai yang cocok sama lidah gue yang menggemari kombinasi pedas, asam, segar sekaligus spicy. Tapi, masa’ tiap saat harus makan masakan Thai ? Bisa bangkrut-lah. Pokoknya, gue sempet bete & butuh effort lebih untuk beradaptasi dengan masakan sini. Lidah & perut ini jadi berat rasanya, kalo selalu diisi makanan yang manis & penuh lemak-santan. I wanted something fresh, hot & spicy like lalapan, beberok or karedok. Something tangy, sour but still delicious like sayur asam, soto ayam Lamongan, pepes oncom, sop rawon and lalapan sambal terasi. Pokoknya, something with less santan, kari, sugar.

Yah, gue nggak sering-sering kangen juga sih sama makanan Indonesia. Cuma kalo udah kangen… ya kangen. Kayak sakaw 😛 Lagipula, gue hanya menikmati kekayaan kuliner Penang di saat-saat tertentu saja. Menikmati kekayaan kuliner Penang setiap saat ? Get real… bisa bikin badan yang udah melar ini jadi tambah melarrr.

Jadi, buat makanan sehari-hari gue memilih untuk masak sendiri. Cuma yah… kalau “kangen-masakan-Indonesia”nya lagi kumat-kronis, yaudah, langsung deh mencari makanan yang rasanya rada segeran. Atau, menyambangi warung-warung makanan Indonesia yang dibuka oleh beberapa orang Indonesia disini. Masakannya tu kayak pecel ayam, soto mie & mie ayam. Iye, itu semua makanan jajanan siy… tapi sangat-sangat cukup untuk memuaskan rasa kangen gue akan makanan Indonesia.

Gue masih inget, betapa HAPPY-nya gue waktu diundang makan malam di KJRI-Georgetown. HAPPY, karena melihat sop tekwan & sayur+sambal lalap (plus tempe, tahu, ayam goreng garing & rendang padang) dihidangkan sebagai sajian utama. Saking happy-nya, gue sampai nambah 2x makan sayuran+sambal lalapnya. Tanpa nasi. Sayur lalapan, rendang & sambel doang. Rasanya gimanaaaa gitu pas lidah ini ketemu sama sambel buatan orang Indonesia aseli,  hehehe.

dsc06173
Dinner di KJRI : nasi + lalap + sambel + perkedel + rendang & ayam-tempe goreng (nggak kefoto) = Mak-Nyussss !!

Beberapa malam kemudian, gue & Baim makan nasi pecel ayam di sebuah warung, dekat tikungan jalan masuk menuju gedung apartemen kami. Kata Baim, di Penang ini hanya orang Indonesia yang bisa jualan nasi pecel ayam atau pecel lele yang “enak”. Hmmm, percaya aja deh 😀 Pas dua porsi nasi pecel ayam kami dihidangkan… wah, pandangan gue langsung tertumbuk ke sambalnya. Sambalnya bukan sambal merah, tapi sambal hijau kayak di rumah makan padang. Gue sempet kepikiran, mungkin peracik sambelnya sengaja bikin sambel cabe hijau karena takut kalo ntar orang malay jadi “gentar” melihat sambel pedessss dengan warna merah menyala, hehehe. Pas gue cicipi… hmmm, benar2 sambal IND !! Campuran cabe, bawang merah & terasinya pas, nge-blend. Dan rasa gurih ayam goreng garing-nya mengingatkan gue akan ayam goreng warung nasi pecel belakang PMI Bogor, yang suka gue datangi jaman gue kuliah dulu… 🙂

dsc06625
...mengingatkan gue akan Nasi Pecel Ayam Lamongan di jl.Pajajaran-Bogor, hehee...

yah… itu sih berlangsung kalau “kangen”nya kumat. Sekarang, gue menyadari kalo gue gak perlu makanan malaysia untuk memuaskan kerinduan gue akan masakan-rumahan. Gimanapun kangennya gue sama masakan Indonesia, ya udah, gue kangen aja. Makanan yang ada disini, ya dinikmati ajah. Susah-lah. kalau sampai mencari-cari masakan sini yang mirip rasanya sama masakan Indonesia… gak mungkin aja.

Gue pikir, mungkin masakan itu sama saja seperti manusia… dimana masing-masing jenisnya punya keindahan rasa sendiri-sendiri. Yang dibutuhkan hanyalah membuka semua indera lebih lebar untuk bisa menerima keindahan rasa-rasa tersebut. Ya kalo rasanya sambal ikan bilis beda sama balado teri medan, ya udah… terima aja. Kalau nasi padang masih lebih segar daripada nasi kandar, yah dinikmatin aja. Kalau sate ayam-nya Kelantan lebih manis & less spicy dari sate ayam Madura, mungkin memang orang sana sukanya makanan yang manis-manis. Kalau laksa Penang lebih kental rasa seafoodnya daripada laksa betawi yang harum oleh bumbu temu-mangga, toh itu memang hasil dari adaptasi si pembuat masakan di daerahnya masing2. Gue selalu berpikiran kalau untuk melihat “bentuk” adat sebuah daerah & bagaimana pembawaan orang-orang di daerah tersebut, cicipilah masakan setempat & makanlah bersama mereka. Try to eat the way they ate their food also (selama makanannya masih halal & nggak nggilani, yah…)

Jadi, gue memutuskan untuk membuka indera lebar-lebar agar bisa terus menikmati petualangan kuliner gue disini (dan mungkin, semoga, di negara2 & kota2 lainnya). Mencicipi masakan dari berbagai tempat bisa memperkaya pandangan & pengalaman. Dan gue percaya, pengalaman adalah guru “rasa” yang terbaik 😀