…setelah puas berwisata kuliner di kota-tua… hinggap dari satu kedai nasi-kandar ke kedai nasi-kandar lainnya…

…sekarang, mari kita kembali ke selera asal :

seleraasal

… selera masakan warung 😛 hanya berupa makanan tumis-tumisan yang Indonesiawi – kecuali si martabak-manis & potato’n’cheese (keduanya mudah sekali dibuat; dan pastinya, si martabak manis ini lebih enak daripada pancake 😛 ).

Hidangan tumis-tumisan atau sup yang sehari-hari ini dimasak, gue sebut masakan oblok-oblok; semua bahan dipotong & dimasak campur (dioblok-oblok) dalam wajan berisi sedikit minyak. Bahannya apa ? Bahan makanan apapun yang ada dalam kulkas… ya bawang bombay, sayuran, telur atau potongan daging ayam/beef/tahu/tempe (kalo ada). Bumbunya ? Cukup garam, gula, kecap ikan, minyak wijen & pasta bawang merah-putih+cabe buatan sendiri (memanfaatkan blender di rumah 😛 ). Kalau mau masak hidangan yang berbeda, baru deh kembali buka-buka kitab-resep 😛

Alhamdulillah, Baim bukan picky-eater… adanya daging, ya dimakan… adanya sayuran, ya dimakan… adanya tahu goreng pun dimakan. Baim makan lahap-lahap aja saat dimasakin apapun yang ada (atau jangan2 selama ini suami gue memendam protes dalam hatinya ? hehee). Plus, dengan lahapnya si Baim makan ini, gue senang karena kami jadi nggak membuang-buang makanan (albeit makanan yang udah rusak ya). Oia, kami sengaja nggak banyak-banyak makan daging, buat conditioning perut (terutama setelah seminggu kemarin “dihantam” segala jenis hidangan continental, kari & daging). Biasanya kami 3-4x/minggu makan daging-dagingan. Itupun dagingnya dicampur kedalam tumisan sayur. Jadi sekali masak, udah ada sayur & lauk pauk 😛 (istripluskokipemalas)

Ada saat-saat dimana gue bingung mau masak apa. Biasanya kalo nggak karena kulkas mulai kosong, ya karena sedang mati-ide aja untuk berkreasi di dapur (doh, kayak yang jago masak aja). Buat gue, memasak mirip seperti meditasi : musti niat, fokus & sungguh-sungguh. Kalo nggak, rasanya amburadul (Baim udah pernah merasakannya :-P).

Lain halnya kalau gue lagi sakit, atau lagi males masak; kalo udah gini, giliran Baim yang “terjun” ke dapur. Gantian, apapun yang Baim masak, ya gue lahap dengan senang hati. Untungnya, selera kami berdua nyaris-nyaris mirip. Kalopun ternyata lagi sama-sama pengen “menjauhi” dapur… di bawah ada warung masakan Thai & warung makanan Indonesia a la warteg (dan yang masak orang Indonesia beneran 😀 ). Tapi kebiasaan makan-makan diluar ini kami rem sebisa mungkin. Mahal, soalnya.

Hari ini pas tadi menghangatkan tumis kacang panjang cah tahu sisa semalam, gue jadi teringat pada wanita tua yang gue jumpai dalam perjalanan ke Nasi Kandar Beratur, sedang tidur di bangku halte bus. Suddenly, gue merasa bersyukur…karena masih punya pilihan yang jelas. Masih bisa bertanya : “Nanti malam makan apa ya ?”.

Sementara diluar sana, masih ada banyak orang yang kurang beruntung. Yang pilihannya hanya antara ada-atau-tidak-ada (atau bahkan nggak punya pilihan). Yang (bisa jadi) hanya mampu bertanya :

“Nanti malam bisa makan atau nggak, ya…?”