Begitu menginjakkan kaki di tanah yurop, gue udah bersiap-siap untuk terlongo akan transportasi umumnya. Ternyata… Yah mayan terlongo-longo lah πŸ˜›

Dimulai saat melangkahkan kaki ke luar airport. Kami dijemput sama rekan satu labnya Baim, yang mukanya persilangan Adrian Brody & Joe Manganiello serupa Gianluca Zambrotta (ini lebih tepat, kata Baim). Trus dia bilang, maaf mobil saya kecil jadi nanti kita panggil taksi aja buat ke rumah kalian, ikutin mobil saya aja buat arahnya. Siipp lah! Dengan langkah pasti keluar melangkah menuju pintu erpot! Sampe di luar disambut suhu -5'C. Pas manggil taksi… Supir taksinya diem, trus ngeliatin Alma.

Pikir gue: buruan knapa pak, angkut kami… Dingin woy.

Trus nanya, umurnya Alma berapa. Tiga tahun, kata Baim. Lalu supir taksinya bilang: maaf, kamu harus cari taksi khusus yang bisa ngangkut toddler, coba pangil aja lagi di counter ya.

Gue, Baim & rekan labnya Baim sukses terlongo πŸ˜† Bahkan rekan labnya Baim bilang, hampur dua tahun gue disini, baru tahu kalo ternyata ada taksi yang khusus bisa ngangkut anak kecil. Jadi Baim pesan lagi taksi khusus tersebut, plus yang gedean dikit bagasinya muat ngangkut 4 koper.

Nggak lama kemudian, datanglah si taksi khusus yang dimaksud. Ternyata, disini itu kalau ada anak kecil dibawah 5 tahun yang mau naik, orangtuanya harus cariin taksi yang punya carseat. Dan biasanya taksi tersebut udah sedia dua jenis carseat: untuk bayi & untuk balita. Bisa juga sih sediakan carseat sendiri, tapi gue belum tahu juga ya apakah aneh atau tidak kalo pergi kemana-mana gotong carseat? Dua minggu kelilingan naik bus disini sih belum pernah lihat ada parents yang bawa anak & gotong carseat kemana-mana. Kalo gotong stroller mah biasa. Biasanya parents yang pada bermobil yang punya carseat.

Eniwei, buat kami sekeluarga yang hidup sehari-hari dari ngebus, ngangkot, berkereta-ria & naik taksi daredevil di Jakarta, agak lucu juga lihat Alma pas duduk di carseat πŸ˜† Awalnya dia ngambek, tapi setelah dibujuk & seatbelt dipasang, mau nurut kok. Meski mukanya masih dilipet. Mungkin dia udah terlalu lelah untuk protes ngelawan.

Jarak dari bandara ke rumah itu nggak lebih jauh dari Bunderan HI ke Blok M. Sama nasibnya kayak pas di Penang, hidup di pulau DAN dapet rumah yang deket sama bandara. Setelah bayar, sopir taksinya ngasih receipt. Untuk perjalanan sejauh less than 8km dengan durasi gaksampe 20 menit, itu kena NOk 192,-. Berapa itu kalo dirupiahin? Silakan pembaca yang budiman googling sendiri πŸ˜† Yang jelas gue langsung nyengir begitu inget selama di Penang suka misuh-misuh naik taksi dari bandara ke rumah cuma 15 menit bisa 100.000 sendiri. Makan tu taksi mahal, Ai πŸ˜†

Sebenarnya dari halte yang terdekat dengan rumah pun ada bus lewat menuju bandara. Cuma yah yakin mau gotong 4 koper & 1 balita cranky naik bus? Ya sekali-kali ini lah naik taksi, toh emang butuh. Ntar kalo ke bandaranya buat jalan-jalan backpacking, baru deh naik bus. Jiyeeee… udah cita-cita mo backpacking ajah *aamiin!*

Udah ngerasain naik taksi, sekarang giliran transportasi umum yang paling banyak dinaiki orang-orang sini: Bus. Di TromsΓΈ ada ada railway system serupa trem, tapi udah tua banget thus ditutup. Sebagai gantinya kalau mau jalan-jalan ke kampus atau ke kota, paling enak dan murah ya naik bus. Sekali naik bus 'cuma' NOK 40,-. Yuk mareee kita kurs-in ke rupiah jadi berapa. Udah? Mahal ya? πŸ˜† Tapi jangan protes dulu; itu tiket busnya sekali bayar bisa berlaku selama 1 jam 30 menit. Jadi kalo kita pergi, bayar, trus pulang naik bus lagi sebelum 90 menit kemudian, gak usah bayar lagi… Cukup tunjukkan receipt yang dikasih sopir busnya pas bayar naik bus.

Kalau naik busnya bakal sering-sering, lebih enak punya travel card Tromskortet. Ntar pas naik bus tinggal ditempelin aja di alatnya. Begitu bunyi “piip!”, otomatis ke-detect apakah masih dalam rentang waktu 90 menit sejak the most recent time naik bus, atau udah lewat & harus bayar lagi fare penuh.

Harga satu kartu Tromskortet 'cukup' NOK 120,- & bisa dipakai sampai 4x naik bus. Lebih murah NOK 10,- lah ya daripada bayar langsung di bus. Trus kalo udah punya Norwegian ID card, beli kartunya bisa isi-ulang & jatoh-jatohnya lebih murah lagi. Dan sama, ongkos sekali jalan pergi-pulang berlaku within 90 minutes. Jadi kalo pulangnya atau lanjut naik bus lagi dua jam atau tiga jam kemudian, ya dikenakan ongkos penuh. Means… Kalo mau ngemol cuci-cuci mata, yah kudu bayar ekstra. Gak mungkin juga kan ngemol cuma sejam. Sejam mah cuma numpang lewat πŸ˜›

Kalo dipikir-pikir sih secara nggak langsung, sistem seperti ini jadi 'mengajak' warganya biar lebih banyak bergerak jalan kaki. Kalau jarak tujuannya masih dekat ya mending jalan kaki sih. Dan memang iya, kebanyakan mahasiswa yang tinggal sekitar sini pada jalan kaki ke kampus. Dari kampus ke kota, barulah biasanya naik bus karena selain jalanannya berbukit-bukit, naik bus lebih enak & anget. Atau kalau saat cuaca jelek, baru naik bus. Di dalam kota pun seperti itu, kelilingan di downtown ya jalan kaki. Toh downtownnya nggak lebih besar daripada kecamatan Tanah Abang πŸ˜†

Bicara soal jalan kaki, nah ini dia. Gue sukses bengong lihat trotoar selebar-lebar alaihim di sepanjang jalanan TromsΓΈ. Trus terang, terbuka & bersih pula. Serius bikin mupeng pengen ngejajal jogging & jalan kaki kemana-mana. Tapi entar dulu deh, tunggu winternya lewat. Kenapa?

Disini kontur tanahnya mendaki gunung lewati lembah sungai mengalir ke samudra. Pertama kali ngejajal jalan kaki langsung ngebatin: Mirip San Fransisco yang berbukit-bukit, hanya saja penuh salju. Jaman pas di SF kemana-mana jalan kaki yah sukses kurus πŸ˜† Which is fine for me, jalan kaki mendaki bukit. Tantangannya ada pada… Musim. Sebenarnya jalan kaki di salju itu enak kok, asal pake kaos kaki & sepatu yang tepat. Tapi nanti saat suhu mulai menghangat… Barulah dibikin kesal oleh salju mencair yang membeku lagi & membentuk lapisan es menutupi permukaan aspal jalanan. Kadang tambah ekstra genangan air. Coba bayangkan jalan di atas lantai dingin yang tergenang air. Licin kan? OK, sekarang bayangkan jalan di atas lapisan es dengan kemiringan 45 derajat, naik bukit lalu turun bukit. Selamat deh kalo nggak kepleset gedebuk-gedebuk πŸ˜† Nggak heran di masa-masa peralihan musim ini orang-orang lebih milih naik bus ketimbang jalan kaki. Daripada bokong biru-biru, kaki keseleo & leher patah?

Kalo kata jeung @tisatisyonk, you must learn to walk like a norwegian. Kayak gimana jalannya? Next post ya πŸ˜‰ Dan nggak cuma masalah postur & cara jalan aja, tapi gear & sepatu yang tepat terbukti bisa menyelamatkan leher & kaki anda. Ciyus deh. Laters!