Sekitar minggu lalu ya, banyak dilansir berita kalau pihak pengelola TransJKT memisahkan antrian bus untuk laki-laki & perempuan, terkait dengan kejadian pelecehan didalam bus (atau di halte bus-nya ya ? cmiiw) ?

Bukannya gimana-gimana sih… tapi gue jadi bingung aja : ini halte bus, apa musholla ? Kalau pemisahan area antara penumpang yang mau naik & yang pada turun, OK-lah… kayak MRT-nya S’pore, biar flow penumpang yang mau naik & turun terkontrol rapi, nggak bejubel & nggak dusel-duselan gila. Tapi kalo pemisahan antrian berdasarkan gender ? Nggak sekalian dipakein tirai-hijab aja tuh biar beneran kepisah ? 😛

Lagipula kalau tujuannya untuk meminimalisir kejahatan atau tindak pelecehan, nggak ngefek juga kalau pas ngantri di haltenya dipisah, tapi begitu masuk bus, penumpang laki maupun perempuan kembali bejubel, apalagi kalo sampe padet kayak sarden dalam kaleng. Tetap aja akan membuka peluang buat terjadinya tindak pelecehan. Eh, serius… kayak kata Bang Napi, nih : “Kejahatan terjadi bukan hanya karena ada niat dari pelaku, tapi juga karena ada kesempatan ! Waspadalah! Waspadalah!”. Tuh… mana bisa kejadian pelecehan diminimalisir kalau ternyata kesempatan untuk pelakunya masih diciptakan (kondisi bejubelan saat ngantri/berdiri menumpang dalam bus) ??

Menambah personel keamanan nggak akan berpengaruh nyata (menurut gue) kalau ruangan haltenya juga berjubelan… gimana dia mau mengawasi & bertindak cepat kalau ketutupan oleh kerumunan orang begitu ? Dan mengharapkan korban bisa proaktif melaporkan, menggampar atau melawan si pelaku ? Nggak semua korban bisa begitu… apalagi kalo udah marah bercampur malu. Kita juga gak tahu kan pelakunya bawa pisau/benda tajam atau nggak. Orang sakit jiwa, gituh. Tapi harusnya sih pelakunya juga jangan diam aja… minimal berteriak minta tolong sambil memaki-maki atau sikut muka si pelaku. Kalau bisa ngambil high-heels, silakan tancapkan di jidat si pelaku, hehehee…

Yang paling masuk akal & mendingan, armada busnya ditambah & diatur biar sering datang, sehingga nggak tercipta antrian bejubel-jubel di halte & mengurangi kemungkinan pelaku mengambil kesempatan dalam kesempitan. Juga, kalau flow busnya lancar & armadanya banyak, bus bisa mengangkut penumpang sejumlah kapasitas normalnya…  nggak lagi bejubelan. Setidaknya, kalau udah menyediakan kendaraan umum yang nyaman, mbok ya tho kondisi lingkungan-suasana halte & didalam busnya dibuat turut memanusiakan-manusia (baca : penumpangnya). Lha kita pengguna kendaraan umum kan manusia juga, bukan kambing yang rela-serela-relanya dimasukin bejubelan kedalam truk pick-up.

Tapi mungkin karena kebutuhan juga kali ya, akhirnya penumpang musti setengah-hati rela (termasuk merelakan kewarasannya) & menahan kedongkolan kalo udah naik kendaraan umum di Jakarta (nggak cuma bus Transjakarta aja). Dan mirisnya, akhirnya tindakan kejahatan & pelecehan dianggap menjadi resiko yang mau-nggak mau, senang-nggak senang harus diambil kalau naik kendaraan umum. Mengharapkan armada busnya ditambah juga kayak mimpi… mengingatnya jadi agak-agak bikin sakithati karena gue bayar pajak sebagaimana dengan warga Jakarta lainnya, tapi kok basic needs gue sebagai penduduk (salahsatunya berupa ketersediaan transportasi umum yang murah, nyaman & aman) nggak dipenuhi ? Dikemanain itu duit pajak yang gue bayar ? Oia lupa, kan dikorupsi yah.

Kalo udah gini, suka iri sama transportasi umum punyanya ‘tetangga’-sebelah. Ada sih kasus, tapi kok mereka bisa meminimalisirnya dengan cara yang jitu. Dan mirisnya, karena di Jakarta ini mengharapkan upaya maksimal nan jitu tersebut masih mimpi diawang-awang, upaya ridiculous/se-ala-kadarnya seperti pemisahan antrian penumpang laki & perempuan jadi jalan keluar yang terlihat “agak” masuk akal. Ironisnya sih gituh.