Judulnya aneh ya ? Hehee… ini terkait dengan kampanyenya WWF di tanggal 27 Maret nanti : Earth Hour.

Earth Hour oleh WWF akan kembali diadakan, dimana kampanye perubahan iklim global ini mengajak individu, pelaku bisnis, pemerintah, kelompok & sektor publik lainnya di seluruh dunia untuk mematikan lampu hanya dalam waktu 1 jam, pada hari Sabtu, 27 Maret 2010 pukul 20.30 – 21.30 (waktu setempat). Dengan kegiatan-mematikan-lampu-selama-sejam tersebut, tujuan lanjut kampanye Earth Hour sendiri adalah membiasakan pola hidup hemat energi (go green !) & melanjutkan target efisiensi energi, bahkan jauh setelah kegiatan kampanye berakhir. So… nggak mentok dilakukan selama 1 jam tersebut saja, tapi terus dilakukan agar bisa secara efektif menjaga lingkungan & mengurangi emisi gas rumah kaca. Lebih jelasnya tentang Earth Hour ini bisa dibaca disini.

Sebenarnya secara harfiah, banyak orang yang melihat kampanye macam ini sebagai tindakan penyelamatan bumi atau yang biasa diseru-serukan dengan jargon “Save The Earth !”, atau Save-the-yang lain-lainnya. Kalau menurut saya… sepertinya kurang tepat kalau disebut “save the earth“. Bumi, adalah sebuah sistem superbesar menyerupai organisme hidup yang sebenarnya self-sustained… punya kemampuan untuk tumbuh, nurturing & meregenerasi isinya. Manusia-lah yang membutuhkan bumi. Hanya saja sekarang yang terjadi adalah kecepatan manusia (selaku bagian dari sistem-kehidupan di bumi) dalam menggarap isi bumi adalah lebih cepat (atau terlalu cepat ??) daripada kecepatan bumi untuk merawat & menyembuhkan dirinya sendiri. Yang terjadi adalah pengrusakan permukaan bumi dimana-mana. Bumi jadi seperti orang sakit, dimana aktivitas parasit (baca = manusia) yang menumpang hidup diatasnya melaju lebih cepat daripada kecepatan penyembuhan alami dari tubuh si “organisme” bumi tersebut.

Dalam sistem sebesar bumi yang saat ini terus-menerus “disakiti” oleh manusia-manusia penghuninya, kegiatan eksploitasi & pengrusakan isi bumi akan berbalik merugikan manusianya sendiri. Nggak percaya ? Contoh : pemanasan suhu permukaan bumi (dari aktivitas industri, perambahan hutan dengan dibakar, polusi udara, dkk) berpengaruh terhadap perubahan iklim, yang mana efeknya berrantai ke perubahan siklus hidup serangga vektor penyakit, atau gagal panen tanaman pangan. Belum lagi perkiraan naiknya suhu air laut akan mempengaruhi siklus hidup & kegiatan migrasi hewan-hewan laut, serta naiknya permukaan air laut ke daratan. Kenaikan suhu permukaan bumi juga mempengaruhi siklus hidup beberapa kuman penyakit & memicu mutasi genetik dari beberapa virus penyakit (terutama yang sering merebak di negara-negara beriklim tropis). Perubahan suhu, iklim & cuaca di bumi mempengaruhi kesehatan manusia… peta imigrasi manusia & hewan-hewan pun bisa turut berubah, and as we all knew, hewan & manusia adalah rumah-berjalan bagi kuman penyakit juga. Lalu bencana-bencana alam semacam longsor, banjir, krisis pangan & pencemaran lingkungan, apa bukan diakibatkan oleh tindakan ceroboh manusia ? Saya percaya, bahwa bencana alam adalah alarm tanda bahaya yang dikeluarkan oleh Bumi secara otomatis, dimana bumi punya caranya sendiri untuk “menstabilkan” jumlah manusia yang hidup di atasnya agar daya dukung kehidupan kembali dalam kondisi equilibrium, tidak keberatan oleh penduduk bumi yang makin hari makin membludak. Eventually, bumi akan tumbuh terus & menyembuhkan dirinya… tetapi dalam proses penyembuhan tersebut, akankah manusia yang menghuni bumi & terkena efek bumi yang sedang sakit ini mampu bertahan ? 🙁

Memang sudah sepatutnya manusia bersikap arif dengan menghormati bumi tempat tinggalnya ini. Yah, dipinjami tempat hidup sebagus ini oleh Tuhan YME, sayang sekali kalau malah dirusak… jelas-jelas yang rugi ya kita-kita juga, bukan buminya 😉  Banyak kearifan-kearifan tradisional yang yang sederhana & berhubungan dengan kegiatan merawat bumi ini sudah mulai terlupakan, dengan mengatasnamakan pembangunan, teknologi, modernisasi, perubahan pola hidup, dan lain-lainnya.

Luckily, sebenarnya tidak perlu usaha yang “wah” atau “gaya” untuk membiasakan diri dengan gaya hidup yang lebih “earth-friendly”. Upaya kecil-kecil sederhana namun konsisten dijalankan & bisa merambat secara massal ternyata lebih efektif. Saya pribadi tidak pernah turun ke jalan ikut kegiatan kampanye save-the-earth-or-whatever-it-is, ataupun jadi aktivis lingkungan… tapi memilih untuk hidup dengan menjalankan kebiasaan-kebiasaan kecil sebagai bentuk menghormati bumi yang dipinjamkan oleh Tuhan. Nggak buang sampah sembarangan, memelihara tanaman & nggak menyakiti hewan, mengurangi pemakaian wadah plastik & styrofoam (lebih baik pakai wadah kaca & keramik), sebisa mungkin memakai-ulang barang-barang yang masih bisa dipakai-ulang (untuk memperpanjang usia pakainya sebelum berakhir dibuang), go-local dengan membeli produk-produk dalam negeri, tidak membuang-buang makanan, menggunakan teknologi untuk menghemat sumber-sumber daya alam (teknologi yang ramah lingkungan),  memakai alat listrik yang energy-saving, memasak stok makanan lauk seminggu sekali untuk menghemat gas, lebih banyak menggunakan kendaraan umum (thank God bus kota disini murah, nyaman & manusiawi… nggak membuat saya merasa ‘bersalah’ saat menaikinya karena full asap kotor seperti Kopaja atau Metromini 😆 ), berusaha maksimal memanfaatkan teknologi internet untuk sehari-hari berkomunikasi & mengumpulkan informasi… serta masih banyak lagi. Itu baru sebagian kecil contoh. Kebiasaan-kebiasaan kecil ini juga yang harus diturunkan & dikenalkan ke anak-anak kita nantinya… generasi selanjutnya, agar mereka sadar kalau Bumi, tempat tinggal yang indah ini, adalah amanah yang mutlak harus dijaga. Ibaratnya seperti mengontrak rumah : agar rumahnya bisa terus layak-huni, ya harus telaten dirawat 😉

Pagi ini, saya bersyukur masih bisa bangun & merasakah hangatnya sinar matahari masuk lewat jendela kamar… masih bisa melihat langit biru berhias luruhan bunga-bunga pink dari pohon yang tumbuh didepan rumah… menghirup harumnya dedaunan, embun & aroma sisa hujan semalam… mendengar hiburan suara cericip burung… dan paru-paru masih bisa terisi oleh udara yang bersih (setidaknya, masih bersih saat di pagi hari 😆  ).

Saat merasakan itu semua, saya berdoa & berharap… semoga anak-anak kita nanti, dan anak-anak mereka nantinya juga, masih bisa menikmati keindahan pagi seperti ini di bumi yang mereka tinggali.

Apa yang sudah anda lakukan untuk menjaga amanah Tuhan YME berupa Bumi ini ? 🙂