…bingung euy mau ngasih judul apa, jadinya langsung nulis aja deh… nggak usah dikasih judul 😛

Akhir-akhir ini kok banyak aja ya berita penyalahgunaan media jejaring sosial di kalangan remaja, seperti remaja kabur sama kenalan dari facebook ? Trus, sempat juga baca berita di internet tentang cewek ABG usia SMP (ato SMA ya ? Ah, pokoknya ABG) yang menjelek-jelekkan sekolah lain via twitter-nya. Pas baca runutan beritanya… hahahaa, gue nggak tahu mana yang lebih bodoh : si ABG cewek yang dengan impulsifnya asal-nulis di twitter, atau orang-orang lain (yang mana mayoritas adalah ABG juga) yang “kesamber” ikut ngomentarin twit si ABG tersebut. Silly, of course… urusan kayak gini mah mirip api ketemu bensin, saling menyulut karena, well, kita sama-sama tahu-lah bagaimana impulsif & reaktifnya pembawaan remaja ABG pada umumnya.

Tapi… impulsif maupun reaktif bukan excuses yang jadi “jalan-aman” untuk memberikan pemakluman terhadap penyalahgunaan media jejaring sosial akhir-akhir ini. Yang, sadly, kok banyak terjadi di kalangan remaja-remaja ABG. You name it : language brutalism, cyber bullying, pelecehan verbal… rasanya mata langsung sepet kalau baca isi tulisan2 tersebut. Nggak cuma remaja sih, sebenarnya… orang dewasa aja juga ada yang ngelakuin hal-hal tersebut diatas (mau contoh yang paling gampang ditemui ? silakan baca komentar2 artikel dalam situs-situs koran, apalagi artikel di kolom politik & gosip).

Kadang kita masih suka lupa bahwa interaksi di dunia maya hanyalah perpanjangan dari interaksi di dunia nyata… beda alam, but mostly, norma-normanya sama. Dari pengamatan pribadi… orang dewasa yang udah nggak ABG aja kadang suka lupa akan hal ini; apalagi para remaja yang emosinya cenderung masih meledak-ledak. Bisa gituh, “hanya” memaklumi orang yang doyan nyampah di twitter, atau mereka yang melampiaskan kekesalannya via status-facebook dengan memaki-maki, atau bahkan sampai mengancam pihak lain ? Kayaknya yang harus dimaklumi adalah orang tersebut nggak nggak “melek-nettiquete” & lupa tatacara bersopan-santun. Account yang digunakan dalam media jejaring sosial ibaratnya seperti rumah : rumah yang rapih, santun & menyenangkan pasti lebih enak untuk dikunjungi, daripada rumah yang penuh oleh “sampah” emosi 😛 Kayaknya nggak ada yang lebih penting lagi selain belajar tatacara memakai internet & bersopan santun di dunia maya sebelum “nyebur” kedalamnya. As for the teenagers, ini adalah tugas orangtua & keluarganya untuk mengenalkan hal tersebut. Kalo nggak keluarga… siapa lagi ? Mau belajar dari temennya yang sebaya ? Lha wong sama-sama labil… yang ada ntar malah “ngejerunuk” entah kemana.

Jadi ingat waktu dulu masih ngajar murid-murid ABG. Satu kali ada kasus cyber bullying yang menimpa seorang murid cewek (let’s say, namanya S). Si S di-bullied karena… cowoknya cewek lain (namanya J) naksir sama si S. Hadooooh, mirip cerita sinetron abiezz deh ya.
Nggak cukup sampai disitu aja, si J bersama gank-nya kemudian meneror S di sekolah saat di kantin, di “pengadilan-kamar-mandi” saat waktu istirahat, dan di tempat2 lain pas guru nggak ngawasin. Intimidatif lah. Parahnya lagi, bullying disekolah berlanjut jadi tulisan-tulisan kotor & ancaman yang dituliskan oleh J and the gank via YM-offline message (maupun pas online), msn.chat, friendster & di wall facebook milik S.

note : Kalo lu pikir sesama wanita dewasa kadang bisa bersikap kejam terhadap wanita lainnya (let’s say, karena persaingan di tempat kerja gituh), tunggu sampai lu dealing dengan cewek-cewek ABG. They’re waaaaay more verocious & malicious. Serius. Atau jangan2 sikap bitchy tersebut udah di-nurtured sejak ABG ya ??

Eeeeniwei…
… karena walikelasnya S melihat ada sesuatu yang “salah” dengan pembawaan S, dia ngajak guru2 lain untuk ngebahas ini. Sehari-harinya S terkenal berpembawaan ceria & manis. Sangat tidak biasa saat S kemudian berubah jadi murung, pendiam & defensif. Kesimpulan akhir : S harus diajak ngobrol supaya mau cerita, karena pasti ada kenapa-kenapa. Seperti remaja pada umumnya, S berpikir untuk menghadapi bully itu sendirian, nggak mau cerita ke guru apalagi orangtuanya karena takut di-cap sebagai “tukang-ngadu”. Pas di suatu sore kami ajak ngobrol & diulik-ulik… dengan airmata berderai-derai barulah S cerita. Ketahuan deh semua yang diceritakan diatas.

Akhirnya dengan dorongan para guru, S menceritakan hal ini kepada orangtuanya. Di sesi lain kami juga memanggil J and the gank. Kami juga mengabari wakepsek kalau ada kasus cyber-bullying yang merupakan “perpanjangan” dari bullying disekolah. Penyelesaian masalahnya cukup panjang-lah, tetapi kami lega karena akhirnya bisa selesai. Masalah serius lho, karena sampai mengancam untuk melukai si-S (objek bullying) 🙁

Tapi… ada satu hal yang membuat kami, para guru, tertohok setiap kali menangani kasus macam ini : yakni sikap para ortu yang cenderung reaktif saat mendapati kasus ini. Reaktif disini maksudnya cenderung “menyalahkan” pihak sekolah (especially the teachers) karena tidak bisa mencegah terjadinya bullying di sekolah & menyatakan kalau para gurulah yang harus bertanggungjawab karena cyber bullying & penyalahgunaan internet tersebut “biasanya” terjadi di sekolah. Tiap kali mendapati situasi reaktif macam gitu, jujur, kepala rasanya langsung “mendidih”. MO nyalahin sekolah gimana ? Sekolah udah punya prosedur duluan buat mengatur pemakaian akses internet di sekolah. Facebook & friendster aja nggak bisa dibuka dari jaringan komputer sekolah (waktu itu belum ada BB), sama halnya dengan msn.chat & YM . Handphone murid juga harus dimatikan & disimpan didalam loker selama jam sekolah berlangsung.

Contoh kasus lain : pernah ada ortu yang misuh2 datang ke sekolah & “protes” ke guru kalau tagihan HP anaknya mencapai… jutaan rupiah. Kami para guru-guru bingung bin heran : Whatttt ?? Lu protes ke kita, Pak ? Yang bener aje… emangnya kita yang pake hape anak lu ?? (kayak kita pada nggak punya henpon aja gituh ??). Lagipula peraturan di sekolah sudah jelas : handphone siswa harus disimpan di locker masing-masing selama jam pelajaran sekolah; kalau ortu mau nelpon, silakan dial nomor sekolah plus extension-number kelasnya.  Kemudian kami sarankan ke si ortu untuk membuat print-out lengkap tagihan nomor  hape anaknya & di-cek bersama-sama.  Pas di-cek… ternyata angka tagihan yang besar-besar itu terdapat di jam-jam sepulang sekolah. Dan setelah di-cek lebih lanjut, merujuk ke beberapa nomor hotline & situs “esek-esek”. Kemudian si anak dipanggil & ditanya baik-baik sehubungan dengan “penemuan” ini. Dari pengakuannya, terungkaplah kalau situs-situs tersebut sering dia buka bersama… sopirnya ! Dan nggak jarang sopirnya juga meminjam hape si anak untuk “bermain” di hotline & situs tersebut *sumpahmerindingabiezztujuhkeliling*

Sementara untuk kasus cyber bullying si-S, beberapa ortu protes & meminta pertanggungjawaban sekolah karena menurut mereka cyber-bullying tersebut terjadi saat jam-jam sekolah. Kemudian guru-guru menunjukkan print-screen files dari halaman-halaman situs berisi pelecehan verbal yang ditujukan kepada si S. Sebelumnya, kami membujuk S untuk memperlihatkan tulisan-tulisan yang ditujukan kepadanya (serius deh… gue nggak tahu anak-anak sekarang belajar dari mana omongan2 sekasar & sekotor itu… mengerikan banget). Jadi pas ortu salah satu anak dari gank-nya J protes, dipaparkankanlah print-out halaman tersebut & menunjukkan keterangan pukul/jam yang tertera di setiap tulisan comment/messages-nya. Trus sambil bilang : “Kami cuma mau ngasih lihat ini, Bu. Nanti di rumah, boleh juga kalau ibu-bapak cek langsung ke account facebook atau YM milik anak-anak… toh mungkin akan lebih enak kalau ibu dan bapak yang inisiatif ngecek langsung.”

Baru setelah si ortu ngecek langsung, dia bilang : “Ya ampun, Miss… saya kira itu dilakukan selama jam sekolah. Ternyata bullying di facebooknya dilakuin pas jam-jam anaknya lagi di rumah ya ?? Atau dimana-lah, yang pasti nggak mungkin kan jam 11 malam anaknya masih di sekolah ??? Itu orangtuanya nggak ngawasin ya anak-anaknya pakai internet ???”

Mendengar ucapan si ortu, dalam hati gue ngebatin : Nah itu juga yang saya pengen tanyain ke bapak-bapak & ibu-ibu sekalian 😆 Gue kate juga ape… Sorry ya pak & bu, kami para guru bukan babysitter yang 24 jam ngurusin anak-anak ABG kalian. Begitu lepas usai sekolah & jam-nya pulang, anak-anak kembali adalah tanggungjawab ortunya.

Ini beneran deh : kecuali kalau itu murid bolos dari sekolah trus nongkrong seharian di warnet, atau kemana-mana selalu bawa hape/BB & online terus (even saat jam pelajaran di sekolah), kejadian macam cyber-bullying ini umum terjadi saat diluar jam sekolah. Pas udah di rumah, atau pulang sekolah nongkrong di warnet, atau online pakai hape-nya teman sambil kongkow-kongkow, atau pulang ke rumah teman & online bareng-bareng… Dan ini yang suka luput dari pengawasan orangtua (menurut gue ya). Dalam kasus diatas, mostly para ortunya sibuk beraktivitas sampai larut malam sehingga nggak sempat mengawasi si anak saat asyik “berinteraksi” di dunia maya. Atau, untuk membayar “rasa-bersalah”, si anak dikasih hape canggih & simcard pascabayar, atau laptop & modem unlimited pribadi & ditaro di kamar… instead of komputer ditaro di ruang keluarga & dipakai bersama-sama (inipun harus ada ortu yang ngawasin saat anaknya memakai komputer). Udah deh, bablas-las-lasss.

Memang baiknya orangtua yang harus berperan jadi “benteng” untuk si anak; saat mengenalkan fungsi teknologi komputer, internet, sekaligus juga mengenalkan tatacara “berinteraksi-aman” di dunia maya. Pastinya dengan cara-cara yang “benar-melindungi”… bukannya dengan naro’ tasbeh/kitab suci diatas komputer tuh anak. Eh serius lho, waktu ngobrolin tentang remaja & situs porno, ada ortu yang pernah komentar gini : “Saya nggak habis pikir deh, kok masih aja ya mereka bisa ngebuka situs-situ yang ‘begituan’ ? Padahal diatas komputernya udah saya taroin tasbih sama qur’an lho, miss… Biar mereka ingat, gitu…”

Mendengarnya, dalam hati gue ngebatin : Ya elah bu, pak… mau diatas komputernya dibangun mesjid juga nggak ngefek, kalii… 😆

Ada salah seorang murid yang cerita kalau di rumahnya hanya disediakan satu PC di ruang keluarga, dimana PC tersebut dipakai bersama-sama oleh semua anggota keluarga (padahal ini keluarga mampu banget buat beliin masing-masing anaknya MacBook Pro (fyi, anaknya ada 6)). Ibunya pun mengiyakan hal tersebut, “Sengaja Miss, supaya dipakai bareng-bareng, trus kami taruh di ruang keluarga biar pas anak-anak pakai juga bisa diawasin.  Bapaknya juga masangin program yang bisa nge-blok situs-situs aneh . Trus kami juga bisa cek history dari ngenet-nya anak-anak.  Awal-awalnya sih mereka pada berantem rebutan pake komputer, tapi habis itu anak-anak bisa kok  ngantri tunggu giliran pakai komputernya.”

Ortu lain ada juga yang sharing, kalau dia juga punya account facebook & twitter, lalu anaknya masuk dalam jejaringnya. Ini dilakukannya supaya bisa memonitor interaksi anak-anaknya di media jejaring sosial tersebut. “Tapi saya nggak sok-sok gaul ikutan nimbrung pas anak saya lagi asyik komen-komenan status sama teman-temannya,” tambah si ibu, “Ntar dia malu lagi sama temennya, ketahuan diawasin sama ibu-bapaknya, hehe… Namanya juga ABG ya, Miss… kalo nggak begini, nggak tahu lagi deh cara ngawasinnya harus gimana.”

Mengenalkan teknologi secara age-appropriately juga penting. Ngasih hadiah laptop pribadi atau BlackBerry dengan nomor pascabayar + akses internet unlimited buat anak kelas 6 SD atau 2 SMP ? Hummm, kayaknya nggak  perlu & nggak penting-penting banget deh. Bukannya gimana-gimana, tapi oleh remaja yang masih serba-ingin-tahu & doyan mengeksplorasi gadget (oh, believe me… mereka pinter banget dalam urusan yang satu ini), gadget canggih akan rawan untuk disalahgunakan kalau si anak belum benar-benar ngerti gimana caranya menggunakan benda tersebut dengan bertanggungjawab. Kalau memang kebutuhan untuk si anak hanya untuk menelpon & sms, kasihlah handphone yang fiturnya sederhana… pakai nomor prabayar juga lebih baik karena pemakaian & jumlah pulsa yang diberikan bisa dikontrol langsung oleh ortu. Nggak usah malu, justru self-esteem anak harus dibangun supaya tetap bangga, “berdiri tegak” & eksis tanpa embel-embel bawa BB kemana-mana. Ada murid gue yang yang sampai kelas 3 SMP dipakein hape Nokia 3210 (hape jadul yang ringtone-nya monophonic & layarnya masih item-kuning ituh) oleh ortunya. Nggak pernah dibeliin hape lain yang lebih canggih. Dan si anak eksis-eksis aja dalam lingkungan pergaulan di sekolahnya.

Anak juga sebaiknya diajak ngobrol-santai tentang kasus-kasus penyalahgunaan internet… nggak usah yang serem-serem; mulai dari yang enteng-enteng dulu seperti tidak menayangkan data pribadi secara detail di account jejaring sosialnya, atau ngebahas tentang orang-orang aneh yang tiba-tiba ngajak mereka kenalan. Tanyakan opini mereka juga. Kalau si anak sudah enak mengeluarkan opininya, baru deh perluas topik obrolannya, sambil selipkan sedikit nasihat disana-sini. Mereka perlu mengerti kalau interaksi di dunia maya adalah “perpanjangan” dari interaksi di dunia nyata : bed alam, tapi rambu-rambunya sama. Harus sopan, nggak mudah percaya sama orang lain, juga nggak boleh asal bersikap ofensif (mentang-mentang di internet nggak ketemu langsung sama objek/subjeknya). Memberikan pengertian ini bisa dilakukan oleh ortu, anggota keluarga lain yang lebih tua & juga guru. Sebenarnya remaja itu pengen didengar.

Hummm… apalagi ya ? Itu aja sih yang kepikiran. Ada yang mau nambahin, monggo silahkan 🙂

Oia… kalo ngebahas topik macam ini, jadi kepikiran deh… beberapa belas tahun lagi, gimana ya ntar effort yang kami (as the parents) harus kerahkan untuk mendidik anak-anak supaya “smart” saat memakai gadget, internet & berinteraksi di dunia maya ? Sekarang aja kondisinya udah kayak gini; kayaknya ntar usaha ngebentenginnya harus lebih ekstra-kuat deh, huhuhu… 🙂