… Lagi ngobrol2 sama sahabat-sahabat sesama guru nih. Mulanya cuma saling berkomentar tentang acara bagi-report (setelah persiapan yang “berdarah-darah”) & ngobrolin tahun ajaran 2009/2010. Trus, lanjut sambil lihat-lihat foto event Sport-Day minggu lalu; di sekolah tersebut Sport Day diadakan setelah upacara 17-an untuk memperingati Dirgahayu Republik Indonesia ๐Ÿ˜‰ Hehe, been there-done that.ย  Aaaah… jadi kangen lagi dengan kegiatan ajar-mengajar di jaman dahulu kala… ๐Ÿ˜†

Keasyikan ngobrol, topiknya malah “melebarrr” jadi ngobrolin sekolah-sekolah mahal yang sekarang banyak bermunculan di sekitar wilayah Jabodetabek. Sekolah-sekolah yang menjanjikan visi-misi-serta-fasilitas pendidikan yang kinclong, seperti pengajaran bahasa Inggris oleh native speaker, dual language program, active-learning, integrated thinking skills, dan sebagainya… pokoknya istilah-istilahnya terdengar keren karena nginggris gitu deh ๐Ÿ˜› Makanya mahal, lha wong kalau ada “rupa”, pasti ada “harga” ๐Ÿ˜‰

Kalau balik ke pengalaman waktu ngajar di sekolah, sayangnya program2 “kinclong” yang ditawarkan oleh sekolah itu jadinya seperti “beriklan”. Seolah memberi janji :ย  “bisa mengubah batu menjadi berlian”. Gue jadi penasaran juga sih, ada nggak yah sekolah yang “memasang-janji” berupa : “…menjamin-anak-anda-langsung-jadi-pengusaha-kaya-raya” ? ๐Ÿ˜†ย  Becanda… becanda.

Bisa dipahami-lah maksud dari sekolah2 tersebut memasang “janji” yang indah untuk para orangtua. Semua orangtua pastinya ingin yang terbaik untuk anaknya. Demi anak-anaknya, orangtua (kalau bisa) bakal berlomba-lomba mencari emas-diantar-mutiara. Kondisi inilah yang “ditangkap” oleh beberapa pengusaha-pendidikan (gue menyebutnya demikian), untuk melebarkan bisnis persekolahannya. Makin kinclong & eksklusif isi sekolahnya, maka kisaran harganya pun bisa ditebak ๐Ÿ˜† Nggak usah jauh-jauh deh, contohnya di sekolah negeri : untuk bisa masuk di program “kelas-internasional”, uang pangkalnya saja bisa 10x lipat lebih mahal daripada “kelas-reguler”. Dan, biarpun program “kelas-internasional” tersebut kurikulumnya belum disertifikasi, tetap aja ada orangtua yang rela membayar demi anaknya bisa memperoleh segala fasilitas belajar terbaik yang ditawarkan oleh “kelas internasional” tersebut. See, itulah yang gue maksud. Terlihat seperti : tentu saja harus bayar mahal… ini kan kelasnya diajar secara dwibahasa, gurunya ngomong bahasa inggris, trus muridnya nanti belajar dengan kurikulum baru, trus ekskulnya lebih banyak, trus, trus… bla-bla-blaa. Pengusaha-sekolah membuka pintu selebar-lebarnya bagi pendaftar baru… soal urusan kebijakan, kurikulum, penegakan disiplin dsb, itu urusan belakangan. Yang penting, modal mengalir dulu. Dan perlu diingat juga, salah satu bentuk “iklan” yang dipakai oleh pengusaha-pendidikan/persekolahan untuk menarik calon konsumen (orangtua & anak2nya) adalah promosi mulut-ke-mulut oleh para orang tua… Jadi yah kalo mau dilihat dari segi bisnis, orang tua merupakan target-market yang besar… apalagi mereka yang berasal dari kalangan menengah-keatas.

Anyway, balik istilah “bisa mengubah batu menjadi berlian” tadi. Keren yah, ngubah batu jadi berlian. Sebenarnya sih berliannya yang keren ๐Ÿ˜† Sayangnya, kebanyakan orang lebih memilih untuk menghargai & mendapatkan keindahan berlian yang “sudah jadi” saja. Nggak mau repot. Nope, ini cuma pengandaian aja yah… bukan benar2 memilih untuk bikin berlian from the scratch. Banyak orang sering lupa, kalau berlian itu “matang” setelah melewati sekian banyak proses tempaan alam berusia jutaan tahun, dengan peraman panas bumi, diberi tekanan-tinggi, kena berbagai golakan, gerusan, asahan… Pada akhirnya, sering mereka lupa kalau proses-tempaan terus-menerus inilah yang justru membentuk keindahan berlian. Intinya, bikin berlian itu nggak instan.

Sama halnya dengan “membentuk” seorang anak/siswa, nggak bisa instan. Anak adalah manusia. Perlu waktu seumur-hidup, dari lahir-sampai-tua dengan segala speed-bumps of life, untuk membuat manusia se-kinclong berlian sekaligus tetap se-humble butir pasir di dasar laut. Gue pikir, tempaan-tempaan inilah yang terkadang suka dilupakan oleh para pengusaha-pendidikan, dimana mereka cenderung sebanyak-banyaknya meraup keuntungan dari banyaknya orangtua yang mau mendaftarkan siswanya masuk kesekolah mereka, namun akhirnya melupakan beberapa hal yang penting untuk diajarkan & dibiasakan kepada siswa, seperti kebiasaan disiplin, atau menumbuhkan rasa tepo-seliro & empati agar anak tumbuh menjadi manusia yang “peka” terhadap lingkungan sosial sekitarnya. Banyak sekali sebenarnya hal-hal yang berperan penting dalam “pengembangan” karakter anak (siswa), in fact, ini bukan hanya tanggung jawab orang tua, tetapi juga segenap pihak sekolah.

Satu cerita dari jaman SD dulu, gue pernah dapet detention saat jam istirahat sekolah. Oleh guru gue, gue nggak dibolehin langsung keluar jajan & main sama teman2, karena… gue kebanyakan ngobrol pas mengerjakan tugas latihan. Bisa ditebak, karena ngobrol, tugas gue nggak selesai. Namanya anak kecil, akal bulusnya adaaa aja; gue nego deh ke gurunya buat ngerjain latihannya di rumah. Tapi guru gue insist, jawaban atas nego gue adalah : TIDAK, tugas latihan bukanlah pekerjaan-rumah & harus diselesaikan di sekolah; maka gue harus membayar hutang “waktu untuk mengerjakan tugas latihan” dengan mengambil “waktu bermain” gue. Gue masih ingat kata-kata guru gue : “Kalau tadi Aini tidak ngobrol pas jam pelajaran, sekarang pasti tugasnya sudah selesai ‘kan ? Kan Ibu sudah peringatkan, ngobrol sama temannya nanti aja saat saat istirahat, sambil main-main. Sekarang Ibu mau tugasnya Aini selesai dulu, baru kemudian Aini boleh istirahat. “

Tugas yang gue tinggalkan itu nggak banyak, cuma beberapa soal tentang himpunan bilangan (masih inget, Bo’… ๐Ÿ˜† ). Pun, guru gue mengucapkan kalimat tersebut nggak sambil marah-marah. Tapi entah kenapa… rasanya nyesek banget bagi gue, yang saat itu menganggap waktu istirahat adalah segala-galanya, harus menghabiskan setengah waktu istirahat di dalam kelas, kena detention. Mana kaki rasanya udah gatel pengen buru-buru melesat ke kantin sekolah & makan siomay, plus gue malu bukan kepalang karena teman-teman melihat gue “disetrap” dalam kelas oleh guru. Setelah kejadian detention itu, gue selalu berusaha untuk nggak menunda-nunda tugas lagi ๐Ÿ˜† Itu baru contoh tempaan atau pelajaran-pelajaran hidup yang kecil. Semakin bertambah usia, semakin besar juga tingkat-kesulitan tempaannya ๐Ÿ˜› Hal-hal kayak gini-lah yang nggak diajarkan secara akademis di sekolah, tetapi ternyata turut membentuk karakter anak. Hal-hal yang kelihatannya remeh namun penting, seperti belajar menerima kata tidak, belajar disiplin & well-organized, atau harus menerima konsekuensi dari kesalahan yang diperbuat. Tetap ada pelajaran yang bisa dipetik sesudahnya, supaya setelah besar nantiย  jadi nggak mengulangi kesalahan yang sama.

Gue jadi inget salah satu artikel yang pernah dibaca di kompas, membahas ttg “belajar-hidup-susah”. Artikelnya ditulis oleh Dr.Handrawan Nadesul. Disini dia nulis sebuah artikel dg judul Sekolah Hidup Susah. Artikel ini pernah dimuat di koran Kompas juga, kok… gue lupa kapan, tapi edisi Kompas hari Minggu gituh. Dapat sadurannya dari internet, tetapi bukan teks artikel yang lengkap, link ke Kompas-nya juga udh gak ada. Nggak apa-apa kali ye kalau langsung di-paste disini…jadi kita semua bisa ikutan baca bareng ๐Ÿ˜‰

Monggo dibaca :

“Untuk menjadi kaya, semua orang bisa instan melakoni. Namun, tidak siapa saja siap menjadi orang susah. Orang miskin baru kian banyak. Penganggur baru menambah bengkak angka kemiskinan. Bisa jadi, itu sebabnya, selain angka bunuh diri tinggi, tiga dari sepuluh orang Indonesia tercatat terganggu jiwanya.

Tidak siap hidup susah berisiko sakit jiwa. Ada cara sederhana menekan risiko sakit jiwa. Sejak kecil anak dibuat tahan banting. Ketahanan jiwa anak harus dibangun. Untuk itu, jiwa butuh โ€œimunisasiโ€.

Menerima kenyataan
Sejak kecil anak diajar lebih membumi. Yang gagal kaya rela menerima kenyataan. Yang belum pernah hidup susah diajar prihatin sedari kecil. Kendati kecukupan, tidak semua yang anak minta perlu diberi. Anak dilatih merasakan kegagalan.

Tugas orangtua dan guru mengajak anak berempati pada kesusahan orang lain. Hidup tak luput dari berbagai stresor. Tak semua stresor jelek. Supaya jiwa tahan banting, stresor dibutuhkan. Anak perlu mengalami seperti apa tekanan hidup, konflik, kegagalan, rasa kecewa, dan krisis dalam hidup. Seperti vaksin, biasakan anak memikul aneka stresor yang bikin jiwanya kebal seandainya kelak hidupnya susah.

Tanpa dilatih hidup susah, anak yang terbiasa hidup berkecukupan tak tahan banting. Lebih banyak orang sukses lahir bukan dari keluarga kecukupan. Hidup prihatin membuat jiwa tegar bertahan melawan kesusahan. Hidup susah membangun mimpi ingin lepas dari rasa kapok menjadi orang susah. Demi mengubah mimpi jadi kenyataan, spirit kerja keras pun dipecut.

Einstein percaya, untuk sukses diperlukan lima persen otak, selebihnya keringat (perspirasi) . Spirit kerja keras menjadi milik orang yang tak pernah puas pada prestasi yang diraih. Seperti bangsa Troya dulu, pembangunan Jepang dan Korea lebih pesat ketimbang bangsa sepantar karena memiliki โ€œvirusโ€ n-Ach (need-for-Achievement) yang tinggi.

โ€Virusโ€ n-Ach bisa ditularkan kepada anak lewat asuhan dan pendidikan. Bacaan memuat nilai kehidupan, termasuk mendongeng, pendidikan berdisiplin, dan keteladanan orang lebih tua. Itu modul-modul kehidupan agar anak tahu juga hidup susah.

Jiwa getas
Kebiasaan meloloh anak dengan kelimpahruahan tidak melatih anak merasakan gagal, kecewa, rasa ditekan, rasa konflik, atau rasa krisis. Tanpa tempaan stresor, jiwa getas. Jika jiwa getas, orang rentan stres. Bila tak terlatih hidup berdamai dengan stres, hidup berisiko gagal andai harus jatuh miskin.

Tak ada sekolah yang mengajarkan menjadi orang miskin. Tak pula ada kursus memampukan anak terbiasa hidup berdamai dengan stres. Yang bisa kita lakukan adalah mengasuh dan mendidik anak tahan banting. Mandat itu harus ada di pundak setiap orangtua.

Tidak semua anak kecukupan pernah mengalami stresor. Dalam pendidikan modern, anak sengaja dihadapkan pada stresor buatan. Ada pelatihan diam-diam, dalam suasana berkemah atau outbound diciptakan situasi krisis. Mobil sengaja dibuat mogok di tengah hutan pada malam hari, atau kehabisan makanan selagi camping.

Dihadang stresor buatan, anak dilatih bagaimana bereaksi, beradaptasi, agar mampu lolos dari rasa panik, rasa takut, rasa tidak enak berada dalam situasi darurat. Ini bagian dari upaya membuat kebal jiwa anak. Bila jiwa tak tahan banting, sontekan stres kecil mungkin diatasi dengan bunuh diri. Kini semakin banyak kasus bunuh diri hanya karena alasan enteng. Gara-gara ditinggal pacar, tidak naik kelas, sebab jiwa tak terlatih memikulnya. Maka jiwa perlu digembleng.

Kerja keras
Menggembleng berarti menunjukkan rasa arah hidup prihatin, selain berdisiplin. Hidup berdisiplin berarti menjunjung tinggi kebenaran, memikul tanggung jawab, kerja keras, serta mampu menunda kepuasan.

Menunda kepuasan bentuk keunggulan sebuah bangsa. Bangsa unggul memiliki โ€œvirusโ€ n-Ach tinggi. Anak yang diasuh dan dididik dengan nilai-nilai โ€œvirusโ€ n-Ach, menyimpan bekal sukses. Itu kelihatan, misalnya, dari cara makan. Anak dengan n-Ach tinggi menyisihkan yang enak dimakan belakangan, yang tidak enak dimakan dulu. Tugas berat dikerjakan dulu, yang enteng belakangan. Bersakit-sakit dulu bersenang-senang kemudian menjadi kredo bangsa yang sukses.

Agar tahu hidup susah, anak diajak memahami bahasa hidup bukan uang semata. Tak semua semerbak kehidupan bisa dipetik dengan uang. Kebahagiaan tertinggi hanya terpetik setelah orang mampu merasa bersyukur meski cuma menjadi orang biasa (mengutip Gede Prama).

Sukses hidup sejati tak mungkin terpetik instan. Jiwa potong kompas, ingin lekas kaya, tumbuh dari budaya instan. Bukan rasa arah yang benar saja yang perlu ditanamkan saat membesarkan anak, tetapi harus benar pula menempuhnya di mata Tuhan.

Anak disiapkan menjadi insan linuwih (terinternalisasi penuh superegonya) dengan cara mengempiskan egonya sekecil mungkin. Rekayasa sosial (social engineering) diperlukan dengan menyuntikkan โ€œvaksinโ€ hidup prihatin. Perlu pula penyubur superego agar kendati hidup susah masih merasa bahagia.

Hanya bila bibit linuwih dipupuk sejak kecil, sekiranya hidup susah tak tergoda memilih serong. Kendati tak banyak harta, uang, atau kuasa, ke arah mana pun hidup memandang, merasa tetap โ€œkayaโ€. Mampu legawa, bersyukur, dan merasa berbahagia sudah pula meraih Oscar kehidupan, kendati mungkin hanya menjadi orang biasa.”