Jam 3 dini hari.

Di luar sana, suara jangkrik, tonggeret dan entah hewan-hewan apa lagi terdengar riuh, mengisi keheningan malam yang dingin.

Ups, bukan malam. Tapi pagi-pagi buta…

Dan disitulah gue, diatas tempat tidur guest-house, membungkus-diri hanya dengan jaket tebal & kaus kaki. Gue terbangun karena… KEDINGINAN.  Brrrrrrrrrr !!!

Jelas saja kedinginan, lha wong nggak selimutan. Gue nggak selimutan karena selimut yang tersedia menguarkan aroma “aneh”. Gue pikir, kalau selimut itu gue pakai… aromanya bisa bikin gue mimpi buruk 😆 Lebih baik badan pegal2 karena tidur meringkuk menghalau dingin, daripada mati megap-megap karena menghirup aroma “ajaib” selimut guest house.

Ternyata oh ternyata… pakai kaus kaki tebal aja gak cukup untuk menghalau dingin yg menggigit !! Agak menyesal juga tidak membawa ekstra kauskaki tebal dari JKT (“sensor-dingin” gue ada di kaki). Tapi yasudah-lah, akhirnya gue kemulan pakai sarung mukena aja.

Syukurnya, suara gue yang semalam “menghilang” kini berangsur kembali & pulih. Terbukti di jam 3 pagi itu, gue udah bisa ngegosip bareng Fitri & Cecil yg juga terbangun karena kedinginan 😛

Jam 5 pagi seusai sembahyang,  gue-Fitri & Cecil langsung nampang di dapur, menghangatkan diri didekat kompor sambil menyeduh teh-jahe panas. Fitri & Cecil kemudian menyibukkan diri dengan membuat setumpuk roti isi meisjes cokelat sambil saling curhat. Aroma seduhan air teh jahe terasa harum menggelitik hidung, dan langsung menghangatkan dada. Untuk memulai hari, setangkup roti & secangkir teh jahe gue bawa ke halaman belakang rumah; duduk disana menikmati dinginnya udara pagi dalam sesapan-sesapan teh. Wangi teh jahe bercampur segarnya udara pagi penuh embun, membuat rasa teh jahe yang gue minum terasa makin nikmat…  Ah, this is what I called a-sheer-heaven 😉

😉

Perkebunan Teh Nirmala

Selesai sarapan, gue-Fitri-Cecil berjalan menuju perkebunan teh Nirmala, yang berada didalam wilayah TNGHS. Letaknya sekitar 50om dari guest-house. Untuk sampai ke jalan masuk perkebunan teh, kami menyusuri jalan yang sama menuju Curug Macan (200 m), lalu terus naik berjalan for another 400m. Jalan tersebut akan membelok ke kiri, dimana gerumbulan semak-semak teh mulai tampak. Di dahan-dahan pepohonan, burung-burung kecil berwarna kemerahan bercericip riang menyambut kehangatan pagi.

Hehe, lumayan jalannya menanjak… bikin acara jalan-pagi jadi semakin sehat 😀

Kami disambut oleh sebuah papan pada plang besi yang mulai berkarat, bertuliskan “Perkebunan Teh Nirmala”. Plang tersebut mengarahkan kami ke jalan menanjak menuju perbukitan kebun teh. Di timur langit, matahari menggeliat malas, menyambut kami dengan sinarnya yang hangat-menyelusup diantara kabut pagi. Kabut tipis pun turun diantara pepohonan hutan hujan… bergelung-gelung mengingatkan gue akan gelungan punggung naga keemasan dalam cerita tiongkok kuno.  Titik-titik embun yang membasahi pucuk daun teh memantulkan kemilau sinar matahari.

dsc050442

dsc05043

dsc050233

dsc05013

Setelah setengah jam berjalan, kami berpapasan dengan Pria & Septian. Pria memberitahu kami untuk berjalan sedikit lagi ke atas, ke sebuah gundukan semak kecil, agar lebih jelas melihat pemandangan matahari terbit. Di spot yang Pria maksudkan, pemandangan lereng perkebunan teh bermandikan cahaya sunrise menyambut kami. Pria, Septian, Fitri & Cecil terus berjalan menyusuri bukit teh;  sementara gue berhenti & tinggal disitu. Duduk pada sebuah gundukan batu, menikmati momen pagi yang terasa menenangkan & magis.

Ya. Begitu tenang..

dsc05036

dsc050261

dsc050461

dsc050071

Inilah yang gue cari. Hanya ada gue, temaram matahari pagi, desau angin diantara pucuk-pucuk daun teh serta cericip suara burung. Menyaksikan matahari terbit di pagi itu membuat hati tenang & hangat. Begitu damai, begitu besar… gue merasa sangat-kecil berada dalam pemandangan itu.  Di atas batu, hanya duduk diam, mereguk sebanyak mungkin keindahannya lewat semua indera yang gue miliki. Merasakan sejuknya semilir angin pagi yang menyapu kulit dan hangatnya matahari pagi yang membelai wajah. Menghirup aroma embun yang menempel di rambut.

Oh, anda tidak akan menemukan semua itu di Jakarta, pastinya 😉

Setelah setengah jam duduk, mata gue mulai menangkap sosok pemetik-pemetik daun teh menuruni lereng perkebunan. Mereka memanggul keranjang-keranjang besar, dengan topi caping terpasang di kepala. Wah, sudah waktunya mereka mulai bekerja…  I guess, it’s my time to go back to the guest house 🙂

Rasanya beraaaat sekali untuk keluar dari momen magis di pagi hari itu.  Tetapi waktu terus berjalan, pagi mulai merayap berganti siang, dan aktivitas selanjutnya sudah menanti. Fitri & Cecil  mengajak  gue pulang untuk makan (lagi) & bersiap-siap.

Sesampainya di guest-house, nasi goreng, nugget ayam & kornet sudah tersaji di meja makan. Sembari kami mengisi perut, Pria mengingatkan jadwal kegiatan hari itu :  Eagle-watching di stasiun pengamatan (di salah satu puncak bukit perkebunan teh), dilanjutkan hiking ke kampung Citalahab, lalu jalan lagi menuju air terjun Curug Piit (kalau sempat).

Usai sarapan, kami menyiapkan pakaian ganti & membekali diri dengan berbotol-botol air mineral. Jam 8.30 kami berangkat memulai petualangan !

😀

Eagle-Watching

Untuk sampai di air-terjun Curug Piit (Curug Cihanjawar), kami harus menyusuri jalan setapak perkebunan teh Nirmala & melewati 6 kampung; total jaraknya adalah 10km. Dari guest-house Cikaniki, kami memulai perjalanan sejauh 2 km menuju stasiun pengamatan elang di puncak bukit perkebunan teh Nirmala. Dari situ, kami akan berjalan sejauh 8 km lagi untuk sampai di air terjun Curug Piit (melewati desa Citalahab & kampung LegokJeruk).

dsc00799

Oia, sebelumnya…. harap diketahui bahwa Curug Piit samasekali tidak ada hubungannya dengan Brad Piit. Oh, itu mah Brad Pitt, ya 😛 Maaf jadi nyinggung2 Brad Pitt, soalnya gue rada2 susah lupa sama mantan…

Anywaaaaay…

…stasiun pengamatan elang hanya berjarak beberapa meter dari titik nol perjalanan menuju Curug Piit.  Di stasiun pengamatan elang, kami berhenti & menunggu munculnya burung elang jawa. Pak Ade yang hari itu memandu perjalanan kami berkata kalau biasanya elang jawa keluar menjelang siang, untuk mencari mangsa. Huhuhu, sayang sekali gear yang kami bawa hanya dua teropong binokuler. Kalau mau ngiler2, pengen bangeeet deh punya peralatan observasi kayak milik para peneliti Jepang saat melakukan pengamatan burung liar, huhuhu…

Elang jawa (Spizaetus bartelsi) adalah salah satu spesies endemik penghuni TNGHS, yang statusnya terancam punah (endangered). Menurut pak Ade,  elang jawa biasa hidup & membangun sarangnya di tajuk-tajuk pepohonan yang tinggi didalam hutan hujan gunung ini. Kami harus ekstra sabar menunggu keluarnya elang legendaris tersebut. Dari atas pos pengamatan, kami bisa melihat hamparan luas bukit perkebunan teh… lereng-lerengnya memagari ceruk berisi hutan hujan tropis yang lebat.

dsc05052
ini hutan habitatnya elang jawa… Gue lupa, apa nama hutannya 😛
dsc050591
Lereng perkebunan teh, dilihat dari pos pengamatan elang…
img_2506
Lereng perkebunan teh sebelah timur…

Untuk membunuh-waktu, kami berfoto-foto-ria dan bermain games entah-apa-namanya-yang-pasti-sama-sekali-nggak-penting-dan-bikin-tangan-sakit-sakit (soalnya yang kalah dapet hukuman dipukul di bagian pergelangan tangan… oleh para pemenang games. Bayangin kalo yang ikut main games itu delapan orang atau lebih ???).

img_2527
…games yang sangat-sangat menyakitkan, Saudara-saudara. Kids, DON’T TRY THIS AT HOME, IT’S VEEEERY DANGEROUS.
dsc050551
(maaf, lagi-lagi narsis) gue, difoto berlatar-belakang hutan habitat elang-jawa.
Yuna, happy banget bisa loncat-loncat di tengah kebun teh... :-P
Yuna, happy banget bisa loncat-loncat di tengah kebun teh… 😛
pic_01031
Pak Yanto & Pria : “… keker terus, sampai dapat !!!”
dsc05056

Oia, Lihat cowok tinggi yang pake topi itu ? Nah, dia adalah Chris Killian, yang sedang sibuk membubuhkan banyak-banyak sunblock-lotion di kulitnya (sementara yang lainnya penasaran sekaligus deg-degan menanti kemunculan elang-Jawa). Yah… nasibmu Chris, punya kulit kaukasian…

Tiba-tiba, pak Ade berseru sambil menunjuk ke langit di dekat areal hutan. Tampak di kejauhan, sebuah lekukan lebar terbang melayang-layang, keluar dari areal hutan menuju udara di atas lereng perkebunan teh. Pak Ade memastikan bentuk lekukan tersebut dengan teropong binokuler & berkata kalau itulah Elang Jawa yang kami tunggu-tunggu 😀 Elang jawa tersebut terbang dengan formasi melingkar (dari putaran yang melebar kemudian semakin menyempit) di atas lereng perkebunan teh, pola saat mencari mangsa. Kami berganti-gantian memakai teropong binokuler untuk mengamati elang jawa yang tampak gagah, terbang membelah udara. Sayangnya, kami tidak dapat mengamati morfologinya dengan lebih rinci… selain karena gear-nya tidak mendukung, agak sulit juga mengamati si elang jawa saat sedang terbang berburu.

...dan inilah, penampakan Elang Jawa yang terbang mencari mangsa...!
…dan inilah, penampakan sang Elang Jawa, terbang mencari mangsa…!

😀

Tercecer, terpisah & kelelahan

Selesai mengamati si Elang jawa, kami melanjutkan perjalanan menuju Curug Piit. Rencananya kami hendak singgah di desa Citalahab juga. Tetapi melihat kondisi rombongan yang banyak perempuannya dan jarak tempuh menuju Curug Piit tidaklah dekat, Pak Ade menyarankan agar kami merundingkan lagi : apakah akan terus lanjut ke Curug Piit atau cukup sampai di Citalahab saja.

Kami akhirnya sepakat untuk meneruskan perjalanan sampai ke air terjun Curug Piit. Estimasinya, jarak 8 km dapat kami tempuh selama 2-3 jam, dengan formasi kelompok laki-laki & perempuan berselang-seling (para cowoknya jadi sweeper, untuk memastikan tidak ada anggota regu yang tercecer ketinggalan). Untuk mengantisipasi kelelahan & kehausan di tengah jalan (karena air yang kami bawa dari guesthouse sudah habis!)  kami  membekali diri lagi dengan  pocari-sweat & air mineral, dibeli di salah satu warung di kampung yang kami lewati. Hey, tanpa disimpan dalam kulkas pun, pocari sweat yang dijual di warung itu udah dingin, lho !!

petualangan-10-km-dimulai
Kembali memulai perjalanan. Wooo-Hooo !! Semangat, teman-teman !

Pukul 11.00, matahari bersinar semakin terik. Kami sudah menempuh jarak sekitar 3 km & dua kampung pun telah kami lewati. Tancap terusss…!! Pantang mundur !

Limabelas menit setelah itu : banyak anggota yang sukses teler.

Rombongan tercecer. Banyak diantara kami (termasuk gue !) yang megap-megap. Tercecernya juga… keterlaluan, dimana  Pria & Chris jauuuuh berjalan duluan (sekitar 500-m di depan rombongan), sementara Niken, gue, Cecil, Yuna, Zet, Fitri & pak Yanto terengah-engah kelelahan menyusul di belakang. Terimakasih Tuhan, untungnya ada Septian & pak Ade yang membantu kami & terus menyemangati.  Disini gue baru sadar akan pentingnya kekompakan kelompok yang dibangun oleh kesabaran, kemauan untuk menahan-ego (bagi anggota kelompok yang fisiknya EKSTRA kuat) & kerelaan menyamakan “walk-pace” dengan anggota lainnya, agar rombongan nggak tercecer. Pak Ade bilang, untuk menjaga agar kelompok tetap utuh saat berjalan jauh, cara terbaik adalah dengan bernyanyi. Surprisingly, sarannya Pak Ade ternyata NGEFEK banget… Selain semua anggota terjaga rapat & saling menghibur, capeknya juga jadi nggak terasa… Nggak apa-apa lah menyumbang bantuan berupa suara sumbang, yang penting rombongan nggak tercecer lagi.

Memang, kami sendiripun tidak menduga kalau medan-jalan yang harus kami tempuh ternyata cukup cadas, berupa tanjakan-tanjakan bukit & turunan lembah yang berbatu-batu.

Dan itu merentang sejauh 8 km.

Harus diakui, ini adalah perjalanan yang “menantang” (baca = menyiksa) kekuatan kaki ! 😛 Tapi janganlah mata ini bertumpu pada beratnya medan yang harus dilalui… instead, nikmatilah pemandangan kebun teh di kiri-kanan jalan berhiaskan sembulan atap-atap rumah perkampungan & berlatar langit biru tampak indah 😉 Ampuh jadi penghibur bagi mata disaat kaki kesakitan & ngilu-ngilu 😛 Untuk menambah tantangan, hari semakin siang & matahari bersinar lebih terik, nyaris tepat di atas kepala. Sabar… Sabar… kata Pak Ade, kampung Legok Jeruk udah deket…

😉

Kampung LegokJeruk

Setelah melewati 2 kampung, kami memasuki kampung terakhir yang kondisi jalannya masih bisa dilalui mobil : Kampung Legok Jeruk. Disini, kami beristirahat sebentar sambil minum teh yang ditawarkan penduduk setempat, sebelum kembali berjalan kaki menuju Curug Piit.

Pak Ade sudah mengatur bahwa sekembalinya kami nanti dari Curug Piit, kami akan singgah di rumah penduduk setempat untuk makan siang (dibayar oleh kami via pak Ade & Pria). Kenyang makan siang (mengasumsikan kalau kami bisa kenyang), kami kembali ke guest-house menggunakan mobil Colt sewaan. Mobil Colt tersebut disewa dadakan oleh Pak Mat atas permintaan Pria; sebenarnya mobil Colt tersebut hanya tersedia setiap hari Kamis pukul 4 pagi, untuk turun membawa penumpang ke pasar terdekat di Kabandungan (pintu masuk TNGHS !!!). Setiap orang yang mau ikut turun ke Kabandungan menggunakan Colt ini harus membayar ongkos sebesar Rp.60.000,-. Buset, ongkosnya kayak travel Jakarta-Bandung aja. Berhubung kami hanya menaikinya sampai di guest-house, pemilik Colt tersebut bersedia menyewakan mobilnya dengan harga sangat murah (Rp.10.000,- sekali jalan, untuk mengangkut kami ber-11).

Kami beristirahat sambil minum teh di rumah salah satu penduduk, seorang nenek yg murah senyum & mengajak kami ngobrol dalam bahasa Sunda 😛 Pak Ade sibuk  menyiapkan tali tambang tebal yang akan digunakan di rute selanjutnya menuju Curug Piit. Setelah istirahat 10 menit, kami melanjutkan kembali sisa perjalanan kami menuju Curug Piit. Katanya pak Ade sih masih sekitar 3 km lagi 🙂

dsc05063
Kampung Citalahab
dsc05064
sawah di Kampung LegokJeruk
100_2428
Foto-foto lagi sebelum meneruskan perjalanan… Smile ! 😀
Lanjuuuuut !
Lanjuuuuut !

Rute berikutnya adalah menyusuri areal persawahan & perkampungan, lalu naik melewati jalan setapak yang tertutup semak belukar tebal (yang ternyata jalan setapaknya berada di tepi tebing. Nggak terlalu tinggi sih… 5-7 meter dibawah sana ada ada sawah & kampung2 lagi). Semak belukar yang kami lalui cukup tebal & gatal saat menggores kulit. Thank God, hari itu gue mengenakan atasan lengan panjang…

Sambil berjalan di jalan setapak, kami bisa melihat kebawah ke perkampungan lain dengan sungai-sungai kecil mengalir &  sawah-sawah yang menguning. Perkampungan ini hidup persis di tepi hutan hujan. Sekali lagi, disini kami melihat seekor elang jawa (kali ini elangnya tampak lebih besar & jelas karena terbang rendah) terbang keluar dari dalam hutan menuju areal persawahan. Memang sudah jam makan siang, yah… nggak heran elangnya keluar untuk “having lunch” (baca : mencari mangsa 😛 ).

dsc008171

Tetap tersenyum (& narsis), meski didera cobaan jalan berliku penuh semak...
Tetap tersenyum (& narsis), meski didera cobaan jalan berliku penuh semak…

😉

“Tanjakan-Cinta

Keluar dari jalan setapak penuh belukar, kami memasuki jalur terakhir menuju Curug Piit : jalan setapak di dalam hutan hujan. Sebelum masuk hutan, pak Ade (sembari merapikan tali tambang yang dibawanya di bahu) meminta kami untuk berhenti dan mendengarkan sesuatu. Dalam hening, terdengar suara gemuruh deras air di kejauhan. Kata Pak Ade, itu suara gemuruh air terjun Curug Piit dan sekarang kami sedang berada di atas sumber air terjunnya. Sungai di bawah tebing tadi adalah terusan yang kemudian melimpah menjadi air terjun Curug Piit.

Kami semua tersenyum lebar, membayangkan Curug Piit sudah dekat. Kata pak Ade lagi, “…masih ada sekitar 100 meter, Neng. Kita udah dekat ke jalan turunnya…”

masih sempet-sempetnya ketawa saat ngantri menuruni tebing pakai tali tambang AJAH...
masih sempet-sempetnya ketawa…

Kami masuk semakin jauh ke dalam hutan untuk mencapai jalan menurun menuju Curug Piit. Sepanjang jalan gue menikmati keindahan lantai hutan yang penuh oleh jamur-jamur di kayu pepohonan lapuk. Lumut-lumut, dengan sporangium kecil kemerahan mencuat diatas lapisan hijaunya terasa begitu dingin & basah saat disentuh. Beberapa kali, berbagai jenis kupu-kupu warna-warni terbang melintas diantara kami; TNGHS memang merupakan salah satu kawasan konservasi untuk serangga ordo Lepidoptera ini. Rasa-rasanya tidak sampai 200 meter kami berjalan tatkala Pak Ade berhenti di depan sebuah batang kayu besar yang lapuk & melintang di tengah jalan setapak. Kami ikut berhenti, mengamati Pak Ade yang dengan sigap membuat simpul pada batang pohon terdekat menggunakan tali tambang yang dibawanya.

Perasaan gue nggak enak, nih.

Untuk memastikan firasat gue, gue bertanya, “Tali tambangnya buat apa, Pak ?”

“Buat turun kesana, neng… ke air terjun-nya,” jawab pak Ade tersenyum, menunjuk dengan dagunya kearah bawah dimana sumber gemuruh air terjun berasal, “Sebentar kok. Turunnya kebawah dua puluh lima meter… trus sampai di air terjunnya.”

Kami semua terdiam, memandang satu-sama-lain dengan ekspresi wajah penuh kengerian. Tangan pak Ade terus mengencangkan simpul yang dia buat. Setelah selesai, diulurnya seluruh tali tambang ke tebing yang menganga dibawah sana, sampai mencapai dasarnya. Gue baru ingat… dulu mbak Shin, teman satu kos gue, pernah cerita kalau saat meneliti kupu-kupu di Halimun, dia harus menuruni tanjakan curam serupa ini. Namanya “Tanjakan-Cinta”. Apakah tanjakan yang gue turuni ini adalah “Tanjakan Cinta” yang mbak Shin ceritakan ? Karena menurut gue, tanjakan ini lebih tepat kalau dinamakan sebagai  “Tanjakan-Nyiksa” 😆

OK. Dua puluh lima meter SAJA, dalam bentuk tebing curam dengan kemiringan… gak miring sih, tapi nyaris tegak lurus. Dan kami harus menuruninya menggunakan tali tambang, tanpa safety-gear lainnya.

Sebenarnya ada sejenis climbing rope (tali tambang buat panjat tebing) yang dipasang pada rangkaian-pengait serupa cawat yang dipakai mengelilingi pinggang. Dulu gue pernah pakai itu waktu manjat pu’un di Ujung Genteng. Di rangkaian pengait itu, ada sejenis cantelan tempat dipasangkannya beberapa tali tambang yang kemudian membentuk fungsi mirip katrol. Dengan ini, proses memanjat jadi lebih mudah, kayak memanjat dengan “mengerek” badan sendiri. Dan kalaupun tali yang digunakan untuk memanjat itu terlepas dari tangan & kita jatuh, ada semacam penahan sehingga kita hanya akan tergantung-gantung di atas tanah.

dsc00829

Melihat tali tambang yang akan kami pakai untuk menuruni tanjakan-sadis ini, firasat gue mengatakan kalau… inilah saatnya gue harus bertumpu pada kontrol kekuatan tangan-kaki & sisa-sisa keahlian memanjat pohon jambu (apa hubungannya??).  Selama melihat Pak Ade yang sigap membuat simpul di batang pohon, perut gue terasa ngeri… Ngeri karena terbayang kalau misalnya tangan gue terlepas dari tali tambang itu. Atau, misalnya kaki gue kehilangan pijakannya… Omaigatttt, sebulan lagi kan gue mau nikah ???!!!

Ah, gue harus percaya bahwa : what doesn’t kill you makes you stronger. Lara Croft aja bisa jumpalitan memanjat dinding Angkor Wat, kenapa gue nggak bisa menuruni tanjakan-curam ini menggunakan tali ??? Gue harus bisa !!!

Setelah diajari pak Ade cara menuruni tanjakan, kami pun turun satu persatu, dimulai dari Septian (yang paling atletis & bisa diharapkan untuk menyokong kami ber-9 yang ada di atasnya kalau nanti jatuh). Lalu Yuna (yang imut dan paling enteng beratnya, tapi paling panik pas turun karena takut kejatuhan pacet), Pria dan gue (yang mana kasihan banget si Yuna kalau sampai kejatuhan gue & Pria). Di atas gue, ada si Chris (kasihan amat gue kalau kejatuhan bule tinggi besar kayak Chris 😛 ), lalu Fitri, Zet, Cecil, Niken, pak Yanto & pak Ade.

dsc00832
…seru-abis…

Tangan-tangan pun berpegangan di tali tambang sambil kaki-kaki  kami mencari pijakan-pijakan pada tanah gembur, bebatuan atau akar yang mencuat dari tanah. Sempat kami panik saat Yuna & Septian kehilangan pijakan sehingga tergantung-gantung memegangi tali. Tali yang terayun-ayun membawa berat tubuh Yuna & Septian membuat gue & Pria yang diatasnya ikut terayun kencang, nyaris kehilangan pijakan juga. Ngilu rasanya mendengar Yuna berteriak, tapi lebih ngilu lagi manakala melihat remah tanah & bebatuan bekas pijakan, jatuh & menghantam batu besar di bawah sana. Plus, dari remah-remah tanah tersebut, seekor pacet lintah ikut jatuh & mendarat di kulit leher Yuna lalu meloncat masuk ke dalam bajunya !! Aaaargh !

Ok, Aini…. tenang. Ini bukan saat yang tepat untuk ikut panik & memberitahu Yuna kalau ada seekor pacet yang masuk ke dalam bajunya karena… Yuna akan jadi LEBIH-panik 🙁 Tiba-tiba Yuna berseru kalau tangannya sudah tidak kuat untuk lebih lama bergelantungan  seperti itu. Pria kemudian meraih akar pohon yang ditemukannya, tampak cukup panjang & tebal untuk dipegang Yuna & Septian. Tapi saat ditarik, ternyata akar tersebut sudah putus, jatuh meluncur ke bawah & menghempas batu di bawah sana.

Kami diam, menghela napas.

Untung akarnya belum sempat diraih oleh Yuna & Septian.

Akhirnya, Septian mendapatkan pijakan & bisa membantu Yuna (yang masih gelantungan) agar mendapat pijakan lagi. Pfhuuuuh… leganya. Sumpah, tegangnya mirip kayak nonton pilem-pilem action Hollywood 😆 Perjalanan menuruni tanjakan-sadis pun berlanjut. Suara gemuruh air terjun & teriakan “SPARTAAAAN… CAIYOOO !!!” dari Septian kembali menyemangati kami untuk terus turun dengan berhati-hati.

Setelah sekitar 15 menit meregang nyali ( & nyawa!) pada seutas tali tambang, akhirnya… Kami sampai di air terjun Curug Piit !!!

tampak-awal-curug-piit
sungai yang mengalir dibawah air terjun Curug Piit
img_2542
…dan inilah, air terjun Curug Piit !
curug-piit-at-last
… bandingkan ukuran air terjunnya, dengan kami yang berdiri di samping air terjun…

Yipppieee…!!! 😆

Gue nggak tahu mana yang lebih seru lagi… apakah setelah puas berjam-jam main air & berenang di Curug Piit,

… atau saat harus memanjat tali tambang lagi untuk kembali ke jalan setapak di atas (kali itu giliran gue yang kehilangan pijakan & panik bergelantungan),

… atau saat tiba di rumah penduduk di kampung Legok Jeruk, dimana kami disambut dengan senyum ramah, bergelas-gelas teh manis hangat & hidangan nasi hangat, ayam goreng, lalap daun singkong & sambel hijau (yang mana langsung kami lahap dengan rakusnya)…

… one thing for sure, hiking menuju Curug Piit ini adalah salah satu perjalanan TERBAIK & TER-SERU yang pernah gue lakukan bersama teman2 !! 😆