Wijayakusuma adalah nama sebuah bunga putih besar beraroma manis, yang dalam taksonomi tumbuhan a la Linnaeus disebut sebagai Epiphyllum oxypetalum; oleh orang bule sering disebut sebagai Dutchman’s Pipe atau Night Blooming Queen. Di beberapa literatur internasional yang gue baca, disebutkan kalau kembang wijayakusuma tergolong dalam keluarga tanaman kaktus (cactaceae) & berasal dari daratan Amerika Selatan… tapi kok ya ternyata banyak tumbuh di tanah jawa, bahkan sampai menjadi legenda raja-raja jawa ? π
Dalam mitologi klasik jawa, kembang Wijayakusuma ini dikisahkan sebagai bunga “bertuah” yang hanya tumbuh di sebuah pulau terpencil, dan mereka yang berhasil memetiknya akan menjadi raja penguasa tanah jawa. Mengikuti legenda tersebut, katanya sih bunga wijayakusuma dipakai sebagai bagian dalam upacara penobatan raja-raja keraton jawa π Di kalangan rakyat jawa, cerita tentang “bertuah”nya bunga tersebut terus lestari sampai sekarang. Di masa kini, beberapa orang memelihara bunga wijayakusuma sebagai “azimat”, tetapi kebanyakan yang lainnya memelihara bunga tersebut simply karena rupanya yang cantik & beraroma harum… just like my kakoeng did π
Menyaksikan berpuluh-puluh tangkai wijayakusuma mekar adalah memanjakan mata & hidung dengan keindahan visual & olfaktori, yang akan semakin indah saat bunga-bunga tersebut tampak berpendar indah dalam siraman lembut cahaya bulan di keheningan malam π Kakoeng memelihara sekitar 10 pot wijayakusuma &Β satu pot bisa menghasilkan 5-7 kembang. Rekor terbanyak yang pernah mekar sekaligus dalam satu malam adalah 62 bunga π Dan saat mekar, harum bunganya bisa memenuhi seisi rumah, bahkan tercium sampai ke jalan depan rumah. Beberapa orang bilang kuatnya aroma kembang wijayakusuma itu bikin kepala pening & menyerupai aroma bunga kuburan π Tapi kalau menurut gue sih, aromanya harum & manis.
Saking cintanya dengan kembang wijayakusuma, di tahun 1983 Kakoeng membangun sebuah rumah peristirahatan yang kemudian diberi nama Rumah Wijayakusuma… dan ditanami dengan bunga-bunga wijayakusuma pula π Sampai sekarang, Rumah Wijayakusuma masih jadi salah satu tempat kumpul2nya keluarga kami… seperti saat long weekend 19-21 Juli kemarin π Senang banget… sabtu siangnya gue sampai di Jakarta, sorenya langsung pergi kesana. Yang gue suka dari rumah ini adalah suasananya yang sejuk & tenang khas daerah pegunungan (tapi kalau datangnya berbondong-bondong kayak acara kumpul2 keluarga kemaren, jangan harap bisa “tenang” deh). Dari beranda Rumah Wijayakusuma ini, mata akan disuguhi sebuah pemandangan yang magnificent : gunung Gede-Pangrango yang menjulang dengan megahnya π
Mmmm… gue suka banget menikmati kesenyapan pagi di beranda rumah ini, duduk2 berteman segelas teh hangatΒ & Fragile-Sting yang mengalun dari mp3 player, memandangi siluet gunung yang bermandikan cahaya matahari terbit. Itu, adalah salah satu magical-moments yang selalu ingin gue bagi dengan Baim. Kemarin saat ke Rumah Wijayakusuma, satu hal yang kurang adalah : Baim nggak ikut kesana π Habis lebaran tahun ini deh ya, sayang… kita nginep di Wijayakusuma, insya Allah π
Selain menikmati pemandangan dari beranda rumah, gue juga senang berjalan-jalan mendaki bukit di sekeliling rumah. Pemandangan lembah hijau-lestari ini indah banget saat dilihat dari salah satu bukit…
Juga beberapa tumbuhan yang nggak sering kita lihat di kota, bisa banyak ditemui di daerah perbukitan disini :
… kalau di Jakarta hanya melihat rosemary yang sudah dicampur dalam masakan Italia… well, seperti itulah wujud aseli sepucuk rosemaryΒ (^^)
OK… sebenarnya nggak perlu ke gunung yah untuk lihat daun pisang π Tapiii, cuma di gunung inilah gue bisa nemuin daun pisang yang “segerrr” buat difoto… lihat aja warna pada pattern tulang daunnya π
Aaaah, jadi pengen ke Wijayakusuma lagi… π