Jadi…
…semalem gue & Baim ngobrol-ngobrol sambil nyuci piring. Tadi  malam, topiknya tu tentang proses adaptasi beberapa orang terhadap beberapa jenis makanan, saat orang tersebut pindah ke negara lain & tinggal disana.  Ini, umumnya terjadi saat orang tersebut dihadapkan pada pemilihan jenis makanan pokok setempat. Contoh : biasanya setiap hari makan nasi, tapi kemudian kepentok sama kenyataan kalau di daerah yang dikunjungi ini makanan pokoknya roti, kentang, ubi, atau sagu (??). Ya mau nggak-mau, harus adaptasi… membiasakan diri makan makanan pokok di negara tersebut.

Perbedaan mendasar dari makanan-makanan di berbagai negara/wilayah itu ada di jenis bahan makanan pokoknya. Contoh : Di Asia, banyak negara yang menjadikan nasi & mie beras (selain roti pita & naan) sebagai makanan pokok yang mengisi pondasi food-pyramid masyarakatnya; Jadi, meskipun ada lauk teriyaki, kebab, mansaf, chop-suey, pad-thai, rendang & chicken curry… makannya kalo nggak pake nasi, ya pake mie beras. Di wilayah oceania, ubi kayu, sagu & sukun (breadfruit) menjadi makanan pokok masyarakat setempat. Tapi di Eropa, kentang, roti & segala produk gandum-lah yang menjadi makanan pokok/dasar food-pyramid masyarakat sana, bukan nasi ataupun sukun. Susah-lah kalo ke Eropa, laper, trus ngotot cari nasi… lha wong disana yang ada dimana-mana itu roti & kentang, karena itulah makanan pokok penduduk sana.

Kejadian culinary shock & adaptasi makanan ini sebenarnya familiar aja. Gue cerita ke Baim, ada teman gue yang nggak bisa idup kalo nggak makan nasi. Begitu sekolah di eropa sana, jegerrrr… susah-lah mau nyari nasi. Beras pun disana harganya mahal & nyarinya harus ke chinatown, atau makan di resto china yang kehalalannya nggak terjamin. Tapi, dia ngotot. Biarpun beras tu langka & relatif mahal, tetap aja bulan2 pertama disana dia bela-belain beli beras & ditanak jadi nasi. Setelah tekor, barulah dia “memaksakan” diri untuk makan kentang & roti. Tapi… tetap, ujung-ujungnya nyari nasi lagi. Cape’ dhe.

Baim kemudian ngasih contoh tentang beberapa teman dari Indonesia yang kalau merantau ke luar negeri selalu membekali diri dengan 1-2 dus Indomie, abon, kerupuk, etc, etc. Alasannya : buat obat kangen & buat jaga-jaga kalau ntar perut mereka nggak cocok sama makanan setempat. So ridiculous… padahal kan ada roti, kentang, bubur oatmeal, muffin… kok malah nyari yang susah 😛 Lagipula kalo bawa-bawa ransum dari negara asal supaya perutnya nggak syok, bukannya malah jadi susah beradaptasi yah ? Kan judulnya ‘beradaptasi’, harus ada sesuatu yang ‘dipaksakan’ untuk dijalani & diterima supaya tetap bisa idup. Tapi yah namanya juga selera, beda orang ya beda seleranya.

Itu contoh kasus yang masih “mendingan”.

Gue kemudian cerita ke Baim kalau bokap pernah cerita, ada temannya bilang kalau dirinya hanya bisa makan daging ayam kampung. Jadi pas si-temen-bokap itu belajar ke USA, dia nggak bisa menikmati ayam goreng KFC sana yang montok2 itu. “Bujubuseeet dah, Im…” ucap gue, “Di USA mana ada ayam kampung, coba ? Ayam sana kan montok semua, ayam negeri, yang yield dagingnya banyak karena disuntik hormon. Pan kalo dagingnya banyak jadi laku dibeli orang-orang sana…”

Baim mengangguk, “Iya… mana ada ayam kampung di Amrik. Kan ayam sekarang udah mengglobalisasi semua… Ayam kampung masuk kota…”

“Bener tu, Im…” gue mengiyakan sambil lanjut membilas piring-piring, “Apalagi, ayam-ayam sekarang udah pada sekolah & masuk kampus segala, lho. Jadi ayam-kampus*…”

“Nah ! Tuh, betul kan, mengglobalisasi ! Ayamnya udah pinter semua, sampe ke kampus segala.”

“Iya, bahkan mereka udah tahu sopansantun segala, Im. Soalnya ayam sekarang udah sopan banget, bilang ‘ayam sorry’**..”

“Tapi, Ai jangan salah…” potong Baim, “Gitu-gitu, ayam sekarang juga ada yang jago bikin bom segala lho!”

“Hah ??” tanya gue, kaget, “bikin Bom ? siapa tuh ayamnya ??”

Ayamrozi***.”

😛

.

.

.

.

* = julukan untuk mahasiswi di kampus yang melakukan aktivitas prostitusi

** = i’m sorry

*** = Amrozi cs., pelaku & inisiator peristiwa bom Bali 2002