Pria mengkonfirmasi bahwa ada 10 orang yang akan pergi ke Taman Nasional Gunung Halimun-Salak & Citarik; mereka adalah gue, Fitri & Cecilia (guru kelas 2-3), Pria–Yuna–Zet–Septian–Niken & Chris Killian (para guru High School) dan pak Yanto yang akan mengemudikan mobil.
Sebenarnya si Krisna (teman gue sesama guru 6-7) ingin ikut ke TNGHS, tetapi batal karena dia diminta membantu pernikahan sepupunya. Bob tadinya juga mau ikut, tapi mengundurkan diri karena duitnya lagi tipis (abis buat cicilan motor ya, Bob ? hihi). Pas gue mau ngajak Lita, sesama guru Science 6-7, gue baru inget kalo Lita juga gak akan bisa ikut, karena… saat itu, empat belas hari lagi Lita akan melangsungkan pernikahannya dengan Bayu 😛 Gue nggak tega ah “menyetani” sesama calon penganten buat ngabur jalan-jalan ke gunung Halimun.
Biarlah gue aja, Aini -si calon penganten “hardcore”, yang sebulan menjelang pernikahannya bukan duduk manis luluran di salon, tapi malah hiking ke gunung Salak & rafting di Citarik …
😛
Menuju TNGHS
Area konservasi Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (TNGHS) terletak meliputi 3 kabupaten di Jawa Barat, yakni kabupaten Sukabumi, Bogor dan Lebak. Dalam tiga kabupaten itu, letak TNGHS serupa serakan menjari yang mengumpul didalam mangkuk lembah kaki gunung Halimun & Salak. Saat ini TNGHS merupakan salah satu taman nasional di pulau Jawa yang memiliki ekosistem hutan hujan tropis pegunungan terluas & dikonservasi dengan baik. TNGHS mempunyai wilayah seluas 113,357 ha, dengan ketinggian pada 500-1929 meter di atas permukaan laut. 70% dari wilayah TNGHS adalah hutan hujan tropis yang dikonservasi, sisanya berupa perkebunan teh, perkampungan masyarakat tradisional, situs pertambangan emas serta pembangkit energi listrik geothermal.
Sebagian besar hutan di TNGH berada pada ketinggian 1000-1400 m di atas permukaan laut, berupa hutan tipe sub-montane yang didominasi oleh pohon-pohon raksasa jenis rasamala (Altingia excelsa), Puspa (Schima walichii) dan jati (Lithocarpus spp.). Hutan hujan tropis pada TNGHS juga menjadi habitat beberapa satwa endemik, seperti owa (Hylobates moloch), surili (Presbytis comata), macan tutul (Panthera pardus), dan elang jawa (Spizaelus barteisi).
Perjalanan ke Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (TNGHS) & rafting di sungai Citarik direncanakan selama 3 hari, mulai hari Selasa/17 Juni 2008 sampai Kamis/19 Juni 2008. Sehari sebelumnya, gue & Pria berbelanja perbekalan di Carrefour – Lebak Bulus. Sengaja kami membawa perbekalan untuk makan 3 hari di gunung; menurut info dari pegawai TNGHS, pasar terdekat jaraknya 10 km dari penginapan yang akan kami tempati. Wow…
Selasa pagi pukul 06.30 wib, gue terengah-engah memanggul backpack gue, menyusuri halaman sekolah yang sepiiii… Hehe, agak aneh aja datang ke sekolah pas murid-murid lagi liburan, biasanya jam segitu mobil-mobil udah berjejer rapi di drop-area, menurunkan penumpang2 kecilnya yang berseragam sekolah.
Saat menuju ke bangku lobby sekolah, tampak Cecil & Fitri sudah disana bersama barang bawaan mereka. Gak lama kemudian Chris, Yuna, Pria, Zet & Niken datang. Gak pake lama-lama menunggu, dibawah komando Pria, kami bersama-sama pak Yanto mengambil semua perbekalan & menaruhnyadi bagasi mobil sekolah yang kami pinjam untuk ke TNGHS.
Rencananya sih kami semua akan berangkat tepat pukul 7.00 wib. Tapi… malah jadi ngaret setengah jam karena Septian gak kunjung muncul-muncul !! Walah… kemana pula makhluk yang satu ini ?? Mana ditelepon2, HPnya nggak nyambung2 pula. Pukul 7.20-an, dari belakang halaman sekolah tampak Septian yang berlari2 sambil melambai2kan tangannya dengan liar, persis kayak lagi dikejar beruang Grizzly…
Jam 07.30 wib Elf minibus yang kami tumpangi pun berangkat. Perjalanan menuju TNGHS kami perkirakan akan memakan waktu sekitar lima jam. Dari TB Simatupang, kami terus menuju Parungkuda-Sukabumi, lalu ke Kabandungan, dimana kantor pusat TNGHS di berada. Di Kabandungan-Sukabumi, kami akan mendaftarkan diri untuk masuk ke TNGHS. Dari kantor Kabandungan, kami akan bergerak lagi sejauh kira-kira 18 km menuju tempat kami tinggal selama di TNGHS : guest-house stasiun penelitian Cikaniki.
Selama 2 perjalanan menuju kantor TNGHS di Kabandungan-Sukabumi, kami harus “swalayan” dan penuh inisiatif untuk membuat satu-sama-lain saling menghibur & terhibur, karena…tape-radio di mobil rusak !! Tapi malah jadi semarak-lah… secara ada Zet & Septian yang dengan semangat’45 terus menghadirkan berbagai joke & tebakan-tebakan ngasal, dari yang paling jayus sampai yang paling jorok (ups !).
Pukul 10.40 wib, kami sampai di pos pertama TNGHS-Kabandungan. Disini, selain membayar tiket masuk sebesar Rp.2500,-/orang dan Rp.6000,-/mobil, pengunjung juga harus melaporkan diri & kegiatan yang akan dilakukan di wilayah TNGHS kepada petugas TNGHS dan . Setelah mengosongkan kandung kemih masing-masing (hehehe) dan menerima briefing singkat dari pak Qohar-salah satu petugas TNGHS- mengenai kondisi alam & tempat-tempat yang bisa didatangi di TNGHS, kami berangkat lagi untuk mencapai tujuan sebenarnya : wisma penginapan kami, Guest-house Stasiun Penelitian Cikaniki – TNGHS.
11.30 wib, kami kembali berangkat. Ternyata, jalan menuju gerbang masuk TNGHS itu lumayan jauh… 18 km, bo’. Perlu diketahui juga, jalannya itu GRAJAL-GRUJUL PENUH BATU. Jadilah selama satu-setengah jam berikutnya, kami sukses terguncang-guncang dalam minibus elf. Guncangannya samasekali nggak mirip guncangan lembut kursi pijat merk OSim. Kebosanan pun mulai menyerang… Zet mulai panik berseru-seru : “Eh, pada ngejayus lagi dooong ! Ngejayus lagi doooong !!! Gue punya tebakan jayus lagi nih, ada yang mau dengerin, gak…?”. And, the worst part is… radio-tape mobil masih rusak. Akhirnyaaaa, kami kembali putar otak mengeluarkan stok tebak2an, plesetan jayus dan cerita jorok (teteeeep). Cecil & Fitri pun sumbang-suara menyanyikan “Country Road” nya John Denver, hanya saja kata-kata “country road“nya diganti jadi “…Bumpy rooooad… Take me hoooome… to the placeeee… I beloooong…”
Well, percayalah… orang akan melakukan nyaris apapun –gue ulangi : apapun– untuk membunuh kebosanan.
Pengorbanan kami terguncang-guncang selama hampir sejam akhirnya terbayar, saat sebuah gerbang batu dengan plang besar bertuliskan “Selamat Datang di Taman Nasional Gunung Halimun – Salak” menyambung kami. Semua penumpang mobil pun bertepuk tangan kegirangan saat mobil masuk melewati gerbang (norak banget yah ? biarin-lah, asal hepi… hihihi).
Namun, kegembiraan kami langsung terhapus oleh Pria, yang nyengir sesaat sebelum berkata dengan suara kalemnya :
“…tapi tempat kita nginep masih 6 km lagi lho. Dan jalanannya ya kayak tadi gitu… banyak batunya…hehe…”
“… ANOTHER BUMPY ROAD ???? ” teriak Cecil, gue, Fitri, Niken & Yuna, stress.
“Tapi gak sampe sejam, kok !!!! Paling setengah jam-an atau 45 menit lagi !” kilah Pria, mengkonfirmasi berita buruk tersebut. Well, like we have a choice ?
Iseng, gue membuka jendela mobil. Tindakan ini mengundang reaksi tak-terduga dari Zet & Septian, yang berseru-seru : “Miss Aini, Jangan dibuka jendelanya !! Jangaaaan…!! Ntar ada macan lompat masuk ke dalam mobil kita, loh !!!”. Yeah, right.
Saat jendela mobil gue buka, udara dingin pegunungan menyergap masuk. Gue menduga-duga kalau kami sudah masuk ke ketinggian mendekati 1000 m dpl. Udara diluar sana benar2 dingin & segar, khas pegunungan. Dalam dingin, aroma serasah hutan tercium samar… bercampur dengan basahnya wangi sisa embun pada daun-daun yang lembab.
…Ini baru enak. Paru-paru gue yang setiap harinya terisi oleh udara “berracun” Jakarta, langsung penuh terisi oleh udara pegunungan yang bersih.
Lalu Fitri memberi ide yang sangat-brilian : “Pria, AC mobilnya dimatiin aja. Kita buka jendela, Udah dingin nih !”
😀
Guest-House Stasiun Penelitian Cikaniki
Waktu satu jam & limabelas menit berikutnya berlalu dalam kesejukan udara gunung, yang jadi pengganti AC mobil. Oia, Jalan menuju guest-house Cikaniki itu cukup sempit, berbatu-batu & berdiri dibatasi tebing & cekungan yang dalam (I’m not gonna use the word “jurang” karena terlalu intimidatif, hehe). Badan Elf-minibus yang lebar harus perlahan-lahan & hati-hati menyusuri jalan sempit ini. Saking (harus berjalan) pelannya, kami nyaris gila menghitung tiang pancang penunjuk jarak per-200 meter yang tersembunyi dibalik rerimbunan semak.
Setelah melewati satu tikungan, tiba-tiba didepan kami tampak sebuah jalan kecil menanjak yang dilapis aspal. Ah, akhirnya… jalan beraspal !!! di ujung jalan beraspal tersebut, sebuah rumah-kayu yang besar & plang bertuliskan “STATION PENELITIAN CIKANIKI” menyambut kami. Horeee…. akhirnya sampai juga di guest-house Cikaniki !!
Begitu minibus diparkir rapi, kami langsung menurunkan ransel masing2 & perbekalan kami. Pria selaku coordinator (tidak resmi) di trip ini mengenalkan kami ke pak Mat, bu Anung & Anggi-anak laki2 mereka. Pak Mat & Bu Anung mengurusi wisma & segala keperluan kami selama menginap di guest-house. Kamar-kamar di guest-house ini disewakan per malamnya dengan harga Rp.250.000,- (standard room) sampai Rp.300.000,- (VIP room, dalam kamar tidur, ada kamar mandinya). Satu kamar standard & VIP bisa diisi sampai 4 orang. Kalau mau maksa, sekamar isi 8 orang juga cukup kok 😛 Overall, kondisi kamar & guest-housenyanya bersih & sangat-sangat decent. Paling2 hanya tercium bau lembab di selimut & bantalnya aja, hehehe. Untuk pemesanan, bisa hubungi Balai Taman Nasional Gunung Halimun, JIn. Raya Cipanas-Kecamatan Kabandungan Sukabumi (Telepon : 266-621256 ; Fax : 266-621257). Keterangan lebih lanjut untuk akomodasi & tujuan wisata di TNGHS, silakan klik & baca di link ini.
Selesai berkeliling rumah, memberi salam pada penunggu2nya & membersihkan diri, kami pun bersiap2 menuju tujuan pertama : air terjun Curug Macan
😉
Air terjun Curug Macan
Di halaman guest-house, kalau sejenak kita memasang telinga, dalam keheningan pun sayup-sayup suara gemericik arus sungai sudah bisa terdengar. Bersama pak Mat & pak Hendi (guide), kami akan berjalan sejauh 300m untuk mencapai Curug Macan. Kami masuk ke hutan hujan & menuruni jalan setapak licin yang tertutup serasah. Entah berapa jarak yang sudah kami tempuh, kami sampai di belakang sebuah balkon kecil untuk area pengamatan. Balkon ini berdiri menjorok sampai di atas sungai yang mengalir dibawah. Saat kami berdiri di balkon, tampak pemandangan air terjun Curug Macan terbentang indah di hadapan kami…
Katanya pak Mat… dulu Curug Macan ini merupakan salah satu habitat macan tutul (Panthera pardus) di TNGHS. Tempat mereka berkumpul untuk minum, gituh. Hiiiiy !! Untung deh sekarang macan tutulnya sudah pindah ke wilayah habitat lain yang tidak terganggu oleh para pendaki.
Seperti yang anda lihat, air sungainya benar-benar bening, gemericiknya begitu menggoda pula ! Kami langsung melepas alas kaki (oh, some of us also grabbed their camera), menggulung celana & menceburkan diri ke dalam sungai. Pria, Zet & Septian malah langsung menyeberangi sungai (yang ternyata cukup dangkal, tidak sampai sepinggang) & memanjat bebatuan untuk sampai ke dekat air terjun. Hanya Chris yang mesem-mesem duduk di balkon & menjaga ransel-ransel kami, tidak berniat merasakan kesegaran air sungai. Gue, Yuna, Niken, Fitri & Cecil memilih duduk-duduk di bebatuan pinggir sungai sambil foto-foto… sampai kemudian Pria & Zet sengaja menyirami gue, Cecil, Fitri & Yuna sampai basah kuyup!!! Oh, masabodoh, bukan main di sungai namanya kalau gak sampai basah kuyup… Kadung basah, nyebur aja sekalian 😀
Puas basah-basahan, kami para cewek dibantu oleh Pria, Zet & Septian untuk memanjat bebatuan besar, mendekat ke air terjun. Ini fotonya, kami ber-8 basah kuyup (minus Chris & Pak Yanto yang masih kering), kedinginan namun happy, berkumpul di sekitar air terjun :
Kalau ada yang bertanya-tanya, “Itu Makhluk apa yang berdiri nggak pake baju didekat air terjun???”, Tenang, itu bukan jin penunggu curug. Itu adalah Septian. Dia abis berpose a la pendekar cina yang meditasi dibawah air terjun (dan abis itu punggungnya sukses pegal-pegal). Tapi, wajar kalau anda mengiranya sebagai penampakan jin… soalnya mirip, hehehe. Puas basah-basahan di Curug Macan , dengan badan menggigil kedinginan tapi happy kami mendaki kembali ke atas menuju tempat tujuan kedua : Jungle Canopy Walk.
😀
Jungle Canopy Walk
Hutan hujan tropis secara umum dibagi menjadi 4 lapisan, dari bawah ke atas, inilah lapisannya :
· lantai hutan , lembab tertutup serasah daun-lumut & tumbuhan paku,
· lapisan bawah, cahayanya sedikit karena tertutup dedaunan pohon muda dan liana (ketinggian 5-20 meter dari permukaan tanah (*dpt)),
· tajuk hutan atau kanopi (canopy), didominasi dedaunan tajuk/puncak pohon yang tebal bertumpang tindih saling menutup sehingga menahan sinar matahari masuk ke lapisan dibawahnya, tetapi memungkinkan tetesan hujan mampu merembes masuk (ketinggian 20-40 meter dpt),
· dan yang teratas, lapisan penjulang, berisi 3-4 pohon tertinggi per hektarnya; pohon2 tertinggi tersebut berdaun kecil, bertajuk pipih serta sering ditiup angin kencang dengan kecepatan mencapai 40 mil/jam (ketinggian >40 meter dpt).
Acara Jungle Canopy Walk berlangsung di ketinggian 30 meter diatas lantai hutan. Untuk sampai di ketinggian tersebut, terlebih dahulu kita harus menaiki tangga-tangga rangka setinggi… tebakan gue sih kayak naik tangga kantor 10 lantai. Sampai di anak tangga teratas, sampailah kami di pangkal jalur canopy walk, berupa jembatan yang terentang dari satu batang pohon ke pohon lainnya. Sambil melintasi jembatan ini, kita bisa menikmati pemandangan tajuk-tajuk pepohonan hutan seluas 100 m2 & tumbuhan epifit langka yang hidup menempel di batang pepohonan. Kalau anda beruntung, anda bisa juga mengamati kehidupan beberapa hewan-hewan arboreal yang tidak teramati dari lantai hutan dibawah sana… seperti burung-burung yang bersarang di dahan pohon, atau owa & lutung-lutung yang bergelantungan mencari makan. Sukur-sukur kalau anda juga bisa menemukan si Tarzan yang ikutan menggelantung pada suluran akar-akar 😛
Oia, bagi anda yang memiliki kecenderungan takut-terhadap-ketinggian (kayak si Cecil), terlebih dahulu siapkan mental anda sebelum menyusuri jembatan canopy walk. Gue salut sama Cecil ; dia ngaku kalau dia itu takut-ketinggian, tapi dia berusaha keras menepis ketakutannya supaya bisa menyusuri jembatan canopy walk. “Gue udah jauh-jauh naik kesini, ngapain juga kalo gue nggak nyebrang? Harus beraniii !” seru Cecil, antara ngeri & excited.
Thank God… gue nggak takut sama ketinggian. OH, salah ding : Waktu kami semua harus kembali menuruni tangga agar bisa sampai di lantai hutan, SUMPAH, saat melihat ke bawah, gue TAKUT BANGET !!!
Foto diatas merekam sedikit pemandangan yg cukup thrilling, karena kami mengambilnya dari atas jembatan canopy (sambil kaki gemetaran & perasaan ngeri menohok-nohok di perut !!). As you see, tampak kelokan sungai kecil terusan dari Curug Macan, mengalir di bawah sana. Beningnya sungai tampak kontras teramati dari sela-sela kehijauan tajuk pohon.
Berdiri di atas jembatan sambil menggunakan teropong binokuler, kami berharap bisa menemukan elang jawa atau owa (kedua hewan berstatus endangered-species tersebut berhabitat di TNGHS). Namun menurut pak Ade & pak Mat, kedua hewan tersebut tidak akan keluar dari sarang karena cuaca mulai mendung. Waktu terbaik untuk mengamati mereka adalah saat cuacanya hangat, karena mereka akan keluar mencari makan. Hufff, karena cuaca mendung pula, kami pun harus turun kembali ke lantai hutan & pulang ke guest-house. Dikhawatirkan angin yang mulai bertiup kencang akan membuat jembatan canopy bergoyang-goyang. Kata pak Ade, manakala angin bertiup kencang & mencapai kecepatan 30 mil/jam, jembatan-jembatan kanopi tersebut dapat dengan mudah tertiup & terpelintir seperti utasan tali.
Oh, OK… Bayangan jembatan yang memelintir dengan kami diatasnya terguncang-guncang membuat perut gue melilit & ingin segera menginjak tanah lagi. Ngeriiiii…!!!
🙁
The Glowing Mushroom
Sesampainya di rumah, nasi goreng telur buatan bu Anung sudah tersedia di meja makan, menguar hangat & harum. Tanpa ba-bi-bu kami langsung menyerbu gundukan nasi goreng tersebut, dan menggasaknya ditemani segelas teh manis hangat. Selesai makan-makan, iseng gue membaca buku yang baru gue beli di perpus pos Cikaniki : kumpulan prosiding penelitian bakteri & jamur di wilayah TNGHS. Disitu, gue baca bahwa selain menjadi habitat dari elang jawa & owa, TNGHS juga menjadi “rumah” bagi segerumbul populasi jamur yang sangat unik. Unik, karena jamur-jamur tersebut mampu “menyala” dalam gelapnya malam. Wah, kayak gimana tuh ? Penasaran dengan rupa si jamur tersebut, maka malamnya (setelah perut kenyang diisi ikan sardine, nugget goreng & nasi hangat), kami keluar dari penginapan lagi untuk melihat atraksi ketiga : Glowing Mushroom.
Nostalgia ke masa-masa kuliah sejenak : … Once i’ve read, there is a mushrooms that naturally emmits light & glows, as the result of a chemical reaction during which chemical energy is converted to light energy. Helped by a specific amount of an enzyme, the mushroom is able to perform a glow-in-the-dark activity (also called bioluminescence). Aktivitas bioluminasi ini membuat tubuh si jamur mampu “menghasilkan cahaya” yang visible dalam gelap. Setidaknya begitulah yang gue baca & lihat di buku teks kuliah gue dulu. Bioluminasi dilakukan oleh spesies jamur genus Mycena & Omphalotus, selain juga spesies hewan sefalopoda (cumi-cumi), ikan, serangga (kunang-kunang), ubur-ubur serta cacing. Belakangan, ditemukan beberapa jenis algae dinoflagellata dan bakteri genus Vibrio yang mampu melakukan aktivitas bioluminasi; beberapa diantaranya melakukan aktivitas bioluminasi ini saat bersimbiosis dalam tubuh hewan-hewan yang gue sebutkan tadi (ikan, etc.).
Adapun aktivitas bioluminasi ini dikontrol oleh sejenis enzim bernama luciferase. Jika Luciferase memicu oksidasi zat pigmen bernama luciferin, maka reaksi tersebut menghasilkan byproduct berupa lepasan energi cahaya (…and its heatless, with low thermal radiation). Nah, kenapa sampai aktivitas bioluminasi ini dilakukan, belum ada yang tahu pastinya untuk apa. Beberapa ilmuwan berpendapat bahwa bioluminasi ini dilakukan hewan2 tersebut untuk berkomunikasi sesama spesiesnya (tiap spesies punya panjang gelombang warna-nya sendiri2). Ada yang bilang juga, bioluminasi adalah indikator biosensing. Ilmuwan lainnya menemukan bahwa bioluminasi digunakan sebagai penanda kepadatan populasi, untuk atraktan penarik mangsa maupun repellent yang mencegah pemangsa untuk mendekat. Sampai sekarang fenomena ini masih terus diteliti. Lebih banyak tentang bioluminescence, bisa dibaca di sini. Subhanallah… ajaib sekali, ternyata Allah pun memberikan cara unik untuk makhluk-makhluk kecil tersebut berkomunikasi 🙂
Dari prosiding yang gue baca tadi, salah satu jenis jamur bioluminasi yang kelimpahannya tinggi di TNGHS adalah jamur dari genus Mycena. Mycena sp. adalah spesies jamur saprofit yang banyak hidup di lantai hutan pegunungan yang dingin & lembab. Tumbuhnya menempel bergerumbul di kayu-kayu yang lapuk, dimana Mycena sp. menggunakan serat kayu lapuk sebagai sumber makanannya. Sedikit tentang Mycena sp. bisa dibaca di sini.
Perlu perjuangan ekstra untuk bisa masuk ke dalam hutan malam-malam begitu… menyusuri jalan setapak yang berbatu dan licin tertutup lumut, hanya bermodalkan penerangan senter HP. Dan, butuh ekstra penglihatan tajam untuk bisa menemukan kumpulan jamur Mycena sp. Selama ini, gue hanya melihat gambar si Mycena sp. dari buku-buku teks mikologi jaman kuliahan. Jadi, gue penasaran aja saat akan mengamatinya langsung : seperti apa ya rupa asli-nya Mycena sp. saat berpendar dalam gelap ? Katanya pak Ade, jamur ini banyak tumbuh di kayu-kayu sepanjang jalan menuju Canopy Walk; tapi kok nggak kelihatan ya saat tadi siang saat kami berjalan disana ? Apa ukurannya sangat kecil ?
…Setelah sekitar 15 menit berjalan, terperosok lumpur, tersandung dan saling meraba-raba dalam gelap (bukan “meraba-raba” dalam makna konotasi yaaa), Pria & Niken yang berjalan didepan gue berhenti mendadak. Gue nyaris menabrak mereka saat Pak Hendi & Pak Mat berkata,
“Coba matiin senternya, terus lihat ke bawah… jamurnya udah keliatan. Itu ada yang nyala hijau-hijau…”
Gue & Niken mematikan senter HP sementara Pria menyuruh yang lain untuk stop berjalan & mematikan senter. Saat melihat kebawah…
… gue tercengang.
Lantai hutan yang sebelumnya hanya gelap ditutup semak & serasah, kini terselimuti oleh banyak spot kehijauan yang berpendar. Seperti bintik kunang-kunang namun lebih redup & cahayanya hijau temaram, glowing. Awesome, benar-benar seperti hutan dalam cerita dongeng negeri peri ! Ternyata spot-spot yang berpendar hijau itu adalah gerumbulan koloni si jamur Mycena sp. !
Gue mencoba untuk memotret pendaran hijau dari koloni tubuh jamur dengan kamera HP night-mode. Namun hasilnya tidak terlalu bagus (lihat gambar di atas). Beberapa teman juga gagal memotretnya. Akhirnya kami hanya memotret penampakan si jamur ini saat tidak berpendar-dalam-gelap; seperti ini bentuk jamurnya :
Iya, jamurnya segede gitu AJA. Diameter tudung-nya nggak sampai 2 cm. Pantas saja saat tadi siang gue lewat disitu menuju area canopy walk, keberadaan jamur ini nggak terlihat… lha wong ukurannya keciiiil 😛 Beberapa foto (dengan ulasan) Mycena sp. lainnya bisa dibaca di halaman situs National Geographic ini.
Setelah puas menikmati pemandangan “magical” dari hamparan koloni glowing-mushroom (sambil sesekali dikagetkan oleh beberapa musang yang hilir mudik meloncat di dahan pepohonan diatas kami), kami semua kembali ke guest-house. Well, hidup di dalam hutan gunung mungkin lebih pas bagi mereka yang hendak berkontemplasi dan mencari kesenyapan… Tetapi, karena kami datang untuk berlibur, pastinya bukan kesenyapan alam (saja) yang dicari !! Sampai larut malam, kami berkumpul di ruang tengah memainkan tongue-twister game. Yang kalah alias nggak bisa membuat plesetan kata-kata, hukumannya adalah : wajahnya dicelemotin selai cokelat oleh mereka yang menang !!!
Karena suara gue entah kenapa menjadi semakin serak & menghilang, akhirnya gue undur diri dari permainan (selain permainannya kian mengganas, hehehehe). Gak tahu kenapa suara gue jadi menghilang; hanya saja awalnya tenggorokan gue pedih (padahal gue gak lagi sakit batuk !), kemudian disusul suara gue semakin dalam & serak… lalu nyaris mendesah… dan akhirnya suara gue hilang. Manakala gue mencoba berbicara, yang keluar hanya suara tercekat kayak mau batuk. Mungkin, ini tandanya kalau tubuh gue perlu istirahat.
Yasudah, gue masuk kamar aja dan merebahkan diri… menyiapkan badan agar cukup kuat untuk acara “besar” keesokan harinya.
Acara apakah itu ?
Jawabannya ada di posting berikut !? 😉
5 Comments
putri
hahaha… gilak ya
gw sobatan sama lo hampir 13 taun
baru baca tulisan ini setelah gw googling glowing mushroom pics
kemana aja gw ya
hope my adventure will be great as yours
nice written sist
Jill
Kira kira, berapa ongkos yg hrs dibayar perorang?…Kl, yg ikut ada 6 org…(itungan tahun 2010 yaa)..hehehe
aini
waduh… berapa ya ? tergantung juga mau kesana naik apa, nginep dimana & berapa lama..
Saya juga udah lama aja nggak hiking kesana lagi, plus nggak ikutan arranging/ bikin trip-itinerary kesana, cuma bagian ikut hore-horenya aja 😛
Halimun National Park, when the road end… (part 4) | Motografer.com
[…] bioluminasi atau menghasilkan cahaya yang terlihata dalam gelap. Mengutip dari blog-nya si Aini (http://aini.rumahatiku.com/2009/01/t…ari-pertamaaa/), spesies jamurnya bergenus Mycena. Mycena sp. adalah spesies jamur saprofit yang banyak hidup di […]
Halimun National Park, when the road end… | Motografer.com
[…] bioluminasi atau menghasilkan cahaya yang terlihata dalam gelap. Mengutip dari blog-nya si Aini (http://aini.rumahatiku.com/2009/01/t…ari-pertamaaa/), spesies jamurnya bergenus Mycena. Mycena sp. adalah spesies jamur saprofit yang banyak hidup di […]