Many girls around the world raised with a dream of themselves on their wedding ceremony, walking down the aisle, wearing an extravagant fairytale wedding dress (and recently, with Edward Cullen as The Groom 😛 Ngaku aja deh lu semua, hihihi… 😀 ). And, what color is the wedding dress? Yes, it’s WHITE. A perfect WHITE wedding dress, gown, abaya, kebaya… whatever, you name it- lah.
But why white ?
Pertanyaan ini yang tadi siang terucap oleh Echy (teman gue) saat kami chatting tadi. Kami lagi seru ngobrolin model kebaya pengantin (hihihi, obrolan-cewek-banget, yaa). Sampailah kami di pembahasan soal warna kebaya pengantin : dengan kasus pemilihan warna putih sebagai warna utama kebaya pengantin, terutama untuk prosesi akad nikah. Berikut cuplikan dari obrolan kami :
>a4_essy : Emang ada knp sich kebaya nikah harus putih??
>ai_hanafiah : Yah… itu simbolik aja sih, Chy. Warna putih kan lambang kesucian & kepolosan…
>ai_hanafiah : (polos apaan, pdhl calon penganten masa-kini mah baca Cosmo-nya udah khatam, wahahahaha)
>a4_essy : iya… sampe jadi master, lagi… hahahaha
Tapi, gue jadi penasaran juga sama pertanyaan Echy tadi. Gue akhirnya mencari tahu sejarah & arti simbolik dibalik pemilihan warna putih untuk baju pengantin ini, yang kok bisa segitu lestarinya dianut mati-matian oleh pengantin di seluruh penjuru muka bumi ini.
As you see… Perkawinan adalah salah satu peristiwa yang sangat-sakral dalam kehidupan manusia, selain peristiwa kelahiran & kematian. Dalam setiap kebudayaan, pernikahan selalu dilangsungkan dengan “festive” & perayaannya penuh oleh hal-hal simbolik. Simbol-budaya & adat tersebut kemudian memberi variasi pada busana & perhiasan pengantin. Warna & bentuk motif, adalah salah-dua dari sekian banyak hal yang sering digunakan sebagai simbol, yang ditempeli berbagai macam makna. Misalnya, pengantin cina yang menggunakan baju adat warna merah, karena merah adalah simbol keberuntungan; atau pengantin wanita medieval yang menggunakan gaun pengantin warna biru sebagai perlambang kesucian (purity).
.
Nah, makna-dari-simbol-warna inilah yang mengawali kisah white-wedding-dress. Untuk lebih jelasnya, mari kita sedikit menengok sejarah abad pertengahan di Eropa.
Pada abad pertengahan, warna baju & jenis bahannya digunakan sebagai penanda status sosial seseorang. Hanya kaum kerajaan & bangsawan saja yang bisa menggunakan bahan sutera, satin, beludru & renda, serta menggunakan warna-warna yang “grandeur” & indah seperti emas, ungu & biru. Kenapa ? Karena pada masa itu, teknik penganyaman benang, teknik ekstraksi zat pewarna kain & proses pewarnaan kain dilakukan dengan mengandalkan ketrampilan manual. Plus, bahan-bahan yang digunakan pun tergolong sulit diperoleh sehingga kain-kain indah tersebut tidak dapat diproduksi secara massal. Tahu nggak kalau di masa itu, warna ungu kerajaan yang dikenal sebagai Tyrian Purple dihasilkan dengan mengekstrak lendir keong langka bergenus Murex sp. ? Bahkan, warna royal blue yang kala itu hanya dipakai oleh anggota kerajaan, dibuat oleh bangsa Phoenician di sebuah pulau terpencil bernama Iles Purpuraires ? Itu hanya beberapa contoh kenapa kain-kain indah tersebut jadi mahal, eksklusif & langka. Baju-baju mewah tersebut menjadi penanda atas kelas sosial yang memakainya : Only the wealthiests who afford to buy it.
Pada masa itu, gadis-gadis bangsawan akan merayakan pernikahan mereka dengan memakai baju & perhiasan berwarna “grandeur” tadi : emas, ungu, dan biru. Karena (secara finansial) mereka mampu membeli bahan-bahan mahal berwarna mewah & membuat berbagai-macam model pakaian, para gadis bangsawan ini kemudian menjadi trendsetter. Gadis-gadis dari kasta sosial yang lebih rendah hanya bisa berusaha meniru bentuk baju & penampilan para bangsawan-trendsetter tersebut. Jarang sekali mereka bisa menggunakan baju pernikahan dengan warna “grandeur” tersebut karena mahal.
Beberapa takhyul tentang kesuburan, kebahagiaan & keberuntungan juga turut meramaikan cerita asal-muasal pemilihan warna baju pengantin; misalnya, pemilihan warna biru karena berasosiasi dengan kesucian dari sosok Virgin Mary, atau menghindari penggunaan warna merah-menyala (scarlett) untuk baju pengantin karena warna tersebut sering dipakai wanita tuna susila agar tampil “menggoda”. Di masa itu, warna hitam & putih juga jarang digunakan untuk baju pengantin karena warna hitam diasosiasikan sebagai warna orang tua & warna berduka, sedangkan putih diasosiasikan sebagai warna masa berkabung. Memang, di satu sisi, warna putih juga diasosiasikan sebagai simbol kesucian & virginitas, namun pada masa itu lebih sering digunakan oleh gadis kecil; warna putih yang dikenakan saat berkabung melambangkan “menahan diri untuk tidak menikmati hal-hal duniawi” selama masa berkabung, sebagai penghargaan bagi mereka yang meninggal dunia. Sampai-sampai, ada sebuah pantun Inggris kuno yang menggambarkan “nasib” yang dibawa oleh warna baju pengantin :
“Married in white, you will have chosen all right. Married in grey, you will go far away. Married in black, you will wish yourself back. Married in red, you’ll wish yourself dead. Married in blue, you will always be true. Married in pearl, you’ll live in a whirl. Married in green, ashamed to be seen. Married in yellow, ashamed of the fellow. Married in brown, you’ll live out of town. Married in pink, your spirits will sink.”
.
Pada 24 April 1558, Mary-Queen of Scott menikah dengan Francois II, putera mahkota Prancis yang kemudian menjadi raja. Pernikahan politik itu dilaksanakan dengan Mary-Queen of Scott memakai gaun pengantin berwarna putih; Mary-Queen of Scott disinyalir sebagai wanita(ternama) pertama yang memakai gaun pengantin warna putih. Pada masa itu, memakai gaun pengantin warna putih adalah aneh karena putih adalah warna resmi untuk masa berkabung dalam tradisi Perancis saat itu. Menurut gue, mungkin gaun warna putih sengaja dipakainya sebagai perlambang “berduka” karena harus menikah untuk kepentingan politik kerajaan (sotoy MODE: ON 😛 ). Sekilas sejarah : perkawinan itu berlangsung setelah masa Hundred Years’ War (berlangsung selama 116 tahun (1337-1453)) antara kerajaan Inggris & Perancis); Perancis memenangkan perang tersebut & Skotlandia meminta bantuan Perancis (selaku musuh Inggris) untuk bisa melepaskan diri dari Inggris.
.
Putih tetap tidak menjadi warna pilihan utama untuk gaun pengantin sampai tahun 1840, dimana Ratu Victoria mengenakan gaun pengantin putih saat menikah dengan Pangeran Albert of Saxe-Coburg. Lagi-lagi, statusnya sebagai keluarga kerajaan membuat Ratu Victoria menjadi trendsetter saat mengenakan gaun pengantin putih mewah berhiaskan penuh renda Honiton Lace. Gaun pengantin putih a la Ratu Victoria sukses ditiru warga eropa kala itu, sebagaimana 141 tahun kemudian (1981), seluruh wanita barat tahun 80-an mati-matian meniru bentuk gaun pengantin putih mewah yang dikenakan Lady Diana Spencer saat menikah dengan pangeran Charles. Saat gaun pengantin a la Ratu Victoria booming, naiknya permintaan terhadap bahan-bahan gaun putih mewah tersebut membuat para pembuat bahan & renda gaun pengantin kewalahan memproduksinya, karena di masa itu renda putih masih dibuat secara manual. Belum lagi gaun putih termasuk sulit dirawat karena kotoran yang menempel akan tampak jelas disitu. Akhirnya beberapa pengantin dari kelas sosial yang lebih rendah kembali mengenakan gaun pengantin dengan warna selain putih, kecuali warna hitam (warna berduka) & warna merah menyala (warna yang kala itu, identik dengan the brothel house).
Sejak era Victorian itulah tradisi mengenakan gaun pengantin warna putih ditiru para wanita & terus dilestarikan. Kemudian tidak hanya warna putih plain saja yang dipilih untuk warna gaun pengantin, tetapi juga nuansa gradasi putih seperti creme, champagne, broken-white, off white & ivory. Saat era Great Depression melanda, yang disusul oleh Perang Dunia II, kondisi ekonomi dunia mengubah pilihan jenis bahan yang digunakan untuk gaun pengantin : penggunaan renda, sutera & beludru diminimalisir karena langka & mahal. Para wanita membuat gaun pengantin mereka sesederhana mungkin, namun tetap warna putih menjadi pilihan utama, karena simbolnya kesucian & “innocence”. Desainer ternama Coco Chanel pernah “menangkap-peluang” dari kondisi ini untuk mempopulerkan gaun pengantin knee-length (selutut) yang berkesan simpel namun tetap menaruh detil mewah pada jenis aksesorisnya.
Sampai sekarang, putih tetap lestari di kalangan para wanita sebagai pilihan warna baju pengantin. Putih menjadi warna privilege para pengantin wanita untuk tampil-beda & anggun di hari pernikahannya. Seolah-olah ada cap “FOR BRIDE-ONLY” yang menyertai pemilihan warna putih untuk baju pengantin. Ini bukan aturan resmi sih, karena sekarang banyak juga pengantin yang memilih warna selain putih untuk baju pengantinnya… hanya saja, warna putih lebih terasa… sangat-pengantin, yang menandakan pemakainya sebagai “ini-lho-pengantinnya” di hari yang spesial itu 😛 Later, bukan hanya gaun pengantin modern a la barat saja yang memakai Putih sebagai “warna resmi”; di beberapa negara, baju pernikahan bernuansa adat seperti kebaya, baju kurung, kimono dan cheongsam turut mengadopsi warna putih, oleh karena makna kesucian yang dibawanya 😀
P.S : Jadi begitu, Chy… kenapa baju pengantin itu identik berwarna putih… 🙂
18 Comments
Azleena
wow… now we know… hahaa…
aini
hihihi… i myself wore a blue dress b’coz my mom pick it for me, haha… now i know what the-blue-colour means 😛
echy
Hmm..ga nyangka obrolan ringan kita bisa jadi tulisan sebagus ini BRAVO AINI, jadi gw milih warna apa niy??tetep bingung hehehe
mastura
iya..pakaian pengantin idaman saya juga putih..
aca
wow.. good job aini! 😀 anyway, i always want to wear black on my wedding.. hehe.. 😛
aini
hahaha… just like my mom, she also wore black on her wedding… kebaya solo gitu 😀 Black always looks gorgeous with pale gold 😉
aca
waaaa.. ur mum wore black on her wedding.. dats cool.. when i told ppl dat i wanna wear black.. they told me dat i’m crazy.. hehe.. 😀 black n pale gold eh? i was thinking of black n silver.. 😉
Karima
i dream of wearing black with red linings on my wedding day
zara
hmmm… white would be nice
tasya
tambain dong…..gaun2x…
eva
keluarin inspirasi gaun gaun impian pengantin hehehehe…..
coco
kalau yang black mah, kebaya khas solo kali.. bukan pas akad dipakeinya.. pas resepsi.. iya bukan?
aini
kebaya solo yg black itu mmg seringnya dipake pas resepsi… tapi ada juga yang pake buat akad, seperti waktu sepupu & ortu saya nikah. Selain acara akad nyambung dg resepsi, mungkin sengaja biar nggak ribet2 gantibaju 2x ‘kali yaa… 😀
nda
thank you, need this article.
sempat bingung dan ga puas sama baju akad yang dah gw beli.. perpaduan coklat muda krem gtu.
it looks pretty on me *my soon-to-be husband agree* ^^; tapi terus ada celetukan yg bikin gw bingung lagi hehe 😀
but this article really answer my doubt.
baru tau malah ada yg pake item bwt akad 🙂
aini
sama2, Nda 🙂 baju akad gw pun bukan putih kok (tapi warna biru muda), hehee. Coklat muda krem bagus kok… apalagi klo ada a hint of gold-nya. Yang penting mah PD pas pake bajunya, that’s the main “ingredient” of a stunning-look 😀
eelmarmono
salam maal hijrah moga kehadiran tahun baru ini lebih mendapat keberkatan
Lala
Oh gitu…jd sebenernya akad gk harus putih kan??? aku dah beli 2 kebaya ungu n putih. Yg ungu aku mo pake buat akad n yg putih buat resepsi coz buntutnya panjaaaang (menurutku lbh pas dipake resepsi yg panjang2 gitu n jarang banget tamu2 yg dtg pake kebaya putih bt kondangan). Tp celetukan sono sini bikin hati ragu, ktnya “akad tuh harusnya putiiiiih”…Boleh share donk mbak ke email aku…thx 🙂
yuni
si nice..
i like it..^_^