Setelah Kelantan & Trengganu, Alhamdulillah di awal bulan Desember ini gue berkesempatan menclok ke kota Kuala Lumpur 😛 Nggak persis di kota Kuala Lumpur, tapi selama 5 hari gue ikut Baim yang ditugaskan di Cyberjaya & Putrajaya. Baim ditugaskan di Cyberjaya (Silicon Valley-nya Malaysia) & akomodasi hotelnya di Putrajaya, distrik pemerintahannya Malaysia. Faktanya adalah : kalo mau ke Putrajaya dengan gaya ranselan, ya harus numpang lewat & menginjakkan kaki di Kuala Lumpur dulu. Kedua kota tersebut memang berada di lingkar luar kota Kuala Lumpur. Cyberjaya sendiri masuk ke wilayahnya Sepang, Selangor (yang terkenal dengan Sepang International F1 Circuit-nya). Kalo gituh, biarpun akomodasi hotelnya di Putrajaya, tapi pastinya mudah dong jalan-jalan ke Kuala Lumpur sekalian…
Minggu (30/12), Baim & gue berangkat jam 9 pagi dari terminal bus Sg.Nibong (pakai bus Plusliner (RM35 per seat)) menuju Kuala Lumpur. Biasanya begitu kepala menyentuh sandaran kursi yang empuk, gue langsung kebluk sepanjang perjalanan, tapi kali ini penyakit-kebluk gue baru kumat pas di akhir-akhir perjalanan 😀
Saat bus melewati wilayah Gopeng di negara bagian Perak, gue sempat melihat gunung-gunung kapur berhutan yang menjulang tinggi, kontras dengan langit biru di atas Perak. Pemandangan gunung-gunung kapur tersebut mengingatkan gue akan setting lembah-lembah dalam pilem kung-fu cina. Tinggal ada dua pesilat beradu jurus pedang maut sambil melayang terbang dari lembah ke lembah lain, lengkap dah pemandangannya. Kata Baim, dalam gunung-gunung kapur tersebut banyak terdapat gua-gua besar ber-stalagmit & stalaktit; salah satu gua yang dijadikan objek pariwisata di Gopeng tersebut adalah Gua Tempurung (hehe, jadi pengen kesana…).
Setelah 6 jam mangkrem dalam lajuan bus, akhirnya… sampai juga di KL, horeeeee ! Bus kami berhenti di Jl. Sultan Hishamuddin, di depan Kuala Lumpur Old Railway Station. KL Old Railway Station ini adalah stasiun yang digunakan Keretapi Tanah Melayu (KTM), beroperasi sejak tahun 1910. Sekarang stasiun ini hanya dipakai sebagai stasiun angkutan kereta komuter dan museum kecil; sebagian dari gedungnya kini dipakai juga untuk hotel bintang-2 & tempat perhentian beberapa bus antarnegara-bagian (terminal bus utamanya di Puduraya). Stasiun tua tersebut berupa gedung besar berwarna putih, berseberangan dengan KTM Railway Administration Building. Begitu mendapati diri gue diapit dua gedung “tua” yang besar & anggun ini… gue cuma bisa mangap, bengong. Secara gue cintaaa banget sama keindahan bangunan-bangunan tua, maka gue sangat menikmati keindahan arsitektur kedua bangunan tersebut. Arsiteknya, Arthur Benison Hubback, membangun kedua gedung tersebut dengan arsitekrut gaya “Neo-Moorish”; pada jaman segitu, saat Kerajaan Inggris Raya lagi getol2nya meluaskan imperiumnya di koloni-koloni Asia (terutama India), model bangunan berarsitektur campuran arab-india-inggris mulai dikenalkan oleh arsitek-arsitek Inggrisnya. Bangunan lain di KL yang berarsitektur serupa adalah Mesjid Jamek & Sultan Abdul Samad Building.
Puas mangap-melongo menikmati keindahan bangunan2 tua era kolonial, gue teringat bahwa kami belum membeli tiket bus untuk pulang. Takutnya, karena menjelang hari raya Idul Adha, tiket bus jadi sulit didapat berhubung banyak juga orang KL yang pengen mudik ke udik by bus. Akhirnya mumpung masih di terminal bus, Baim langsung membeli tiket pulang. ALhamdulillah, dapet tiket pulang ke Penang untuk Jumat malam, berangkat jam 23.59, hahaha… lumayan, pulang ke Penang sekalian bobo di jalan setelah nanti puas ngubek2 KL semalam suntuk.
Tiket pulang sudah ditangan, ransel pun kembali dipanggul, dan kami bergerak naik KTM (kereta komuter) menuju stasiun KL Sentral. Dengan tiket KTM seharga RM 1/orang, kami naik kereta & gak sampe 10 menit kemudian sudah sampai di stasiun KL Sentral. Terletak di jantung kesibukan kota KL, KL Sentral ini mulai beroperasi pada 16 April 2001, dibangun untuk menggantikan fungsi KL old railway station.
Gue berasa shock begitu masuk KL Sentral. Beda banget dengan old railway station sebelumnya yang klasik, hangat, namun sepi… KL Sentral ini dibangun dalam design modern-minimalis yang beku (beton, baja, kaca dimana-mana), namun “dihidupkan & dihangatkan” oleh kesibukan orang-orang KL yang hilirmudik keluar-masuk dari dan ke segala penjuru kota, untuk naik segala jenis transportasi publik massal dari stasiun ini. Dari transport publik komuter, antar kota, dalam kota, menuju KLIA sampai kereta-antarnegara, semuanya melewati KL Sentral. Kalau mau naik KL-Monorail, cukup berjalan sekitar 150 m keluar KL-Sentral menuju Jl. Tun Sambanthan. Kelaparan setelah perjalanan yang cukup jauh ? Makan aja di food court (isinya kebanyakan masakan Thai & melayu), beli cemilan di gerai Seven-Eleven, beli cokelat di Chocolate Shop, atau sekalian menggasak fastfood kayak McD, KFC & Dunkin Donut. Killing ur time sambil nunggu janjian ketemu teman ? Cuci-mata aja ke toko bukunya atau ke beberapa kios suvenir, aksesoris & baju-baju. Atau mau beli perlengkapan toilettries biar tetap bisa tampil representatif & wangi ? Mampir ke gerai Guardian Pharmacies disini. Di KL Sentral juga disediakan gerai ATM, mushola, tempat penitipan koper & shower-bathroom. IMO, kalau ada yang kurang, mungkin yah kekurangan jumlah bangku-bangku & tempat duduk aja kali yah; karena gue lihat, banyak sekali orang-orang sedang menunggu (mungkin janjian ketemu disitu ?) yang akhirnya duduk lesehan di lantai stasiun sambil nonton TV flat screen besar yang diletakkan di beberapa waiting-spot di KL Sentral ini. Gue men-spot beberapa turis bule (dengan ransel segede badan ataupun yang lagi santai-santai jalan) pada duduk lesehan. Sayang aja, stasiunnya keren-modern-abis kayak gini tapi yang menunggu didalam situ malah duduk lesehan, hehe…
Di KL-Sentral, gue & Baim mengenyangkan-diri di foodcourt sebelum melanjutkan perjalanan menuju Putrajaya (masih jauh boo’). Selesai makan, sambil sightseeing seisi KL-Sentral, kami berjalan menuju mesin tiket untuk membeli tiket ERL-KLIA Transit menuju stasiun Putrajaya/Cyberjaya. Dua tiket ERL-KLIA Transit bisa didapat dengan uang RM 19. Selain kerapihan & sistem transportasi yang terpadu, satu lagi yang bikin gue jatuh cinta sama transpor-publik KL : beli tiketnya self-service. Ada sih loket tiket yang mengantri, tapi lebih banyak mesin ticket-vending untuk membeli tiket swalayan. Tinggal pilih tujuannya, masukin duit sejumlah harga tiketnya… voila, anda mendapatkan tiket anda 🙂 Sampai di platform ERL, kami disambut oleh tulisan ini :
Melihat dua stasiun kereta yang seharian ini gue sambangi, gue jadi ngebatin : Mbok ya Pak Fauzi Bowo, bikin kayak gini juga dong di Jakarta, jangan cuma bikin kantor, hotel & mall 😛 Anyway, gak apa2-lah 16 menit kami menunggu, toh keretanya pasti datang tepat waktu 😀 Kamipun menunggu kereta datang…
…delapan menit kemudian, kereta kamipun datang !!! Kereta ternyata datang 8 menit lebih awal untuk menunggu semua penumpang masuk, dan berangkat pas tepat waktu. Nah, didalam KLIA Transit ini, barulah kami bisa duduk nyaman-tenang-aman-damai-dan-sentosa dalam 30 menit perjalanan berikutnya menuju Putrajaya 🙂
Sore hari sesampainya di stasiun ERL-Putrajaya (stasiunnya sepiii…), kami dijemput oleh Soma, teman sekampus & se-flat Baim jaman masih bujang dulu. Soma tinggal & kerja di daerah Cyberjaya. Note this : sebelum berangkat ke KL, gue masih hepi-hepi aja membayangkan akan bisa berjalan-jalan di Putrajaya yang penuh gedung indah & taman-taman, lalu mampir ke Mall Alamanda-Putrajaya buat makan. Ternyata… Putrajaya tuh luaaaas aja !!! Dari kompleks perumahan di pinggir-pinggir kota menuju pusat Putrajaya itu lumayan jauh (meski kondisi jalannya mulus & lebar, mirip jalan tol ), maka penduduk Putrajaya lebih milih naik mobil; ditambah dengan kenyataan bahwa nggak semua tempat tujuan seperti gedung, mesjid & taman-taman yang ingin gue kunjungi itu dilewati oleh bus.
Gue makin stres manakala Baim & Soma membutuhkan waktu lebih dari 45 menit untuk mencapai hotel tempat kami tinggal. Gue mulai resah. Jangan-jangan, hotelnya berada di ujung kawasan Putrajaya ? Ditambah tadi Baim juga bilang kalau hotel tempat kami tinggal pun tidak masuk jalur bus dalam kota, means gak ada bus Rapid-KL yang lewat disana…
Benar saja, ternyata hotelnya adalah sebuah resort-hotel luas berpadang golf di kawasan pinggir Putrajaya (kalau nggak pakai nyasar-nyasar dulu, aslinya 15 menit naik mobil dari stasiun ERL-Putrajaya & dari pusat kota), bukan didalam Putrajaya. Gue cengo’, impian gue untuk puas ngibing di pusat Putrajaya & ke berbagai taman pun pupus. Mobil siapa, coba… yang bisa gue tebengi mobilnya ke Putrajaya ??? Satu-satunya pilihan yang tersedia saat itu untuk bepergian dari hotel ke Putrajaya adalah … naik taksi. NO WAY, nggak mau gue naik taksi Malaysia yang ber-argo tembak & gak pernah pake argometer bayaran itu. Bayangkan, 15 menit perjalanan menuju Mall Alamanda (bukan tepat di pusat Putrajaya), supir taksi-nya langsung menembak rate RM17, sementara dari Mall Alamanda kembali ke hotel ditembak tarif RM20. Gilak, ini sama aja dengan pemerasan !!! Kayaknya kalo soal taksi, maish lebih beradab taksi di Jakarta yah… (kecuali taksi bandara ya, hehe)
Seketika, gue jadi merindukan mudahnya naik-turun kereta di stasiun-stasiun di KL tadi… Mau jalan-jalan kemanapun bisa, nyaman & mudah…
2 Comments
ali
been there 😀
aini
…done that 😉