Hi…
It’s me, again, yang punya ‘rumah’ πŸ˜›

Fhiuuhh… Ada kali ya, rumah ini ditinggal nyaris sepuluh bulan. Kayaknya sejak Januari kemarin ‘rumah tercinta’ ini makin nggak ketanganan karena… Kami pindahan lagi.

Ih demen amat sih tinggal pindah-pindah? Hihi, bukannya demen, tapi lebih karena ngikut tuntutan pekerjaan misua. Kalau diingat-ingat, iya sih, saya & pak misua itu udah empat kali pindahan dalam enam tahun perkawinan kami. Ke Penang, lalu pindah ke Jakarta (dan commuter ke Bogor), lalu ke tanah kutub utara, lalu… pindahan yang baru-baru ini.

Jadi, akhir 2013 lalu, pak misua dapat tawaran kerjaan yang sulit rasanya untuk ditolak. Sebenarnya kami udah mulai betah tinggal di Kutub. Semua mulai settled. Kalau tawaran tersebut diambil, kami harus pindah selama enam bulan ke lain negara.

Nggak pake mikir dua kali, pak misua langsung menyambar tawaran tersebut πŸ˜† “Eh tapi ribet nggak ntar kita harus pindah-pindahan? Alma juga musti ganti sekolah kan?”, tanya pak misua ke gue.

“Mikirin ngepak pindah-pindahan mah nanti, itu bagian aku yang beresin! Kamu ambil dulu aja tawarannya!” jawab sang istri (baca: gue), sok ke-PD-an.

Pindahan kali ini agak deg-degan. Soalnya urusan visanya terkenal ribet buat orang-orang pemegang paspor hijau. Jadi sepanjang akhir tahun lalu, kami sengaja nggak halo-halo dulu mengenai rencana kepindahan kami. Yang tahu cuma orangtua, kakak-adik, dan guru di sekolah Alma. Semua diurus dalam tenang, sambil harap-harap cemas. Dari mulai pak misua nyiapin proposal & urusan administrasi, lalu Januari ke Oslo ngurus visa, lalu ngerapihin isi rumah. Yang paling deg-degan itu adalah waktu ngurus visa. Jadi, setelah masukin aplikasi visa ke kedubes negara Ybs di Oslo, paspor kita musti ditinggal juga disana selama sebulan. Meaning, dalam sebulan itulah kami bertiga passport-less di tanah asing. Rasanya maknyus, mengingat paspor jadi semacam ‘nyawa kedua’ bagi warga-warga diaspora macam kami ini. Staf kedubesnya sendiri cuma bilang, mereka akan mengontak kami kalau visanya sudah jadi dan paspor akan dikirim ke alamat rumah kami, kemungkinan makan waktu sampai empat minggu.

Dan dalam waktu empat minggu itu juga, pak misua sudah harus sampai di negara ybs. Kalau tidak, maka surat pengantarnya keburu kadaluwarsa dan harus mengulang lagi segala printilan urusan administrasinya. JRENG JREEENGG!

Februari lalu adalah empat minggu terlamaaaa yang pernah kami jalani. Bolak-balik cek website informasi status visa, bolak-balik cek tracking code, bolak-balik cek isi kotak surat depan rumah. Senewen pol-polan. Kami belum pesan tiket karena takut kalau ternyata malah nggak dapat visa. Nggak mau ke-PD-an.

Sampai empat hari sebelum tanggal kadaluwarsa surat pengantar pak misua, paspor masih belum kunjung ada di tangan, kepastian dapat visa atau tidak pun masih belum tahu. Kata Baim, nanti begitu dapat kabar visanya granted, kita langsung pesan tiket aja. Sambil menyuntik sedikit keyakinan bahwa kalau sampai tiga minggu nggak ada kabar tentang visa, berarti visanya pasti dapet dong! I know, ini penarikan kesimpulan yang ngasal banget πŸ˜†

Mungkin ada benarnya juga pepatah “fortune favors the bold”. Yang penting PD dulu. Keesokan harinya saat Baim cek status visa, tertulis bahwa… Permohonan visa kami dikabulkan! Hati langsung LEGAAAA! Tiket langsung dipesan!
Tapiiii… Begitu cek tracking code paket, disebutkan bahwa pengiriman paket berisi paspor kami dari Oslo ke tanah kutub itu bisa makan waktu sampai… SEMINGGU. OK, BATAL LEGA DEH. Senewen part-2 dimulaiiii grakk!! Entahlah bagaimana nantinya nasib tiket yang sudah keburu dipesan πŸ˜†

Energi dari rasa senewen pun kami salurkan dengan mengepak isi koper, hihi. Karena besar kemungkinan kami akan pindahan, maka kami mulai mengabari beberapa teman di Tromso. Waktu itu ngabarin dulu ke Bang Danu buat minta nitip kunci rumah, dan ngabarin mas Yusuf yang akan sementara menempati rumah kami. Trus curhat juga ke Fanny, yang saat itu udah punya rencana mau ke negara yang sama tapi udah duluan dapet visanya, hahahaa. Tiga hari sebelum pindahan pun gue masih sempat masak rendang, sesajen buat Bang Danu πŸ˜† maap yah Bang Danu, dibayarnya pake rendang sekilo aja, hihi.

H-2, mas Yusuf tiba di Tromso. Mas Yusuf ini mahasiswa PhD sesama wong Indunisi yang lagi nunggu tanggal sidang disertasi. Pak misua tawarkan agar rumah ditinggali mas Yusuf selama kami pindahan. Sorenya sepulangnya dari Lab, pak misua masuk ke rumah dengan senyum lebar sambil… Membawa paket berisi paspor kami yang sudah ditempeli VISA! ALHAMDULILLAH, JADI BERANGKAT πŸ˜†

Setelah penerbangan berjam-jam dari Tromso ke Oslo lalu singgah di Frankfurt, tidak ada yang lebih melegakan selain saat akhirnya mendengar panggilan boarding pesawat yang akan membawa kami ke petualangan selanjutnya:

image

πŸ˜‰