Jauh-jauh hari sebelum nyampe di Norway, gw ditatar khusus sama jeung @TisaTisyonk tentang… cara memilih sepatu buat disana. Ini penting karena selain nyampe pas lagi musim dingin (nggak mau kakinya beku trus frosbite kan?), berjalan di atas lapisan es (bukan salju yah, tapi es) butuh skill khusus.

Sedari sebelum berangkat, gue & Baim udah punya bayangan kalau disana kemana-mans bakal ngibing jalan kaki mblusukan salju & naik-turun bus. Tisa pun ngewanti-wanti, tolong cari snow boots yang bagus, bukan sembarang winter boots yang lucu-lucu & gaya. Terutama snow boots buat Alma. Mahal gapapa, yang penting berkualitas biar bisa tetap nyaan & aman di iklim dingin. Oh, sama pakai kaus kaki wool-campuran yang moisture wicking, biar keringatnya nggak ngumpul bikin kaus kaki basah & bau. So, kaus kaki katun spandex is a big no-no.

Apa? Pake boots kulit hak 5cm yang maha-stylish itu?? Lupakan πŸ˜† Buat jalan di salju & es lebih cocok pake boots model Xena The Warrior Princess yang bulky karena heavily insulated oleh wool atau wool-campuran, dengan lapisan luar kedap air dari kulit asli/nubuck/goretex, serta telapak sepatunya dari karet empuk bergerigi macam vibram. Goretex, untuk mencegah kaki basah oleh cipratan air/es/salju/lumpur dari luar. Vibram, biar telapak sepatunya bisa ngerem 'pakem' saat jalan di permukaan yang licin… Seperti kalau ketutup lapisan es. Telapak sepatunya harus karet bergerigi, bukan bahan plastik yang rata mulus. Kalo sepatu pakai upper sole goretex, masih bisa kompromi lah. Kulit asli atau nubuck lebih OK, asal jangan suede. Tapi bagian telapak berkaret empuk ini jangan kompromi lah, pokoknya jangan. Pas lihat sendiri disini, iya juga sih… Kebanyakan orang sini lalu lalang pakai snow boots bagus & telapaknya pakem. Itu baru namanya 'investasi'. Yang pada pakai ankle boots atau keds itu justru yang kemana-mana bawa mobil, bukan yang jalan kaki naik-turun bus. Trus winter boots cantik-cantik macem ankle boots atau boots selutut hak 7cm biasanya dipakai pas musim gugur, dimana udara udah cukup dingin tapi salju belum mulai menggunduk. Seru juga yah di negara empat musim begini, ganti musim ya ganti sepatu πŸ˜†

 

Tapi Tisa nambahin, pake sepatu yang tepat itu baru permulaan. Next: you must learn to walk like a Norwegian. Gabungan antara sepatu yang tepat & gaya jalan yang benar bisa menyelamatkan leher, kalo nggak menyelamatkan nyawa.

Gue gak ada bayangan gimana gaya jalannya orang sini. Gatel pengen nyari di youtube juga sih πŸ˜† Tapi akhirnya lihat sendiri pas udah disini. Orang sini jalannya nggak terburu-buru, melainkan melangkah berhati-hati tapi gagah tegap gitu. Gak cewek, gak cowok. Baik itu anak muda yang manggul ransel maupun ibu-ibu yang ndorong stroller. Kaki agak melebar nyaris ngegang, langkahnya agak menekan, bertumpu pada seluruh telapak kaki & tumit. It's all about weight distribution. Apalagi jalanan disini rutenya mendaki gunung lewati lembah. Harus jalan tegap gagah berani kalo gak mau kepleset. Lupakan gaya jalan lenje santai dengan bahu slumped & tangan melenggang kangkung, atau gaya jalan tergesa-gesa a la New Yorker ngejar subway (ato gaya jalan orang Jakarta ngejar Metro… Metromini :-P). Apalagi gaya jalan ladylike dengan hip swaying a la model & kaki menyilang segaris pas melangkah. Silakan coba, dijamin sukses kepeleset. Soalnya gue ngerasain sendiri durjananya kepleset lapisan es hanya karena salah gaya jalan.

Jadi pas minggu pertama disini, di suatu siang kami bertiga jalan pulang dari belanja. Lupa, ngambil rutenya malah yang menuruni tanjakan. Lupa pula kalo suhu sudah menghangat. Kalo dipikir jalan di salju itu dingin gak enak, salah banget: jalan di lapisan es lebih nggak enak. Saat suhu menghangat, lapisan es yang terbentuk dari salju yang mencair & membeku kembali lebih bahaya. Licin, cyiinn. Silakan bayangkan medannya: menuruni tanjakan + jalanan licin ketutup es. Cakep.

Ah tapi gapapa lah kan pake snow boots ini, pikir gue. Sementara Baim jalan di depan gendong Alma yang rewel, gue mindik-mindik di belakang nenteng belanjaan. Tuh satu lagi: orang sini itu kalo jalan di salju/es sebisa mungkin tangannya nggak ting nggrendil penuh nenteng belanjaan.

Baim udah ngingetin, jalannya jangan menumpu ke kaki bagian depan, tapi pake seluruh telapak kaki. Oke lah gue praktekin sambil terhuyung-huyung. Di depan sana Baim terhuyung-huyung gendong Alma. Gak sampe lima menit ngomong, brukkkk! Baim beserta Alma jatuh ngejeledak. Alma jatuh ke gundukan salju empuk di tepi jalan, tapi Baimnya jatoh di jalanan. Ampe bunyi gedebuk gitu. Untung tangannya sempat ngelindungin kepala.

Panik, gue buru2 ganti gigi melangkah ke Alma dan… Gak tau gimana caranya, detik berikutnya gue udah telentang di atas tanah dengan bunyi KRAAKK! keras dari kepala, sakitnya bukan main. Plus dari leher sampe pinggul sakit sesakit-sakitnya.

Gue gak tahu berapa lama melintang di atas jalanan berlapis es, nggak tahu berapa lama blank, yang terdengar cuma Baim manggil2 & Alma nangis “Mama! Mama!”. Tangan gue masih di samping badan, mencengkram belanjaan, nggak sempat ngelindungin kepala. Kemudian barulah sadar kalo tadi itu jatoh ngejeledak. Pas coba ngangkat kepala, rasanya sakit berdenyut-denyut & di dalam kerudung ada pecahan2 benda remuk. Pelan-pelan gue pegang, alhamdulillah kepala utuh πŸ˜› Tapi jepitan rambut sukses remuk. Suara krakkk! tersebut bukan dari kepala, bukan juga dari leher melainkan jepit rambut yang pecah duluan saat kepala menghantam jalanan.

 

Sampai sekarang masih merinding ngebayangin seandainya pagi itu nggak jadi mencepol rambut pake jepitan rambut…

Ternyata nggak sampai disitu aja. Selama 5 hari berikutnya bagian bawah kepala & leher gue sumpah-suakit-buanget. Dari rahang bawah telinga sampai leher dekat bahu. Dugaan: ada otot yang snapped ketarik saat jatuh kepala menghantam tanah. Kayak whiplash gitu. Menoleh sakit, mendongak sakit, nunduk sakit, bangun dari posisi tidur telentang sakit… Noraknya gue sampai histeris nangis, takut kenapa2 dengan si kepala. Baim nenangin gue & bilang kalau sampai kerasa mual, muntah dan pusing yang limbung, segera kasih tahu biar langsung ke dokter. Sehari, tiga hari, lima hari, alhamdulillah nggak mual muntah limbung. Nggak pusing yang amat sangat. Dari yang kalau bangun tidur harus dibantu Baim diangkat punggungnya, pelan-pelan mulai bisa bangun sendiri & nggak sakit lagi saat ngangkat kepala dari posisi rebahan.

Pelajaran yang bisa dipetik: kalo jalan di jalanan berlapis es, tangan jangan occupied semua ting nggrendil nenteng belanjaan. Mending belanja secukupnya & dibawa dalam ransel, atau digeret pake kereta salju. I did that once, ke supermarket bawah bawa kereta saljunya Alma karena mua beli beras 5kg & susu 3 kotak πŸ˜› Trus kalo panik, jangan buru-buru ganti gigi melesat. Lebih bagus lagi kalau… Jangan panik sekalian, hehe. Sepatu bagus mah tinggal sepatu bagus kalo yang punya kakinya ceroboh. Trus kalo jatuh, badan langsung curled dengan posisi dagu diarahin menempel ke dada; jadi kepalanya nggak menghantam tanah. Tangannya ngelindungin kepala lebih bagus lagi. Kalo kata Bambang-sensei waktu dulu les aikido: buat jatuh pun perlu posisi yang bagus biar kepala nggak cedera. Sama satu lagi: paling bagus ya pake kombinasi konde & helm hockey buat ngelindungin kepaa selama jalan di lapisan es πŸ˜† Tapi daripada dikira Jason Friday, yasudahlah cukup pake konde cepolan dijepit aja. Ato konde sanggul, kalo mau repot πŸ˜†

Fhiuuhh… Another lesson learned in a hard way. Sekarang kalau lagi jalan kaki, mata mulai terlatih buat memprediksi gundukan salju di depan itu salju beneran ato udah jadi es. Trus gaya jalannya kembali tegap gagah perkasa. Memang dari dulu pun gaya jalan gue udah gagah perkasa, cuma nyokap tercinta aja yang bolak-balik sering negur, “Jalannya yang rapet! Lurus segaris!! Jangan gagah perkasa begitu!! Kamu itu cewek!“. Sampai sekarang pun suka dikomentarin gitu. Yah gimana dong, Ibu… kalo disini tetap jalan lemah gemulai mah nggak bakalan selamat πŸ˜›