Empat belas hari setelah pindahan ke Jakarta, tiba-tiba aja keinget kalau belum menghapus ini di kusen pintu rumah Penang:

šŸ˜†

Itu teraan tinggi Alma yang gue buat di kusen pintu kamar rumah di Penang, sejak saat Alma mulai bisa berdiri tegak. Coret-coretan urek-urek di sekitarnya? Itu coretan tangan Alma yang pengen ikutan menera tingginya sendiri šŸ˜† Termasuk waktu dia menera tingginya si teddy bear.

Mungkin ingatan Alma akan rumah Penang belum terbentuk sempurna. Tapi di ingatan gue, Alma tumbuh di rumah Penang. Belajar makan, belajar ngerambat, belajar jalan, sampai mulai bisa lari & menyebaaarrrr mainannya ke seluruh penjuru rumah šŸ˜† Keluarga kami tumbuh disana. Our little happiness.

Sehari-harinya, dapur gue nggak pernah sekinclong itu lho šŸ˜† Nggak mungkin Aini punya dapur bersih kesat macam dapurnya Bree Van Der Kamp. Jadi rasanya agak aneh begitu melihat rumah sudah bersih kosong melompong, persis seperti empat tahun yang lalu saat pertama kali gue & Baim masuk ke dalamnya. Sekarang masih suka senyum-senyum sendirian kalau ingat Alma asyik main di kamar dengan koleksi 'kebun-binatang' fluffy animals atau di dapur bantuin gue bikin perkedel (dan menyebar biji lada hitam ke lantai dapur), Baim kerja di ruang tamu karena lebih dekat ke kulkas cemilan & di kamar selalu digrecokin gue & Alma. Pagi-pagi bertiga jalan ke taman danau kampus, ke pantai Queensbay atau ke Gurney. Melihat pemandangan matahari terbit dari balkon rumah. Sebelum Alma lahir, gue menghabiskan waktu dengan menyusuri jalanan kota tua & berdua Baim membuktikan review kelezatan makanan Penang sampai ke kedai Thai food di pantai Feringghi. Kerlip lampu kota yang terlihat dari pesawat saat akan mendarat kali pertamanya di Penang masih jelas pula dalam ingatan, kenangan pertama gue akan Penang.

Nggak mudah mengemas 4 tahun kehidupan kami selama di Penang. Memilah barang-barang yang penting untuk dibawa pindah. Merelakan banyak barang untuk ditinggal karena kepentok peraturan limit bagasi. Beberapa seperti buku-buku, dihibahkan ke para teman & sahabat karena lebih berguna kalau terus dipakai daripada masuk ke kitar-semula (recycle-centre) Sayangnya, kenangannya belum bisa direlakan. Padahal layaknya barang-barang, membawa terlalu banyak kenangan bisa jadi memberatkan pikiran.

Seminggu terakhir sebelum pindahan, para teman & sahabat bikin farewell party untuk kami. Tiga farewell party šŸ˜† Sampai ke bandara pun alhamdulillah banyak dapat bala bantuan. Lima koper & dua kardus besar, bisa nangis darah kalau nggak dapat bala bantuan šŸ˜† Dua jam sebelum ke airport, teman-teman ngumpul di rumah & ngobrol ngalor ngidul sebelum kemudian konvoi ke airport. Di airport, ternyata lebih banyak lagi teman-teman yang sudah menunggu disana. But I feel loved, para teman & sahabat melepas kepindahan kami dengan kenangan yang manis. Diantar sampai ke pintu imigrasi pula. You guys are awesome, we love you šŸ™‚

Bagian tersulitnya bukan saat mengemas barang-barang kami, atau merelakan beberapa diantaranya. Bukan juga saat membersihkan seluruh penjuru rumah yang sudah lebih menyerupai 'sarang'. Melainkan sesaat sebelum pergi ke airport, saat akan menutup pintu rumah. Kami diam aja, memandangi ruang tamu yang bersih & kosong. Saat Baim mau menutup pintunya, tangan gue otomatis menahan. Rasanya sesak saat ngomong, “Sini, biar aku aja yang ngunci, Im…” Tapi bermenit-menit setelahnya nggak kunjung gue kunci juga. Sampai kemudian Baim bilang, “It's OK… insha Allah nanti kita dapat tempat baru yang lebih baik.”

Sampai saat ini, gue masih belum rela. Ingatan menutup pintu rumah Penang sambil bercucuran airmata drama dan kemudian Baim memeluk gue di depan pintu rumah masih terus terbayang šŸ˜† Tapi beberapa kenangan, semanis apapun, bisa memberatkan kalau terus dibawa-bawa & ditengok-tengok. Dan beberapa hal memang harus kita relakan… Otherwise, we never move on to the next stage in our lives.