Biarpun tergolong varietas “aseli cewek”, tapi alas-kaki kesukaan gue bisa dibilang samasekali tidak kecewek-cewekan ๐Ÿ˜› Dari kecil sampe gede, gue dibesarkan dengan mencoba berbagai jenis alas kaki & layaknya wanita pada umumnya, gue juga superduperngiler kalo lihat sepatu dari-berbagai-kasta (mulai dari kastanya Christian Louboutin, Manolo Blahnik, Everbest, sampai sepatu-sepatu lucu di FO & ITC)… tapi itu semua murni buat cantik-cantikan aja. Cewek gitu loh, mana ada yang nggak suka sepatu ?? ๐Ÿ˜†

Tapi kalo udah bicara soal fungsi & kenyamanan… buat gue juaranya cuma satu : sendal gunung.

Di kaki saya, sendal “macho” ini udah setia dipakai selama sembilan tahun belakangan. Perkenalan dengan sendal-gunung bermula pas jaman kuliah di Bogor. Bogor 9 tahun yang lalu masih sering hujan, jalanannya pun grajal-grujul… bisa dipastikan sepatu macam keds & flatshoes cantik cuma bisa bertahan sampai 6 bulan. Enam bulan adalah waktu paling lama untuk sepasang sepatu bisa awet di kaki gue… sebelum kemudian mbrudul, solnya copot lepas-lepas & berakhir entah di tukang loak, atau tong sampah.

Pertama kali datang ke Bogor trus kemana-mana pakai moccasin & keds, langsung deh nangis-bombay… karena satu persatu, sepatu-sepatu koleksi gue sukses rusak. Awalnya selalu sama : nggak kering-kering setelah “dihantam” guyuran hujan & cuaca lembab Bogor. Kemudian lem di sol sepatunya jadi mudah sekali copot (saat ditempel dengan jahitan abang-abang sol sepatu, malah bikin tepian sepatunya kisut-kisut & jelek).ย  Belum lagi kulit sepatunya sering ikutan rusak terkelupas. Padahal saat itu kegiatan praktikum lab sedang banyak-banyaknya & salah satu persyaratan untuk lolos masuk ke ruang praktikum : pakai sepatu, atau alas kaki yang penuh menutupi punggung-kaki. Di semua lab, peraturan utamanya sama : sendal-jepit, selop & fancy flip-flops are BIG NO-NOs. Serba salah deh : pakai keds, baru sehari kering udah kuyup lagi keguyur hujan.ย  Tapi kalauย  pakai sendal jepit atau selop cantik, sudah bisa dipastikan bakal diusir dari lab praktikum.

Later, teman-teman yang notabene anak-kereta & anak-gunung pada nyetanin gue : “Udah… pake sendal gunung aja. Nih, kayak punya gue. Kalo pas praktikum, tinggal lu pake’in kaus-kaki… Mending sepatunya lu pake pas praktikum kimia aja.”

Akhirnya gue beli-lah itu sendal gunung … dan langsung gue jatuh-cinta pada injakan pertama ๐Ÿ˜†

Eiger #2 (yang #1 udah in memoriam)

Pertama kali beli tahun 2001, bareng Kiky & Mosi, sendalnya keluaran merk Eiger. Sol-nya empuuuk, ringan & bentuknya mengikuti lekuk kontur telapak kaki (jadi nggak bikin kaki capek pas jalan-jalan). Ukuran sling tempat jempol kakinya bisa diubah-ubah & model tali sendalnya juga bisa diganti-ganti : either mau bentuk sendal jepit atau sendal gunung yang tali sling-nya menyilang diatas punggung kaki. Pokoknya cinta-mati deh sama ini sendal ๐Ÿ˜† Sejak saat itu, kemana-mana jadi nyaris selalu pakai sendal gunung; dari mulai ke kampus, keluar-masuk lab praktikum, naik-turun angkot, mblasuk-mblasuk gunung, hutan, semak & kebun-raya, kencan (yes, bajunya boleh feminin; tapi sendalnya tetap sendal gunung ๐Ÿ˜† ), sampai waktu studi lapang ke Ujung Genteng. Sepertinya nyaris semua medan sudah pernah dijajal oleh Eiger ini; hutan, rumput, jalanan aspal, beton, jalan berbatu, karang, laut, mall, bus Kopaja, bemo, BMW, sadel ojek… you name it. Dan itu sendal tetap sehat wal’afiat ๐Ÿ™‚

Sebenarnya sebelum si Eiger ini hadir, nyokap pernah beliin sendal gunung tapi bentuknya lebih fancy dengan wedge-heels. Model buat cewek gitu, ‘kali ya. Sebulan-dua bulan, sendal-gunung fancy ini masih bisa dipake dengan nyamannya… tapi begitu masuk bulan ke-tiga, tahukah apa yang terjadi, Sodara-sodara ?

… Sendalnya patah, kebelah jadi dua ๐Ÿ˜†

Serius, gue nggak tahu gimana caranya & kenapa juga bisa begitu… tiba-tiba aja one day, di hari yang berhujan, pas gue lagi jalan di kampus… PLOKKK, sendalnya patah jadi dua *maafkan aku, Ibu!* Nggak pake nunggu berhari-hari, langsung gue bobol tabungan & beli sendal gunung baru (sambil dalam hati bertekad untuk nggak mau pindah ke lain hati, eh, sendal) ๐Ÿ˜†

Setelah lulus kuliah & kerja kantoran pun, gue masih setia memakai sendal gunung ini, terutama buat naik-turun bus & naik ojek ke kantor. Tapi polanya sedikit berubah : begitu sampai di kantor, sendal gunungnya diganti sama sepatu kantoran yang lady-like ๐Ÿ˜† Kadang kalau diajak teman-teman buat kongkow sepulang kantor, lebih memilih pakai sendal gunung ini. Simpel : soalnya nyaman aja ๐Ÿ˜‰ Setelah sekian lama, rasanya jadi kayak ada semacam affectional-bond antara (kaki) gue dengan si sendal gunung ini.

TeVa idamanku...

Sayangnya, si Eiger ini hanya bertahan selama 6 tahunan saja, karena saat banjir besar Februari 2007, dia hanyut terbawa arus banjir ๐Ÿ™ Sediiiih banget… saat banjirnya surut, gue hanya menemukan sebelah sendalnya saja, itupun tali dan solnya koyak (nggak tahu juga, kok bisa koyak ya ?). Sebelahnya lagi entah kemana. Lebih sedih lagi begitu tahu kalau di tahun 2007 Eiger sudah nggak memproduksi model sendal yang sama seperti yang gue beli pas 2001. Tapi kadung cinta, akhirnya kembali beli sendal gunung Eigerย  (selanjutnya mari kita sebut sebagai Eiger#2). Tapi pas dipakai & dibawa jalan, rasanya nggak seenak si Eiger #1. Malah pas coba sendal TeVa punya Agam (adik gue), walaaaah… di kaki rasanya mirip seperti si Eiger #1 !! Huhuhuu… jadi pengen punya TeVa ๐Ÿ™

Sekarang usia si Eiger #2 baru 2 tahun… hampir 3 tahun lah. Masih setia dipakai kemana-mana, masih enak dipakai & nyaman, meskipun durability & kenyamanannya nggak sebagus Eiger #1. Kalau Eiger #1 lebih banyak “dihajar” sama medan offroad serupa hutan, gunung, pantai berkarang & jalanan Jakarta, Eiger #2 ini agak-agak naik kasta lah : lebih sering dipakai buat travelling & naik pesawat. Pas bulan-madu ranselan, pakai si Eiger #2. Begitupula pas pindah ke Penang dan jalan-jalan ke beberapa heritage-site, kota serta negara-negara terdekat. Si Eiger #2 juga udah menginjak berbagai macam jenis bandara… dari yang mulus dengan lounge supernyaman, sampai bandara yang crowded & harus jalan-jauh dari satu terminal ke terminal lainnya. Nasibnya si Eiger #2 jelas lebih beruntung daripada si Eiger #1 ๐Ÿ˜›

Sampai sekarang saat hamil pun, kaki ini juga lebih betah kemana-mana pakai sendal gunung. Pernah sekali coba pakai flatshoes, tapi yang ada malah betis gue pegal-pegal & telapak kakinya sakit. Mungkin karena insole-nya terlalu datar & nggak lentur, ya ? Akhirnya balik pakai sendal gunung lagi. Terbukti deh, kaki nggak pernah terasa lekas letih selama jalan-jalan & naik-turun bus, karena sol-nya ringan & berlekuk. Sebenarnya Baim sendiri menawari gue untuk beli sepatu-sendal yang lebih “feet-friendly” untuk ibu hamil, macam keluaran Scholl atau HushPuppies. Kata Baim : “Sayang, kamuย  perutnya udah gede masih harus nunduk-nunduk masang tali sendal… Nggak capek ? Kalau ada aku sih kubantu pasangin, tapi kalau sendirian ??”. Hohoo… bener juga sih apa yang Baim bilang; gue pribadi merasa sekarang memang lebih enak kalau pakai sendal orthopedic dengan sol empuk & model selop… minus tali-tali & kancing velcro. Tapi kalo lihat harga Scholl atau HushPuppies, haduh… tunggu sale dulu ya, sayang !! Harga sepasangnya aja udah nyaris sama dengan sebuah baby-crib… jadi nggak rela buat beli sendalnya ๐Ÿ˜†

Lagipula si Eiger #2 ini masih awet… kalaupun harus ganti, pengennya ganti pake sendal gunung TeVa atau Karrimor ๐Ÿ˜† Tapi cek dulu, lagi diskon apa nggak ? Kalo nggak, baru deh ngelirik ke Scholl & HushPuppies ๐Ÿ˜†

bahannya yang empuk dan sederhana, sekali gerakan dah langsung bisa dipakai, membuat sandal jepit memang nyaman dipakai kemana-mana. macam-macam dulu sandal jepit yang dipakai kawan-kawan saya. ada sandal jepit yang merk swallow gitu, ada pula sandal jepit a la naik gunung. nah, yang terakhir ini yang paling banyak dipake.

sandal jepit di kampus, boleh dibilang sebagai lambang kecuekan pemakainya. ditambah lagi saat itu yang lagi trend adalah kemeja kotak-kotak berbahan flanel. klop banget ma sandal jepitnya. meskipun kesannya kere (atau memang kere), jumawa lah menggunakan sandal jepit. meski dulu bersandal jepit di kampus, tak menjadi ukuran otaknya juga a la sandal jepit, yang di dunia alas kaki, termasuk kasta rendah. toh sandal jepit sebenarnya gak ada hubungannya sama kualitas otak. paling, yang sering muncul dalam pandangan orang hanya soal kesopanan saja.

tapi meskipun begitu pihak kampus bereaksi dengan maraknya sandal jepit bergentayangan di koridor kampus bahkan di ruang kampus. pihak kampus mungkin dibuat gerah dengan jempol-jempol yang pamer diri seenaknya. akhirnya keluarlah larangan untuk tidak menggunakan sandal jepit di lingkungan kampus.

kawan-kawan yang studi di ilmu politik mungkin “lebih beruntung” karena larangan itu hampir bagai angin lalu, masih ada yang keluyuran pake sandal jepit di sana sini. beda sama saya yang nuntut ilmu komunikasi, dosen-dosen dah melirik dengan pandangan jijai bajai jika kelihatan mahasiswanya pakai sandal jepit. jadilah saya hanya diam-diam saja bersahabat dengan sandal jepit. hanya digunakan selepas jam kuliah berakhir.

sandal jepit, sahabat mahasiswa itu sudah tidak ada lagi. sandal jepit sudah berganti dengan sepatu-sepatu beragam bentuk. ada yang fancy shoes dengan hak tinggi (untuk perempuan). warnanya pun disesuaikan dengan baju kantor. ada yang selaluย  mengkilap berujung kotak dengan bahan kulit mahal (untuk laki-laki). namun ada pula yang berganti ke sneaker yang leluasa dibawa jalan kemana-mana, atau flat shoes yang juga ringan diajak jalan naik turun tangga.

mahasiswa-mahasiswa itu, kawan-kawan saya itu, sepanjang yang saya tahu, sudah menapak di jalan masing-masing, dengan style sepatunya yang disesuaikan dengan pekerjaannya. ya, itulah tuntutan waktu, tuntutan masa, tuntutan perubahan. kita mesti mengalir bersamanya.