Eehm, jangan merinding duluan ya pas baca judulnya. Ini bukan mau ngomongin hal-hal mistik yang berbau “syerem” 😆 Iya sih, ngomongin tentang “coffin” (=peti mati), tapi bukan peti mati tempat bobo’nya drakula-drakuli. Secara implisit, peti mati disini merujuk kepada sebuah benda yang sehari-hari sering dikenal sebagai…

dsc08583

styrofoam lunch-box.

Gambar diatas gue ambil dari sebuah spanduk di acara bazaar kampus; dimana kampus USM sedang menggalakkan pemakaian wadah makanan dari karton-daur-ulang untuk menghentikan pemakaian styrofoam sebagai wadah makanan. Yup, dalam pemakaian jangka-panjang, styrofoam ini menyimpan banyak bahaya “terselubung” (baik untuk lingkungan maupun untuk kesehatan) dibalik durability-nya sebagai wadah makanan yang ekonomis. Makanya disebut sebagai “the white coffin“… karena berpotensi sebagai “pembunuh terselubung” 😆 Kalau beli makanan di warung-warung dalam kampus USM, nggak bakal deh nemuin wadah styrofoam untuk membungkus makanan. Instead, warung & resto dalam kampus menggunakan wadah makanan/ disposable lunch box dari karton kertas daur-ulang (warnanya agak-agak bulek sih 😆 tapi dijamin lebih aman & ramah-lingkungan daripada wadah lunch-box styrofoam).

Wadah kemasan dari bahan polystyrene ini memang banyak dipake sebagai bungkus makanan. Sekarang malah nggak cuma untuk ngebungkus makanan, tapi juga dibentuk jadi piring & gelas cup disposable. Styrofoam sendiri sebenarnya adalah nama merk-dagang & nama generik untuk semua produk peralatan makan & benda-benda lainnya yang dibuat dari polystyrene.

Di Jakarta, kayaknya penggunaan styrofoam untuk membungkus makanan sudah mulai banyak ditemukan, meskipun masih ada beberapa pedagang yang menggunakan box karton atau kertas-bungkus-lapis-plastik (macam kertas bungkusan buat nasi bungkus) untuk mewadahi makanan take-away. Disini, nyaris semua food stall, warung & tempat jajanan menggunakan wadah syrofoam untuk membungkus makanan; mau itu makanan panas, dingin, basah, pun kering. Kayaknya cuma nasi lemak aja yang masih dibungkus pakai daun pisang 😆 Styrofoam masih jadi paporit di kalangan pedagang makanan, karena selain durable & kedap air (nggak kayak bungkus kertas-lapis-plastik yang gampang mblenyek/bocor kalo kena kuah itu), harganya juga murah; kalo beli borongan, satuannya nggak sampe seribu perak. Plus, bentuknya yang persegi juga tidak memakan-tempat kalau ada pembeli yang pesan makanan dalam jumlah besar & harus disusun bertumpuk-tumpuk. Sejak tinggal disini & saat beli-beli makanan, gue akui gue jadi manja-bergantung pada si styrofoam box untuk mewadahi makanan yang dibeli & dibawa pulang. Makan siang ke warung bawah… pulang bawa seporsi nasi bungkus berwadah styrofoam. Beli makan char koay teow atau tom yam soup buat dibawa pulang, wadahnya styrofoam box juga. Begitu pula kalau Baim beli nasi padang buat makan malam, wadahnya styrofoam box.

Padahal, ada banyak bahaya yang mengintai dari penggunaan wadah styrofoam ini… seperti bahaya untuk kesehatan & bahaya terhadap lingkungan. Iya sih, di bagian dasar wadah styrofoam selalu dicantumkan nomor “6”-recycling symbol (resin identification code), tanda kalau wadah styrofoam ini bisa didaur-ulang. Tetapi kenyataannya, lebih banyak styrofoam yang berakhir menjadi gundukan sampah. Karena bentuknya sebagai polimer sintetik, polystyrene yang dipakai untuk membuat box-styrofoam tidak bisa terurai secara alami, alias tidak biodegradable. Jadi yah… kalau udah jadi sampah, ya menggunuk aja sebagai gundukan sampah… nggak akan membusuk, nggak akan pecah lewat aktivitas fotolisis, sampai nanti waktunya saat ada orang yang mengumpulkan styrofoam ini, membawanya ke pabrik daur-ulang & mengubah styrofoam ini jadi produk lain yang bisa dipakai massal juga (nggak harus sebagai peralatan makan juga sih).

Dari sisi kesehatan, penggunaan styrofoam untuk mewadahi makanan juga nggak baik. Dalam styrofoam ditemukan residu berupa senyawa dioxin yang bisa mengganggu kerja organ endokrin & reproduksi. Nah… ini yang lebih bikin ketar-ketir 🙁 Styrofoam yang terkena makanan panas/berlemak akan terpecah & mentransfer bebeberapa senyawa residu EDC (endocrine disrupter chemical), seperti dioxin tadi, ke dalam makanan & pastinya residu ini akan ikut termakan. Dalam jangka panjang, pemakaian styrofoam sebagai wadah makanan akan mengakumulasi residu tersebut didalam tubuh & mengganggu kerja sistem hormonal & reproduksi. Hiiiy, jadi ngeri aja saat memikirkan kalau nantinya di badan bakal menumpuk berapa banyak residu tuh ?? 🙁 Plus, kalau dipikir-pikir… tiap kali memakai styrofoam box pun gue nggak bisa memakai-ulang itu styrofoam, apalagi mendaur-ulangnya jadi sesuatu. Mau dipake lagi buat wadah makanan ? Yang bener aja…  😆 Yang ada malah nambah-nambahin buangan sampah styrofoam. Daur ulang styrofoam pun lebih masuk-akal jika dilakukan dalam skala besar seperti komunitas pengumpul, atau pabrikan.

Jadilah semenjak hamil ini, gue tidak menggunakan styrofoam lagi sebagai wadah makanan. Biarin telat, daripada samasekali nggak memulai. Trus caranya gimana ? Kalau harus beli makanan di warung, ya sekalian bawa wadah tupperware plastik atau rantang kecil sebagai wadah makanan. Kalau Baim mau beli makanan, gue siapkan dulu wadah tupperware atau rantang kecil, baru kemudian beliau melenggang ke warung/resto tujuan. Awal-awalnya lucu sih… nggak jarang penjual makanannya bingung melihat gue/Baim mengeluarkan rantang atau wadah tupperware pas mau beli makanan. Tapi lama-lama merekapun maklum… plus kami juga nggak curang dengan ngemplang-ukuran (memakai wadah yang agak besar biar dikasih jatah makanan lebih banyak) 😆 Memang awalnya agak repot, tapi mendingan repot daripada nambah-nambahin sampah & ngeracunin diri 😛 Toh bisa itu karena biasa, kok.

Buat yang baca ini… menurut kalian gimana ? Share your thoughts here. Atau ada yang punya kisah khusus selama memakai styrofoam, atau juga punya trik khusus dalam mengurangi penggunaan styrofoam ? Boleh aja bagi-bagi ceritanya disini 😉