Kalau ada yang berpendapat bahwa para bu-mil suka (ke)banyak(an) kuatir akan ini-itu… hehe, saya setuju dengan pendapat tersebut, karena sekarang ngerasain sendiri šŸ˜† Bahkan dokter obgyn pun pernah bilang begitu (“women tend to worry about everything, especially during pregnancy. Don’t worry too much lah..”) šŸ˜† Dan salah satu hal yang sempat bikin gue kuatir pas awal-awal kehamilan adalah saat harus pulang mudik dengan naik pesawat-terbang. Ya iya lah naik pesawat… masa’ pulang ke Jakarta naik getek dari Penang ? šŸ˜†

Satu lagi pelajaran yang didapat selama mengandung ini : we all fear what we don’t understand, and it’s normal. Cuma yah… kalo cari info-nya dapet sumber yg salah, kadang malah bikin parno sendiri. Iya, kan ? Saat pertama kali cari tahu tentang hal seputar keselamatan terbang saat hamil, jujur aja nih… informasi simpang-siur yang beredar di beberapa milis Indonesia malah bikin parno; seperti radiasi kosmik di atas langit sana bakal membahayakan kesehatan si baby, tekanan udara dalam kabin pesawat bikin ibu & baby-nya bakal sakit, dan lain-lainnya. Sayangnya, nggak ada yang menjelaskan plus-minusnya terbang saat hamil dari sisi ilmiah. Hummm, harusnya ada lebih banyak dokter yang bikin tulisan populer-ilmiah tentang terbang-sehat saat hamil, biar info simpangsiur tersebut terredam “dengan baik” šŸ˜† Ogah juga meneruskan baca info dari milis-milis tersebut. Akhirnya waktu kontrol minggu ke-9 (sebelum pulang mudik), hal terbang-saat-hamil ini gue tanyakan ke dokter : “Aman nggak sih, Dok ?”.

Dan dokternya bilang… aman-aman saja, “Penerbangannya sebentar, bukan jarak jauh ‘kan ? Aman kok. Just try to stay hydrate, drink plenty of water & don’t wear any tight clothing around your belly.”. Saat itu, gue masih dalam trimester pertama & yang jadi concern dokter adalah morning sickness-nya mungkin akan terasa lebih “menyiksa” (apalagi kalau langganan mabok pas naik pesawat /kendaraan bermotor). Hahaa.. bayangin aja tuh gimana deritanya kalau morning sickness digabung sama motion sickness šŸ˜†

Dokternya juga bilang kalau justru tidak disarankan untuk bepergian naik pesawat terbang setelah kehamilannya berusia 36 minggu, dan kalau kehamilannya berada dalam status “high risk case”. Waktu yang baik untuk bepergian naik pesawat terbang adalah saat usia kehamilannya 14-27 minggu (selama trimester kedua). Baiknya sebelum terbang, mintalah surat keterangan dari dokter obgyn; buat jaga-jaga kalau diminta oleh pihak bandara/maskapai. Untuk mencegah dehidrasi karena rendahnya kelembaban udara didalam kabin, banyak-banyak minum air putih atau jus buah. Gitu aja sih.Ā  Sippp deh, pak Dokter… Kalau pak dokter bilang aman, saya nurut aja šŸ˜‰

Salah seorang teman ada juga yang kuatir dengan keselamatan bayi dalam kandungannya saat dia harus bepergian naik pesawat. Pas tanya ke dokter obgynnya, malah dijawab gini : “Aman kok bu, terbang pas hamil… Cuma, jangan naik pesawat Hercules atau pesawat ulang-alik, yaa” šŸ˜† Ada benarnya juga sih; gue pernah baca kalau pesawat propeller (macam pesawat baling-baling), atau pesawat Hercules itu tipe kabinnya unpressurized (tekanan udara dalam kabinnya tidak dibuat sama seperti tekanan udara di permukaan bumi);Ā  ini bisa mengakibatkan rendahnya tekanan parsial oksigen & oksigen yang dihirup jadi tidak cukup.Ā  Kira-kira gitu ‘ngkali, ya. Lebih jelasnya tentang cabin-pressurization, silakan baca disini, atau tanya ke orang yang ngerti fisika/teknik penerbangan šŸ˜†

Kalau soal bahaya paparan radiasi kosmik terhadap janin saat terbang naik pesawat… hummm, gue nggak tahu persis tuh. Setahu gue, semakin bertambah ketinggian jelajah terbangnya (biasanya dalam penerbangan antar benua/jarak jauh & makan waktu >6 jam (long haul flight)), maka paparan radiasinya semakin besar. Mungkin artikel ini, ini serta ini bisa membantu memberikan “pencerahan”. Pas mudik kemarin sih, Penang-Jakarta cuma 2 jam saja yah;Ā  insya Allah aman… begitu pula dengan penerbangan domestik lainnya šŸ™‚

Setelah nanya-nanya ke Dr.Lau, iseng gue baca beberapa artikel di internet tentang terbang saat hamil. Cukup informatif, dan rata-rata intinya sama dengan yang Dr.Lau bilang tadi. Artikelnya bisa dibaca disini (termasuk mengenai aman/tidaknya berjalan melewati mesin pemeriksaan di bandara), disini & disini.

Sekedar berbagi cerita aja; pas September lalu mudik & naik pesawat-terbang, concern-nya Dr.Lau pun terbukti : dalam penerbangan, mual morning sickness gue malah menjadi-jadi šŸ˜†Ā  Mual yang gue rasakan pas trimester pertama kemarin memang sangat-tidak-bersahabat (ini untuk kasus gue ya). Di hari itu, cuacanya sedang nggak bagus pula; begitu pesawatnya sedikit ajrut-ajrutan… langsung deh perut ikut keaduk-aduk. Bukannya santai-duduk manis sambil baca majalah, gue malah teler & mabok. Selama 2 jam duduknya bersandar ke Baim & tangan gue siap memegang kantong-kertas buat muntah šŸ˜† Hal yang sama terulang pula saat terbang dari KL ke Jakarta; dengan suksesnya gue dapet “Paket Combo” berupa = (pesawat ajrut-ajrutan karena turbulensi) + (morning sickness) + (di belakang kursi gue duduk sekelompok ibu-ibu gaul yang heboh ngegosip sambil pakai kuteks). Bukan rame-ngegosipnya sih yang ngeganggu, tapi AMPUN DEH… itu bau aseton & kuteks-nya, menguar kemana-mana bahkan sampai ke bagian belakang pesawat. Heran ya, kok gak ditegur sama pramugarinya sih ? Benar-benar 2 jam yang tidak bersahabat šŸ˜† Giling dah, seumur-umur gue naik pesawat terbang, baru kali itu kena motion sickness. Untungnya saat itu nggak sampai muntah, dan gue bersyukur bangeeeeeet begitu kaki kembali menginjak daratan šŸ˜†

Bumil-ers, apakah ada yang pernah mengalami hal yang sama ? šŸ˜‰