Eh, ralat : lebih tepatnya adalah Baim yang masak, sementara gue memberikan instruksi sambil menutup-hidung 😆

The most recent time gue mampu memasak makanan adalah… waktu bulan puasa kemarin, bikin Soto Betawi. Sukses bikin sepanci gede, dan… sepanci gede itu pula dihabiskan sendiri oleh Baim 😆 Sebenarnya bukan karena Baim doyan, tetapi gue keburu “mabok” setelah menyantap semangkuk kecil saja. Bau santan & bawangnya itu lhoooo… sukses bikin gue teler 😆  Iye, awal-awalnya doang semangat masak. Walhasil selama seminggu berikutnya Baim harus menanggung derita menghabiskan sepanci besar Soto Betawi tersebut 😆

Terhitung sejak bulan puasa kemarin (Agustus ’09), jabatan koki-rumah beralih dipegang oleh Baim. Ternyata nggak bisa absen masak juga, karena selain harus rutin menyiapkan stok lauk untuk sahur (kasian laki gue kalo beli makanan sahur diluar terus), kami juga dua kali didaulat menyiapkan hidangan untuk acara buka puasa bersama. Tema-nya pesta PotLuck, dimana semua yang hadir harus membawa hidangan masing-masing & hidangan utama khusus disiapkan oleh tuan rumah 😉  Acara buka-bersama kemarin diadakan di rumah Miem-Rash & Emme-Nando. Setelah mempertimbangkan keadaan chef-Aini yang lagi mabok, akhirnya chef-Baim mengusulkan untuk bikin makanan yang simpel aja. Akhirnya pilihannya jatuh ke bikin Risoles Ragout Ayam, dan Sayur Pecel Madiun.

Bikin Risolesnya lancarrrr… bablass… mulusss…

dsc066431
berbaris rapih, siap digoreng...
dsc06644
(siluetnya) Baim, beraksi menggoreng para risoles...
dsc06645
...digoreng sampai kulitnya garing & berwarna gurih keemasan...
dsc06647
.... dan, risoles pun siap dibawa & disantap ! (^^)

… dan saat hari-H di rumah Miem & Rash, semua hadirin dengan lahapnya menggasak risoles tersebut sampai tak-bersisa 😆

Tapi seiring dengan membuasnya deraan morning sickness, datanglah sebuah masalah : gue mabok saat mencium aroma sayur-mayur. Hadoooh, padahal udah janji mau masak Sayur Pecel untuk acara di rumah Emme & Nando. Gimana mau masak sayur kalo mencium aromanya aja malam mabok ? Akhirnya setelah tukeran tugas sama Miem & Rash, gue & Baim ganti jadi menyiapkan hidangan ta’jil yang manis-manis. Hidangan yang dipilih adalah… Bubur Biji Salak. Sebelumnya kami pernah bikin ini & hasilnya wuenak. Cincay-laaah. Mudah. Palingan cuma capek pas bulet-buletin adonan bijisalak aja, pikir kami.

dsc08655
potongan ubi dihancurkan & diaduk bersama tepung beras. Setelah 5 menit gue aduk, akhirnya ganti Baim yang ngaduk... karena tangannya lebih kuat, hehe...
dsc08651
Baim mengerjakan prakarya : bulet-buletin adonan bijisalak 😛
dsc08652
Hasil prakarya Baim : woooow, bulatnya sempurna ! Bagus... bagus.
dsc08656
lalu, bijisalaknya direbus bersama air gula jawa...

… Betapa kagetnya gue & Baim saat kemudian membuka panci rebusan bijisalak ini. Hasilnya ? Buih keluar bleberan dimana-mana, dan… bubur bijisalaknya ANCUR !!! Huwaaa 🙁 Gue nyaris nangis pas melihat beberapa bijisalaknya merekah-rekah lalu hancur, instead of tetap bulat-bulat padat. Bijisalak-nya benar-benar jadi bubur 🙁 PANIK, bingung, dan rasanya malu & nggak enak kalau bawa hidangan yang nggak perfect untuk dimakan orang lain, huhuu. Gue jadi bertanya-tanya salahnya dimana ya ? Apa tepung berasnya kurang ? Kalau ngulang bikin lagi, waktunya cukup apa nggak ya ?

Baim memutuskan supaya kami terus memasak bubur bijisalak sampai matang, dan untungnya tidak semua bijisalak ikut merekah hancur. Sesuai rencana awal, bijisalak yang utuh kami tempatkan di wadah-wadah cup plastik untuk hidangan berbuka. Kuah santannya pun disiapkan. Usai mengolah apa yang bisa diselamatkan dari bubur bijisalak tersebut,  kami menjalankan plan-B (mengantisipasi kalau-kalau hidangan ta’jil-nya kurang) : bikin Pudding Gulajawa Santan… and, it was a fiasco : puddingnya gagal juga, huwaaaaa !!! 🙁 Gagal maning… gagal maning, hiks.

Pas acara di rumah Emme & Nando, untunglah bubur bijisalaknya cukup, nggak ada yang nggak kedapetan. Plus, kami diselamatkan oleh Nando yang selalu langganan menyiapkan murtabak daging, plus Bullert & Bang Azrul yang bawa sekotak besar kurma dari KL (hidangan ta’jilnya nggak kurang, hihi). Nggak ada yang komentar tentang bubur bijisalaknya, semua nyantai aja melahap hidangan tersebut. Cuma, gue-nya aja yang udah senewen duluan 😛

Setelah peristiwa bubur bijisalak tersebut… gue jadi males dekat-dekat dapur. Nggak tertarik juga untuk masak, karena semua bau masakan sukses membuat gue mabok. Chef-Baim pun meletakkan jabatan sebagai koki rumah, dan kami pun lama vakum memasak.  Sebagai gantinya, kami kembali bergantung pada aktivitas membeli makanan dari warung dekat rumah…

… sampai sekarang 😆