Nggak terasa, udah setahun-lebih gue absen dari kegiatan ajar-mengajar. Kangen, pastinya. Sebelum  menikah & berangkat pindah, Bu Guru “galak” ini (menurut pengakuan murid2 gue ya 😆 ) dihadapkan pada dua pilihan yang sulit :

1. tetap meneruskan karir mengajar gue sebagai guru, dan menjalani post-marital-long-distance-relationship (setelah sebelumnya 3 tahun pacaran LDR), atau…

2. ikut Baim pindah & menjalani tantangan baru bekerja sebagai “mandor”nya Baim dalam menyelesaikan studi-nya.

It was a tough decision. Bukannya gimana-gimana, tapi karena gue “kadung” menikmati pekerjaan gue. Agak lucu sebenarnya, kalau mengingat lagi kalau sebelumnya gue nggak suka anak kecil. Apalagi ABG. Serius. Ada masa dimana gue menganggap kalau mereka annoying ajah. Gue pribadi lebih suka mengajar di sektor hilir, alias mengajar mahasiswa atau anak2 SMU… pokoknya yang udah rada gedean-lah 😛 Kan kalo udah gede, lumayan bisa diajak flirting (ya oloooooooh !!). Lepas bergumul dengan kerja lepasan di dunia kampus, gue pun berpindah mahzab : kali ini mengajar di sektor hulu, alias mengajar murid-murid SD atau SMP. Kirim lamaran, tes-tes ini itu, dipanggil wawancara beberapa kali, kemudian diterimalah gue untuk mengajar murid kelas 6 SD & jenjang SMP.  “Ngajar ABG ? Cincay laaah… a piece of cake” pikir gue saat hari pertama mengajar. Setelah sebulan mengajar, pikiran “Cincay laaah” drastis berubah jadi : “GILA KALIAN SEMUA, kalian itu manusia apa alien, sih ?? Kok badung-badung begini ???”

😆

Semester pertama mengajar murid-murid ABG itu bukanlah masa-masa yang indah, gue akui. Banyakan jatuh-kesandungnya, daripada mulusnya 😆 Tapi bagusnya, kadang sandungan-sandungan inilah yang justru bisa bikin orang belajar & bertahan. Daripada dilibas oleh “kebuasan” ABG-ABG tersebut, gue memilih untuk putar-otak nggak menyerah & memutuskan untuk belajar memahami mereka, para ABG tersebut (sambil sesekali masih ngomel2 laaah 😆 ). Nggak mudah siy… tapi setelah dijalani, ternyata nggak sulit juga. Modal utama menghadapi ABG adalah : lebih banyak mendengar, sabar & …jangan mau kalah tricky 😆 Hasilnya nggak mengecewakan; dan harus gue akui, lebih banyak pelajaran yang gue dapatkan saat berinteraksi dengan murid-murid gue. Lebih banyak daripada pelajaran di ruang kuliah, atau saat struggling menyelesaikan penelitian untuk skripsi di lab. I guess, mungkin hidup itu memang seperti menaiki tangga : tiap naik tingkatan anak-anak tangganya akan bikin kaki tambah pegel… tetapi setiap menaiki tangga itu pula akan ada lebih banyak hal yang bisa dilihat, diamati & dinikmati, manakala kita mencoba untuk melihat ke sisi yang lain. Ditengah tekanan yang mendera, gue selalu mencoba meyakini bahwa setiap hari, selalu ada pelajaran baru & pengalaman baru  yang menanti di sekolah. Iya, gue akui, layaknya pekerja-pekerja lain di ibukota, setiap pagi gue akan ‘mengeluh’ tatkala harus bangun pagi, memulai hari dengan mengejar kendaraan umum, dealing with kemacetan di jalan demi bisa sampai tepat-waktu di kantornya & nggak telat absen sehingga daily allowance nggak hangus 😆 Namun sampai di satu titik, gue menemukan bahwa pekerjaan ini menumbuhkan diri gue, membuka banyak kesempatan bagi gue untuk belajar & mengajari gue akan banyak hal.

Dari yang awalnya pusing-jungkirbalik, perlahan akhirnya gue bisa juga menikmati pekerjaan ini. Belajar untuk sabar menghadapi & memahami segala polah-tingkah murid-murid. Belajar untuk menyesuaikan ekspektasi dengan kenyataan. Belajar untuk terus memenuhi rasa ingin tahu dari para murid & lebih lanjutnya, membuat rasa ingin tahu mereka tetap “terpancing”. Belajar hal-hal teoritikal seperti menyusun kurikulum, silabus pelajaran & merancang praktikum. belajar sabar saat menghadapi administrasi berbelit-belit & menghadapi ketidakpuasan yang didapat saat berinteraksi dengan staf admin (maaf ya 😆 ). Belajar memenuhi kebutuhan belajar dari masing-masing anak. Belajar mencari berbagai-macam “real-life analogies” supaya bahan-ajarnya lebih mudah dipahami oleh murid-murid. Belajar mencari titik temu antara harapan orang tua murid dengan kemampuan si murid tersebut. Belajar untuk bekerjasama dengan sesama rekan guru. Belajar unutk menumbuhkan persahabatan dari hubungan profesional antar sesama guru, antara guru & murid, ataupun dengan para orangtua…

… dan yang paling utama : belajar untuk menghadapi kekecewaan & kesedihan, menyadari keterbatasan-keterbatasan diri & menerima hal-hal yang tidak bisa gue ubah. Gue belajar, bahwa tidak ada hal yang sia-sia, bahkan dari kegagalan yang didapat. Nggak ada yang namanya “gagal” selama ada pelajaran yang bisa dipetik sesudahnya. Gagal itu baru akan terjadi, kalau kita pergi & meruntukki diri tanpa kemudian belajar. Gue nggak mau gagal, jadi biarkan saja semua hal tersebut datang untuk menempa-diri & untuk diambil pelajarannya sebanyak-banyaknya.

Dan sekarang… gue kangen akan tempaan-tempaan tersebut.

Masih jelas di ingatan gue saat  rasa “kangen” ini pertamakali muncul. Waktu itu hari wisuda kenaikan kelas. Hari terakhir gue bekerja sebagai staf pengajar di sekolah. Beberapa hari sebelumnya gue disibukkan dengan kegiatan menyiapkan report murid-murid, menyelesaikan urusan administrasi kepegawaian, hand-over dokumen, lalu berpamitan dengan murid-murid gue, para orangtua, juga para staf kantor. Hummm… cukup melelahkan sih. Dan puncaknya adalah acara wisuda kenaikan kelas ini. Sebagai salahsatu panitia, gue ikut terjun langsung dalam hal-hal kecil. Dan bagian yang paling bikin keblinger dari seluruh acara wisuda sekolah adalah saat memastikan semua murid mengenakan toga wisuda mereka dengan “betul, kemudian menyuruh mereka untuk berbaris rapih. Somehow, ini bisa jadi neraka-dunia bagi para panitia-guru yang sedari beberapa hari sebelumnya lelah disibukkan dengan pengukuran & pembagian  toga, sesi pemotretan per kelas, briefing & latihan gladi resik untuk acara wisuda, sampai mengecek list RSVP & memastikan orangtua para murid tersebut untuk bisa datang di hari wisuda.

Di hari wisuda itu, gue ikut membantu guru-guru lain memastikan murid2 sudah mengenakan toga & topi mereka.  Murid-murid yang yang belum rapi memakai toga diminta untuk berbaris di hadapan gue. Satu-persatu gue bantu mengenakan toga mereka. Sampai kemudian ada Greg, murid terakhir yang ngantri untuk dipakein toga. Sambil merapikan kerah baju Greg, gue berkata : “… There u go, Greg. Udah rapih. Sekarang Greg ke Ms. Krisna di luar ruangan, lalu ikut baris sama teman-teman, ya.”


“Ya, Miss…” jawab Greg. Tetapi bukannya pergi menemui Ms.Krisna, Greg tetap berdiri di hadapan gue.

“Lho. Adaapa, Greg ?”

“Ms. Aini benar-benar mau pergi ya ?”

Giliran gue yang terdiam. Waduh.

“Ms. Aini kenapa mau pindah ?” tanya Greg lagi.

Gue diam sejenak sebelum menghampiri Greg & bilang, “Kan Ms.Aini pernah cerita ke Greg, Ms.Aini akan menikah. Trus ikut pindah sama suami.”

Greg masih diam, memandangi gue.  “Ms.Aini akan kesini lagi ?”

Waduh. Makin bingung gue jawabnya.

“Well, let’s see, Greg…” jawab gue, “Miss masih akan kesini lagi kok. Kan disini tempat murid-murid & teman-temannya Miss.  Ayo, Ms.Krisna udah nungguin kita, teman-teman kamu udah mau ke MPH. Otherwise you’ll have to go to the MPH alone…”

“OK, Miss…” jawab Greg. Kemudian tanpa gue duga-duga… Greg mendekat, dan memeluk gue. Erat.

“Thank you, Miss Aini…” ucap Greg sebelum melepaskan pelukannya. Kemudian dia berlari keluar untuk bergabung dalam barisan murid-murid wisudawan.

Sepanjang acara wisuda, percakapan bersama Greg tadi terus kepikiran; bahkan sampai ke setiap pertanyaan yang dilontarkannya. Pertanyaan yang sama seperti yang diajukan murid-murid lainnya. Bahkan seminggu yang lalu seorang murid mengirim pesan & menanyakan pertanyaan yang sama. Yang mengingatkan gue kembali akan semua yang pernah gue dapat selama jungkirbalik di sekolah. Yang pahit-manisnya turut membentuk diri gue, menjadi diri yang sekarang. You know what ?

It’s true, you don’t know what you’ve got until its gone.