Saat sedang “bersantai” di beranda facebook sendiri sambil melihat teman-teman yang berseliweran, tiba-tiba ada salah satu “shared-post”nya temen, yang isinya “menggelitik benak” (buset, gimana tuh caranya beneran ngitik-ngitik otak??) :

“Does being nice equal to ‘being fake’? If so, then I don’t want to be nice to anyone, anymore”

Hmmmm.

Menurut gue sih, being nice ya being nice… being fake ya being fake. Keduanya berbeda, banget. Melakukan sesuatu yang nice itu menurut gue melibatkan “rasa” yang positif dari hati… seperti bersikap santun, tersenyum atau membalas sapaan baik dari seseorang, selalu inget untuk bilang “terima kasih” & “tolong”… atau melakukan hal-hal kecil yang “manis” lainnya, yang dilakukan atas dasar keinginan yang tulus; simply b’coz it feels heart-warming & surely will brighten up our day (or even better : someone’s day).

Yang gue tangkap, mungkin yang dimaksud pada kalimat di atas sebagai “being nice=being fake” adalah manakala misalnya kita terjebak dalam kondisi yang tidak-mengenakkan, tapi kita “berupaya” untuk bersikap manis karena “terpaksa” atau “dituntut” untuk melakukan itu… entah untuk “menyelamatkan-diri” dari situasi yang tidak mengenakkan, nggak mau terlibat lebih jauh dalam sebuah masalah, atau… mungkin untuk membangun image diri, biar keliatan asik.

Gue pernah terjebak berada dalam situasi “being fake” ini, mungkin kalian juga pernah. Dan saat se-nice-nice-nya gue berusaha untuk “being nice”, teteeep… kalau jadinya malah “being fake” rasanya beda banget; beda di hati. Yang pasti, rasanya bikin capek πŸ˜› Beda dengan manakala kita bersikap “manis” karena memang “terasa” manis; “being fake” rasanya seperti memakan buah mentah yang pahit, namun tetap dipaksakan & dinikmati… entah itu supaya gak mati kelaperan, menyenangkan hati yang ngasih buah (biar gak marah), atau biar “terlihat” bisa menikmati buah tersebut. Bukannya gimana-gimana sih, tapi kalau keseringan, lama-lama bisa jadi racun buat diri sendiri πŸ˜‰ Nggak mau kan, kalo meracuni diri sendiri ?

Kebanyakan orang (termasuk gue juga pernah) memilih untuk “being fake” dengan alasan “Like i have a choice ??” atau “Gue nggak punya pilihan lain !” . Padahal kenyataannya : pilihan lainnya itu selalu ada.

Diri kita bisa memilih untuk terus menerima hal2 negatif sebagai pemicu sikap “being-fake”, atau memilih jalan pintas untuk bersikap ketus (well, ketus itu mudah kok πŸ˜› ). Tapi, ada juga pilihan lainnya : jujur terhadap diri sendiri & berpikir positif. Keduanya adalah penawar yang bisa digunakan untuk meredakan efek dari racun bernama “being-fake” ini. Jujur mengaku kepada diri sendiri kalo kondisi yang dialami memang sedang tidak enak; tetapi bukan berarti harus menyakiti diri dengan berpura-pura menerimanya sebagai sesuatu yang manis & lezat, atau menyakiti orang lain dengan bersikap ketus (meskipun efeknya enak… karena emosi jadi lepas πŸ˜› ). I mean, selalu ada reaksi dari setiap tindakan yang di-represi/dipendam; apakah mau kalau suatu hari nanti malah jadi “meledak” atau “hancur” oleh racun yang dipendam dalam diri sendiri ? Pasti nggak ada yang mau laaah. Sementara, berpikir positif berfungsi sebagai “saringan” atau filter; hal-hal yang tidak menyenangkan tersebut disaring & dienyahkan, sebelum diproses oleh pikiran. Jadinya, output tindakan yang diambil benar2 nggak memicu keluarnya racun bernama “being fake” tersebut. Dua hal tersebut, masih sebatas ide aja di otak gue. Jangan dipikir gue pernah menjalaninya dengan sempurna ya, hehee… tapi tidak berarti gue gak berusaha πŸ˜› Karena untuk menjalaninya, perlu upaya diatas niat yang nggak setengah-setengah. Ini (lagi), adalah latihan yang dijalani sebagai bagian dari proses pembelajaran akan idup *tsaaaaahhh..*

Halah… ngomong apa sih gue ini dari tadi; nggak jelas. Sori yah, para pembaca… saya malah jadi curhat colongan gini πŸ˜›

Oia, kalau menurut kamu sendiri, gimana; Apakah being nice = being fake ?

πŸ˜‰