So…
Dua hari ini gue sukses tepar karena masup-angin. Pegel2 di sekujur tubuh, badan capek, perut berasa “bloating”, pusing & mual. Plus pilek srattt-srooott & nyeri “tumpul” di bawah perut. Huff… pernahkah gue bilang kalau masuk-angin alias “enterwind” 😛 itu enak ?? Samasekali-tidak enak, saudara-saudara. Terlebih lagi, disini nggak ada tuh Antangin-JRG yang selama ini terbukti paling ampuh mengusir masuk-angin (at least, bagi gue ya 😀 ).

Kalau udah kena masuk-angin gini, praktis pekerjaan rumah terbengkalai. Gue pun akan bersemayam di tempat tidur, berbalut sweater-nya Baim & selimut. Gak bisa jalan-jalan, gak bisa poto-poto, hekekekeekk. Paling-paling, yang masih gue lakukan adalah masak makanan untuk Baim. Nyuci, sekali-dua kali. Dan oh, chatting 😛

Siang kemaren, seorang sahabat nge-buzz. Kebetulan gue baru bangun & iseng cek e-mail. Yo wis, sambil srattt-srooott, kemudian kita jadi ngobrol-ngobrol, catching up on old times. Disela-sela obrolan, sobat gue minta dikirimi sebuah poto. Sayangnya kepala gue masih beler; gue agak nggak nanggep, dia mau foto yang manaaa… eh malah gue kirimin foto yang mana. “Sorry kepala gue lagi terbagi antara pikiran sadar & hangover”, ucap gue, “lu nyari yang fotonya horizontal ya ? ada di CD di Jakarta tu, gak di laptop gue.”

“Foto yang gaya bebas sih,” sobat gue menjelaskan, “pokoknya foto yang kita semua tiduran kan ada dua, yang satu yang pegangan tangan (yang lo punya), yang satu lagi yang kita bergaya bebas… hahahaaa, gaya bebas…”

“Gaya bebas ? Berenang, maksud lo ?” tanya gue, berusaha memastikan kalo kami sedang berada dalam “jalur-topik” yang sama, “kok gue jadi membayangkan kita ber-8  gletakan di lantai sambil mengayuhkan tangan kayak berenang gaya bebas, ya. Tapi seru juga tuh kalo direalisasikan, hehee…”

“Waa… hangovernya lo parah tuu. Kenapa lo? hamil?”

“Heeee ? kok tiba2 meloncat ke topik hamdun ? gw lagi masuk angin nih…”

“… yakin lo? beda tipis loh. Dicek sgera ke dokter. Soalnya pernah supervisor gw juga gitu, dia pikir masup angin, taunya “isi”…”

Gue me-recall kembali sejumlah gejala “nggak-enak-badan” yang dua hari ini melanda. Lalu menghitung-hitung tanggalnya. Pas. Oh, God. Sebenarnya sih udah kepikiran untuk cek dari dua hari yang lalu, tapi gue masih menganggapnya sebagai gejala masuk angin… sampai saat ngobrol dengan sobat gue ini.

“Hummm… kalo inget pelajaran jaman kuliah EmVet *, emang sih beda tipis gejala2nya” aku gue, sementara hati mulai deg-degan.

“Bisa aja kan. Ada yang dari minggu pertama kehamilan langsung muntah2. Tapi ada yang baru kerasa 3 bulan kemudian. Ya sudah, di cek aja dulu ya, Say. Beneran masuk angin apa “kemasukan” yang lain, hahaa… Gw doain yang terbaiklah Ni.”

“Wakakakaakk… bis aja tu istilah lo. Baiklah, akan daku cek. Tararengkyu ya, jeng.”

Dan… jadilah gue langsung mengontak Baim-sangsuamitercinta, minta dibelikan testpack di apotik dekat kampus (sambil berharap moga-moga harganya gak mahal, hihiii). Well, ada baiknya untuk dicoba, bukan ? 😉 Pas gue baca instruksinya, disebutkan kalau hasil pembacaan testpack bisa terbaca dalam waktu tiga menit saja. Dan dari keterangan lainnya, paling bagus menggunakan sampel urine di pagi hari.

Oh, okay.

So, setelah semalam sebelumnya deg-degan, keesokan paginya kami mencoba testpack itu, (masih) dengan hati  deg-degan & sambil ketawa-ketiwi jijay (karena test ini membutuhkan sampel urine). Setelah menyiapkan kit-nya & meneteskan 3 tetes sample di testpack-kit nya…  maka disitulah, pada sebuah alat putih kecil, bagian dari masadepan kami ditentukan hasilnya hanya dalam waktu tiga menit saja. Oleh jumlah strip pink yang terbentuk.

We call this : three-minute judgement.

Satu menit…

“Iiih, kamu kok celingukan nongol-nongol mulu sih ??” tanya gue ke Baim yang bolak-balik nengok ke arah alat testpack, “Biarin dulu sih alatnya kerja. Ntar kita bacanya bareng-bareng…”

“Aku penasaran, huhu…”

…dua menit…

“Im, kalo hasilnya negatif gimana ?”

“Ya gak apa-apa, emangnya kenapa ? Kita “coba” lagi, hueheheheheee…” jawab Baim, yang “tanduk”nya mulai keluar 😀

… tiga menit (AKHIRNYA !!)

Baim & gue langsung meng-grab alat testpack tersebut & membaca hasil yang tertera :

dsc07780Sebuah garis strip berwarna pink.

Gak apa-apa kok, sayang…” Baim merangkul gue & mencium kepala gue, sementara gue masih mematuti sebuah garis pink hasil bacaan testpacktersebut. “Diambil aja hikmahnya. Kita masih bisa coba lagi kok. Okay ? Jangan jadi kepikiran ya.”

Gue terdiam. Lalu mengangguk & tersenyum. Dan memeluk Baim. Erat.

“Iya, Im. Makasih ya, sayang…”, ucap gue. Agak sedikt merasa “nyiiitt” di dada, but somehow, dalam hati gue bersyukur, mendapatkan pengertian sedalam itu dari Baim.

Dan disitulah, dengan tangan masih menggenggam testpack, di ruang tengah kami yang mungil, di antara tegel-tegel linoleum meja dapur, botol-botol bumbu masak & udara pagi yang menyisakan dinginnya hujan semalam… kami berpelukan.

********

Rasanya begitu melegakan saat melewati semua ini bersama Baim. And one-thing i realized was : rasanya lebih “mudah” untuk melewati three-minute judgement yang diberikan oleh sekeping benda putih kecil bernama testpack tadi……rather than melewati half-minute judgement yang diberikan oleh mereka, orang-orang yang “berinisiatif” membahas (d’oh !) mengenai “kenapa-sampai-sekarang-belum-isi-juga”.

Mungkin (mungkin yah), ini karena testpack hanya memberikan hasil. Tanpa embel-embel “inisiatif-berkomentar-lebih-lanjut-tanpa-diminta”. Teteskan sample, tunggu tiga menit, and voila…Anda mendapatkan hasilnya. Either it’s positive, or negative. Udah, gitu aja.

Beda yah dengan beberapa orang yang cenderung setelah bertanya “Udah isi, belom ?”, atau “Kapan isi-nya ?” ke kami, kemudian berinisiatif menyambung pertanyaan mereka dengan Half-minute judgement berupa pertanyaan “nosy” atau cruel-harrasing-jokes (padahal nggak diminta tuh), seperti ini**:

“Kenapa sih belom isi ??? Buruan deh, pengen lihat keponakan nih.”

… atau : “Kalian menunda yaa ?? Aduh, jangan ditunda-tunda deh… itu sama aja kayak lo nggak bersyukur, kufur-nikmat & mengingkari rejeki tuhan!! Enak loh punya anak, lagipula lo jadi nggak kesepian lagi disana, ada kesibukan baru pula ngurusin anak !”,

… atau : “Kok belom isi melulu sih ? Perlu diajarin nih gimana caranya? hahaa !!”,

… atau : “Kok belom isi ? si X aja yang abis nikah langsung “isi” tuh.. kalah kamu sama si X… gimana nih ??”,

… atau : “Buruan deh hamil, mumpung masih muda ini. Emangnya kalian ngapain aja sih disana ?? Rajin bikinnya, gak ??”,

… atau : “Pantesan aja disana jalan-jalan melulu… jangan jalan-jalan melulu, bikin anak dong sana !?”

Bo’, gimana gak jauuuuh lebih mudah untuk menghadapi three-minute judgement dari testpack yaa, dibandingkan menghadapi half-minute judgement yang gue sebutkan di atas ? Untungnya sih half-minute judgement tersebut tidak pernah*** dilontarkan oleh ortu kami, anggota keluarga & para sahabat dekat kami; dan untuk ini, gue & Baim merasa sangat-sangat bersyukur… Alhamdulillah.

Instead, biasanya pertanyaan nosy/joke tersebut biasanya dilontarkan oleh oknum-oknum berikut (Yang mana, orang2 macam itu pasti ada & kadang tiba-tiba muncul dalam keseharian kami) :

– beberapa kenalan-kenalan lama yang pengen “berakrab-akrab-ria”

– atau orang yang baru kenalan atau sekali-duakali ketemu dengan kami.

Pola-nya sih standar : mereka melontarkan harrasing-joke/pertanyaan “nosy” tersebut untuk memulai percakapan & mencairkan suasana… yang mana, jadinya bukan “mencairkan suasana”, tapi malah “membekukan” suasana alias jadi bikin kita males untuk ngobrol lebih lanjut sama mereka. Who the h*ll are you, talking like that to us ??   Seriously, ortu gue aja nggak pernah bertanya sampe gitu-gitu banget. Gue nggak habis pikir sama orang2 nosy tersebut : ada apa sih dengan mereka sampai begitu terobsesinya pengen tahu tentang kabar dari  hasil-intensifikasi-penyerbukan kami ??

Half-minute judgement berupa pertanyaan2/harrasing jokes (yang mana, samasekali NGGAK-LUCU untuk ukuran sebuah joke) itu mungkin pada awalnya masih bisa dijawab dengan ujaran “Soon”, atau “InsyaAllah segera, kalau udah isi” berbalut senyuman manis. Atau dijawabi-balik dengan celetukan iseng: “Udah, tadi siang “isi” nasi goreng sama jus jeruk”, dan : “Kalau kapan isi-nya, gue gak tahu. Tapi kalo kapan buat-nya, gue tahu banget”. Tapi kalo udah keseringan terdengar, lama-lama ya jadi nggriseni.

Kalo ngikutin Tukul, rasanya gue pengen bilang ke mereka : “Tak’ SOBEK-SOBEK Mulutmu !!” 😛 Atau, gue pengen banget ngejitak si penanya reseh itu pake ulekan batu raksasa (ini akhirnya gue lakukan dalam imajinasi gue saja 😛 ). Atau, jadi pengeeeen pula ucapan half-minute judgement tersebut dijawabi dengan ucapan yang nggak kalah “nyelekit”nya (mode BT : ON, ceritanya). Hufff, untung aja sampe saat belum pernah dan jangan sampai  pula dibalas-balik dengan berucap nyelekit.

Yang pasti, gue gak pernah berusaha memberikan penjelasan panjang-lebar, terkait dengan menjawabi nosy-questions tersebut. Bakalan ngerti gituh mereka, kalau gue jelasin panjang-lebar ? Nggak bakal, kan ? Yang ada, ntar gue-nya malah tambah sebel & capek sendiri; capek lisan & capek batin. Seperti kata peribahasa : anjing menggonggong, kafilah berlalu ; Apakah saat digonggong anjing, si kafilah bakal meminta & menjelaskan ke si anjing supaya berhenti menggonggong ? Atau, apakah si kafilah bakal membalas menggonggong ke si anjing sehingga bikin suasana jadi ribut karena full gonggongan ? I don’t think so 😛

Lagipula, anjing mana ngerti bahasanya kafilah ? Buang energi lah yaw, kalo kafilahnya berusaha bikin si anjing mengerti.

Gue sempet penasaran juga, apakah mereka yang nosy itu tahu, kalau mulut bisa saja tersenyum & balas nge-joke saat menjawabi half-minute judgement dari mereka, tapi hati jadi terasa sakit ? Atau karena sekarang mereka sudah “merasa-hidupnya-lengkap”, seolah itu menjadi legitimasi bagi mereka untuk ber-hak “menilai” kami & melontarkan kembali pertanyaan serupa yang dulu mungkin pernah dilontarkan kepada mereka (oleh orang lain, mungkin ?) ? Humm, sepertinya itu adalah pertanyaan yang gue gak tahu apa jawabannya. Tapi… please deh, kenal dekat aja kagak; apa hak mereka untuk membanding-bandingkan & “menghakimi” usaha pasangan-pasangan muda (like us) yang sedang mulai menata hidup ? Apalagi kalau dikomentari lewat jokes-yang-bernada-melecehkan tersebut. It’s so unfair. Pheeew, (mostly) people in my country can be so nosy about “status”. Please, get a life. And find another way to start a conversation.

Kalau alasan (atau pembenaran ?) dari bersikap nosy itu adalah : “Kan itu tandanya mereka perhatian…”, atau “Kan cuma buat basa-basi aja…”, COME ON : masih ada banyak jenis pertanyaan lainnya yang bisa dilontarkan untuk  berbasa-basi, atau menunjukkan perhatian yang lebih tulus (… kalau saja mereka mau sejenak berpikir sebelum njeplak bertanya & berkomentar).

Sulit untuk berharap kalau orang2 tersebut bisa disulap-berubah menjadi sekeping-testpack putih yang bisu (yang mana kalau mereka jadi “sekalem” testpack, dunia pasti akan lebih aman-tentram damai 😛 ). Sulit juga kalau berharap mereka bisa belajar membedakan antara percakapan yang “friendly”, dengan percakapan yang bernada “nosy“. Friendly sih, friendly… tapi seringnya mereka suka jadi “over-friendly” alias SKSD (Sok Kenal Sok Dekat). Saat SKSD, (over)friendly ini disalahartikan oleh mereka dengan pikiran friendly means bisa “seenaknya” menyebrang masuk ke teritori urusan pribadi setiap orang & menanyakan hal tersebut di muka umum, seolah-olah itu seperti berkomentar soal cuaca, atau (yang lebih parah) menggunakannya sebagai guyonan/joke untuk mencairkan suasana. Serius deh, mereka itu memang merupakan sekumpulang orang-orang yang bermasalah dengan
kreativitas mereka, sampai tidak bisa menemukan topik lain saat membuka
percakapan dan kembali menanyakan “Gimana, udah hamil belom ??”.

Yeah, i admit that somehow life can be a cruel-joke, yang mana dalam hidup ini, pertemuan atau “papasan” dengan some cruel-people ini adalah nggak terhindarkan…  Tapi itu gak berarti gue harus membalas frontal bersikap “cruel”.  Yang pasti, gue selalu bisa memilih. Dalam hal ini, gue (dengan pasti) memilih untuk tidak mau menjadi seperti mereka, those nosy people. Hiiiy, amit-amit deh.

Gue & Baim juga nggak pengen kalau nanti punya anak hanya untuk “memuaskan” keingintahuan orang-orang nosy tersebut, atau punya anak karena dirongrong oleh rentetan ucapan “Kapan ?? Udah hamil blom ?”. Hak setiap pasangan dong untuk menentukan perencanaan hidup mereka. Toh orang2 nosy tersebut nggak berhak menghakimi orang lain atas seuatu yang datangnya murni karena kehendak dari Tuhan… Wahai nosy-people, emangnya lo siapa ? Tuhan ? Hiiih. Yo wis… Toh lebih membahagiakan bagi Baim & gue untuk terus saling mendoakan & saling-berusaha, fokus ke dukungan positif dari orang-orang tercinta, membangun impian & menikmati hari-hari yang dijalani bersama… serta meyakini bahwa segala sesuatu yang terindah dari Allah itu akan ditibakan Allah pada waktu & dengan cara yang indah. Insya Allah 🙂.

.

.

P.S : Eniwei kalo ada punya penilaian lain saat membaca ini, terserah. This is me, and this my own blog. Read at your own risk 😉

.

*) EmVet = Embriologi Vertebrata

**) based on our personal experience

***) (…dan jangan sampai !)