They said : Life is a-MAZE-ing. The life-path set before us has many deadends… like a maze, or, like a labyrinth. You see, maze and labyrinth gives you the “picture” of  a complex and confusing series of pathways… like life 😛 Mulai dari masuk ke dalamnya, berjalan untuk mencari jalan keluar, kepentok dead-ends & tembok, ketemu jalan lagi, kepentok lagi, bingung, jalan lagi… seterusnya, sampai menemukan jalan keluarnya. Banyak twists-and-turns, jalan-buntu, ruang-ruang, tembok penghalang… tapi kadang-kadang jalannya bisa lempeng begitu saja. Unpredictable. Mungkin kalau diatas kertas, keruwetan memecahkan complexity ini menjadi suatu tantangan yang membuat kening berkerut dalam, namun… tetap mengasyikkan. But, in a real life ? I don’t think so.

I’ve been in many maze before… or actually, still “playing” inside the same maze called Life 😛 The worst part is when you met a big wall, streched-out that seems like a dead-end… maybe the one like in Harry Potter movie (when Harry joined the final task of Triwizard Competition). Untuk melaluinya, ada banyak pilihan : either putar-arah mencari jalan lain, atau (kalau mau gila) : panjat dindingnya atau robohkan tembok itu dengan alat yang tersedia (kalau alatnya tersedia).

Saat ini, gue sedang berhadapan kembali dengan tembok tersebut. Setelah banyak bertemu jalan buntu, berputar balik, dan kelokan… gue kembali bertemu dengan dinding itu. I feel so exhausted, and drained. The wall (seems) too high to climb. Gue menyemangati-diri dengan nyanyi “Ain’t no mountain high enough…!”, tapi… ups, ternyata dinding ini memang tinggi & intimidatif.

OK. Gue coba untuk memanjatnya sekali, dua kali, sampai entah keberapa kalinya saat kemudian gue membatin “Mungkin seperti ini rasanya saat Sadako mati-matian berusaha memanjat dinding lubang sumur, sampai jari-jari tangannya kebas & sakit itu tak terasa lagi”.

Gue coba untuk merubuhkannya, yang ada badan gue malah sakit-sakit; sementara tembok itu tetap berdiri kokoh, tidak bergeming, seolah bertanya : “Apa lagi yang akan kau lakukan untuk melewatiku, eh ?”.

Gue coba untuk putar balik, berlari mencari jalan keluar lainnya, yang gue temukan hanyalah… dinding lainnya. Gue merasa seperti terperangkap, dan kelelahan.

Kalau dulu saat praktikum di lab, dimana gue dengan antusias mengamati tikus-tikus yang berlari panik & kebingungan saat mereka dilepas dalam sebuah labirin, sekarang gue bisa memahami bagaimana perasaan tikus-tikus tersebut… saat tikus tersebut terdiam meringkuk gemetaran di salah satu pojokan labirin. Nyaris gila.

*****

Well… sekarang disinilah gue, (masih) didepan dinding tersebut, dikungkung sekeliling gue yang gelap. Duduk diam & kelelahan… memikirkan jalan mana yang bisa gue ambil selanjutnya untuk melewati dinding tersebut & melanjutkan perjalanan…

Apakah kembali berusaha menerabas tembok (dengan tubuh sendiri) ? Atau sudah cukup kuat untuk kembali memanjat temboknya (tanpa ada tali yang tersedia) ? Atau…

… duduk didepan tembok tersebut, menerima kalau tembok ini terlalu besar & diri ini sudah terlalu lelah… kemudian berserah diri & mengirim sinyal kepada-Nya ?

Yang terakhir ini, bisa saja dilakukan… tetapi hanya Dia-lah yang tahu, kapankah sinyal tersebut dijawabnya.

Please, God… please help me to pass this wall.

I just want to move-on with my life.

Really i do.