Halooo semuanya…. Hari ini pada nyontreng surat-suara di TPS ? Semoga aja pada nyontreng yaa… πŸ˜‰

Kemarin malam jam 20.50 waktu Penang, AirAsia QZ7668 yang gue & Baim tumpangi mendarat mulus di Penang. Yup, baru balik lagi setelah 3 minggu bersenang-senang di negara tercinta πŸ˜› Alhamdulillah, kami tertolong sekali oleh bantuan Rash & Miem yang berbaik hati menjemput & mengantar kami sampai ke rumah. Sampai di rumah, kami langsung disambut oleh pekerjaan-beberes-rumah… dari mulai balikin kasur, cuci seprai kotor, sampai ke lantai kotor berdebu yang perlu disapu & dipel. Hahaaa… berhubung badan pegal-pegal (hasil menggeret 4 koper), malam tu mau langsung tidur aja deh… acara cuci2 & nyapu2nya ditunda sampai waktu yang tidak bisa ditentukan πŸ˜› PLUS, ternyata besok kami berdua harus ke Konsulat-Jendral RI di Georgetown buat NYONTRENG. Iyah, kami balik ke Penang ini sehari sebelum Pemilu.

Kalau melihat judul posting ini, sebenarnya perjalanan menuju ke Penang bukanlah bagian dari “perjuangan panjang untuk memilih” tersebut. Nggak, sama sekali nggak ada hubungannya. Banyak sodara & teman yang mengira kami ngebela-belain balik ke Penang sehari sebelum Pemilu untuk nyontreng di Penang; mereka sampe komentar: “Nanggung amat sih balik ke Penang-nya… abis pemilu aja, knapa ?? Nyontreng di negeri sendiri gitu loh..”. Well, sejujurnya, kami pulang sehari sebelum pemilu karena… promo tiket-terbang-murah ke Penang hanya berlaku sampe tanggal 8 April kemaren πŸ˜› Lagipula, nyontreng di Indonesia maupun di Penang ya sama aja tuh… sama-sama nyontrengin surat suara, cuma beda tempat. Ajaibnya, gue & Baim sama-sama terdaftar di dua TPS, yakni TPS dekat rumah kami masing-masing & TPS di KJRI-Penang. Hahaaa… inilah uniknya sistem pendataan pemilih di Indonesia, seseorang yang mendaftar 1x untuk pemilu aja bisa dapat beberapa surat undangan ke beberapa TPS yang berbeda… Jangankan begitu, yang udah wafat aja masih terdaftar & diundang serta untuk datang memilih ke TPS… malah yang hidup nggak dapat undangan & (terpaksa) golput πŸ˜›

Jujur aja, gue adalah salah satu dari sekian banyak orang Indonesia yang menjelang pemilu ini pernah berpikir untukΒ  “memilih-tidak-memilih”. Kenapa ? Simpel, karena gue nggak kenal sama calon2 wakil-rakyatnya. Yang gue tahu hanyalah : mereka super-narsis. Narsis ? Inilah bukti kenarsisan mereka : Dimana ada dinding, disitulah tertempel poster lambang partai atau poster wajah para caleg beserta partai yang diwakilinya. Dimana ada pohon, disitulah tergantung bermacam-macam bendera & umbul-umbul para caleg tersebut. Lihat juga ke berbagai spanduk para caleg yang bergelantungan dimana-mana (spanduknya, bukan caleg-nya). Mending kalo hanya spanduk aja… ini malah ada yang sampai bikin baliho segede-gede gaban segala. Di sebuah tepi perempatan besar di Jakarta, gue pernah lihat ada sebuah baliho promosi caleg yang dipasang disitu. Di baliho tersebut, si caleg berdasi & berjas itu nyengir lebaaaar… saking lebarnya, cengiran si caleg menghiasi hampir 70% luas balihonya. Bujubuset, ngeri amat lihatnya. Setiap lewat di perempatan itu, gue hanya berdoa… semoga ajadi perempatan itu nggak pernah terjadi tabrakan-beruntun akibat pengemudinya amazed (atau ketakutan ?) melihat cengiran-maut caleg tersebut…

…Kalo udah musim kampanye yang hanya beberapa minggu saja, pasti yang kelihatan cuma narsisnya aja. Apalagi caleg-caleg artis, beuuuuh… eneg banget deh lihatnya; pinter kagak, modal terkenal aja di layar tipi. Boro-boro bisa melihat pengabdian & kerja-keras mereka untuk masyarakat. Dalam masa kampanye sesingkat itu, para-caleg tersebut memilih untuk mengusung motto “Saya (harus) Narsis, Maka Saya Ada”. Mereka yang bisa jadi nggak pernah kedengeran hasil karyanya untuk masyarakat, tiba-tiba aja bermunculan dimana-mana, kayak jamur pas musim hujan. Poster & spanduknya bergelantungan dimana-mana. Lupakan pengabdian & karya mereka, yang penting tampil segencar-gencarnya agar dikenal & dipilih. Gue sendiri yang melihatnya malah jadi mikir, kenal aja kagak… apalagi melihat karya2 mereka untuk masyarakat; gimana gue mau yakin memilih ?? Ntar kalau dipilih, apa nggak jadinya kayak memilih kucing dalam karung ? Hweeeeh… jadi males juga datang ke TPS & memilih pas pemilu nanti, batin gue saat itu.

Kemudian… pas lagi di Jakarta, nyokap cerita tentang isu muda-mudi di wilayah RW kami yang pada mau golput & menolak datang ke TPS pas hari-H pemilu nanti. Nyokap cerita, salah seorang dewan penasihat RW menasihati muda-mudi tersebut : kalau muda-mudi tersebut mau golput, itu urusan mereka… tapi mbok ya golput-lah dengan cara yang “smart”. Meskipun nanti memilih untuk golput alias tidak menggunakan hak-pilih mereka, setidaknya gunakanlah jatah surat-suara mereka masing-masing. Kenapa ? Tahu sendiri-lah pemilu di negara ini… rawan kecurangan. Bukannya tidak mungkin kalau surat-suara jatahnya mereka yang golput & tidak datang ke TPS malah diselewengkan oknum2 yang ingin menguntungkan satu caleg tertentu. Tinggal kumpulin surat-surat suara yang masih kosong itu, trus diam-diam dicontreng di nama caleg yang membayar kecurangan tersebut. Intinya sih, se-golput-golputnya, golput-lah tanpa membuka kesempatan untuk oknum2 itu memperalat hak-pilih kita dengan cara memakai surat-suara yang tidak dipakai, demi keuntungan salah satu caleg narsis tersebut. Gituh.

Dari yang tadinya menolak untuk ikut nyontreng, gue berpikir kalau… iya juga sih, ide baru ini jauh lebih baik daripada samasekali apatis tidak memilih & tidak datang ke TPS. Jujur, gue nggak rela memilih satu diantara sederet caleg-caleg narsis tersebut, tapi gue lebih nggak rela lagi kalau suara gue “diperalat” & dipakai untuk menguntungkan salah satu caleg narsis itu. Pun memilih untuk golput, sekalian aja bikin agar surat suaranya tidak sah… jadi surat-suaranya nggak dibiarkan kosong & nggak dimanfaatkan. Terserah mau dibikin “tidak-sah” dengan cara apapun…Β  mau ditulis-tulisin “BISMILLAH” segede-gede gaban melintang diatas surat-suaranya, atau nyontreng semua nama caleg, atau menyalurkan bakat menggambar dengan membuat gambar iblis & gambar pak tani dan sawahnya di atas surat suara, atauΒ  nambahin gambar tanduk, kumis, jenggot, hati-love di foto para calegnya (turns out, ternyata surat suara di Pemilu 2009 ini nggak ada foto para caleg). Kayaknya opsi yang terakhir itu keren juga… πŸ˜›

Sampai tadi pagi pas cek status di facebook, gue & teman2 masih aja ngebahas opsi-golput-dengan-membuat-surat-suara-jadi-tidak-sa, sambil ngakak-ngakak. Geblek aja dah πŸ˜› Gue & Baim dapat kabar dari teman di USM kalau TPS dibuka jam 9.00 sampai 14.oo. Berhubung hujan deras baru berhenti mengguyur Penang menjelang siang hari (itupun hanya berubah jadi guyuran hujan gerimis) jadilah kami ke TPS di KJRI agak siangan… sambil payungan berdua dibawah rintik hujan gerimis. Ini, adalah pemilu paling romantis yang gue ikuti… wahahahaaa… πŸ˜›

Sampai di TPS KJRI Georgetown, kami disambut para staf KJRI yang juga jadi panwaslu. Mungkin karena belum jam istirahat & hujan masih deras mengguyur, TPS di KJRI ini masih sepi. Perkiraan gue, TPS baru ramai saat jam istirahat siang nanti… saat para mahasiswa Indonesia & para pekerja TKI bisa minta ijin keluar buat nyontreng. Setelah mendaftar & mengambil jatah surat-suara yang diberikan, gue pun masuk ke dalam salah satu bilik suara.

Kesan pertama saat membuka surat suara : ya oloh… biliknya segede kotak infak ukuran jumbo (yah…sejumbo-jumbonya, tetep aja kotak infak), tapi surat suaranya segede lembaran koran !! Didalam bilik suara itu, gue serasa kayak baca koran didalam…kotak infak mesjid πŸ˜› Mau ngejembreng surat suaranya, kepentok sama dinding kiri-kanan bilik. Yo wis, akhirnya gue lipat-dua aja tu surat suara.

Setelah bingung membuka & ngejembrengin surat-suaranya, gantian gue bingung mau nyontreng caleg partai yang mana.

Seketika, ide buat menyalurkan bakat menggambar gue di atas surat suara pun keluar. Tinggal pilih : mau gambar muka iblis segede gaban, gambar hati-“love” diantara nama dua caleg, gambar muka malaikat, atau gambar “droppings” di bawah lambang banteng salah satu partai (keren abissss)… udah, resmi deh surat suaranya jadi gak sah. Beres.

Tapi, tiba-tiba ada suara lain yang menyela. Suara yang mengatakan kalau… caleg pun manusia, sama hal-nya dengan mereka yang menyiapkan surat suara & keseluruhan acara pemilu ini. Sehina apapun kenarsisan para caleg yang gue lihat pas kampanye kemarin… nggak mungkin 100% caleg itu narsis semua. Pasti ada yang berkualitas bagus, yang pernah “kelihatan” karya & pengabdiannya untuk masyarakat. Kenapa tidak ? Juga, para caleg itu bisa jadi adalah bapaknya atau ibunya seseorang yang seumuran gue… atau tante-nya temen gue… atau kakaknya seseorang yang seumuran bokap-nyokap gue… atau sahabat dari seseorang yang tahu-benar kerja keras & kualitas baik dalam diri caleg tersebut (meskipun gue nggak tahu). Yah, tahu sendiri-lah apa maksudnya. Lalu, gue terbayang aja betapa merugi-nya negara kalau pemilihnya sampai golput; ini dari segi biaya nyetak surat suara. Dari orang-orang yang golput-by-demand aja, entah ada berapa lembar surat suara tuh yang tidak terpakai atau cacat (sengaja/tidak sengaja dibuat tidak sah) ? Kalikan dengan Rp 16.000,- (harga nyetak selembar surat suara). Itu baru dari yang golput-by-demand. Kemudian, tambahkan lagi dengan mereka yang (terpaksa) golput karena nggak terdaftar/nggak dapet undangan, alias golput-by-system. Nyetak surat suara tu pake duit, men…

Sementara para panitia yang (bisa jadi) semalaman menyiapkan acara pemilu ini… yah, mungkin saja ada diantara mereka yang nggak peduli, menganggap kegiatan ini sebagai lemburan untuk nambah pemasukan. Tetapi sebagai pekerja sekaligus duta negara, pastilah ada beberapa orang disitu yang berharap pemilu ini bisa berjalan lancar & jadi titik awal perubahan positif yang (sebenarnya) diharapkan oleh kami-kami juga, warga negara RI.

Dalam bilik seukuran kotak infak itu, seketika gue merasa kalau… nggak-patut aja jika event-sebesar ini dibuat jadi guyonan, atau disia-siakan. Separah-parahnya negara gue, senarsis-narsisnya polah tingkah para caleg, sekorup-korupnya oknum-oknum yang mengintai untuk kesempatan mencurangi jumlah suara… toh harapan akan membaiknya kondisi negara gue ini masih tetap ada, salah satunya dalam bentuk hak-pilih yang sekarang ada di tangan gue; menunggu untuk disalurkan dalam bentuk contrengan di salah satu nama caleg/partai, atau berakhir tidak digunakan dengan membuat surat suara gue jadi tidak-sah (apapun yang gue tulis diatas surat suara itu).

…akhirnya, gue memilih untuk memakai bolpen yang disediakan untuk mencontreng satu nama partai. Bukan unutk menggambar “droppings” dibawah lambang banteng salah satu parpol (meskipun gue pengeeen banget melakukan itu πŸ˜› ).

Yah… semoga saja 5 menit yang gue habiskan dalam bilik suara-nan-sempit itu bisa mengubah keadaan Indonesia untuk 5 tahun kedepan. Ini hanya harapan gue aja sih. But, who knows ? πŸ˜‰