Beberapa minggu yang lalu, ada seorang teman yang datang via YM ke gue sambil curhat meruntuk-runtuk. Gue pikir, oh… dia lagi bete kali yah. Yo wis, gue persilakan aja untuk curhat online.

Tapi, setelah satu runtukan disambung runtukan lainnya, kok runtukan teman gue ini berubah menjadi cacian & makian ?? Iya sih… caci-makinya tidak ditujukan kepada gue. Tapi gue yang membaca runtuk-caci-makinya di YM (maaf-maaf aja) langsung males & jengkel. Males & jengkel karena pertama : menurut gue, hal yang saat itu dia runtukki seharusnya tidak perlu ditanggapi seimpulsif itu, sampai panas mencaci-maki. I mean, it’s just a technical problem. Lagipula, kalau mau mencaci maki, datangilah subjeknya sana… Bukan ke orang yang menyediakan telinganya untuk mendengar & mau membantu cari solusi, karena kedua : “Hey, gue disini sebagai pendengar, bukan sebagai “tempat-sampah” lu. Mbok ya nggak perlu sampai mencaci maki gitu. Biasa aja lah. Bikin sakit kuping, tauk..!”. Kalau nurutin rasa BT, gue pengen bilang itu ke dia. I really meant it, tapi gue tahan aja. Ntar gue jadi sama-saja kayak dia dong. Lagipula, susah juga ngasih-pengertian ke orang yang lagi “panasan” kayak gitu.

Bukannya gue nggak mau mendengarkan curhatannya, tapi… setidaknya dalam curhat-pun tolong tetap beretika, menghormati pendengarnya dengan tidak meluncurkan caci-maki yang salah-alamat (again, meskipun caci-maki itu ditujukan untuk orang lain, bukan untuk gue).

Gara-gara YM gue “disampahi” (again, meski gue tahu, cacimaki itu tidak ditujukan kepada gue), gue jadi merasa terganggu, alih-alih lebih banyak bersimpati. Duh, niat gue yang tadinya mau ngebantu dengan mendengarkan teman gue itu, gara2 umpatan-tidak-pada-tempatnya itu malah berganti jadi rasa sebel 🙁

Sebelum rasa sebel makin menjalari hati, akhirnya gue beranjak meninggalkan layar laptop, bikin teh. Sementara gue menyeduh teh di dapur, sinyal pesan masuk “ding…! ding…! ding…!” di YM masih terdengar, pertanda si teman itu masih nyampah. Ya sudah, biarkan saja; gue nikmati aja dulu teh gue sebelum kembali mengecek YM. Toh kalopun dia masih nyampah di YM, bersihinnya gampang kok : delete aja.

Selesai menikmati teh, gue baca sekilas YM messages-nya yang baru.Masih dalam curhatan yang sama, disela repetan caci-makinya, si teman ini juga cerita kalau dia lagi ada masalah lain (masalah lama yang belum terselesaikan). Dia merasa sangat kecewa karenanya… saking kecewanya sampai dia nggak mau menggantungkan harapan apapun lagi & nggak mau bermimpi lagi.

Oh, jadi tadi dia mencaci maki itu karena lagi tertimpa masalah-masalah lain juga tho, pikir gue. Yah, sedikit bisa dimengerti-lah. Tapi, bagaimanapun juga, tetap… curhat-pun harus ber-etika. Akhirnya gue memutuskan untuk menstop lepasan energi negatif yang secara nggak sengaja “ditularkannya” lewat pesan YM berisi runtukan & cacimaki itu. Kebetulan, saat itu jam sudah menunjukkan waktu masuk magrib & Baim sudah mengajak untuk magrib bareng. Akhirnya gue suruh aja si teman itu untuk maghrib dulu, siapa tahu air wudhu bisa “mendinginkan” akal & hatinya.

Fiuuuuuhh.

Selesai sholat, perasaan gue jadi lebih enak. Tapi, ada satu hal yang terbetik dalam benak gue. Tentang tadi apa yang teman gue itu runtukki sebagai “berhenti bermimpi”. Berhenti bermimpi. Iseng, gue bertanya ke Baim :

“Im, menurut kamu, ada yang salah nggak dengan ‘bermimpi’ ?”

“Bermimpi ? Nggak ada salahnya kok,” jawab Baim, “Mimpi itu kan rejeki… masih bagus kalo bisa mimpi, apalagi yang indah-indah.”

“Terus Im, kalau menurut kamu ada orang yang memilih untuk berhenti bermimpi, itu kenapa ?”

Baim terdiam sebentar, “Yah, sebenarnya menurut gw sih nggak ada yang salah dengan bermimpi…” ucap Baim, “Yang jadi bikin ngaruh itu, apa yang dia lakukan dengan mimpinya ? Apa itu jadi motivasi ? Atau cuma diangan-angankan aja ?”

Hal yang serupa juga dijawab oleh sobat gue, Mariani : “Mimpi tuh nggak salah. Cuma yang aneh tu kalo setelah bermimpi, lu cuma duduk membayangkan mimpi aja, Mimpinya nggak dijadikan inspirasi untuk melakukan sesuatu..”

Bener juga sih.

Apapun itu namanya… impian, mimpi, cita-cita, harapan…

Bukan apa yang kita harapkan, cita-citakan atau impikan saja yang akan membentuk kita, tapi apa yang kita lakukan setelahnya, that’s what really matters.

Satu lagi : gue membayangkan bermimpi itu seperti naik gantole.
Diatas sana pas terbang naik gantole, semua terasa deg-degan tapi enak & banyak anginnya. Benda2 & pemandangan yang ada di daratan tampak indah saat dilihat dari atas. Plus, rasanya pas kalau udah terbang tinggi, ketinggiannya pengen ditambah lagi. Padahal harap diingat, sampai di ketinggian udara tertentu, semakin besar pula resiko untuk drifted (hanyut) oleh angin & jatuh terhempas. Thus, jangan heran kalau makin tinggi terbang ya makin sakit juga saat terhempas jatuh & mendarat di daratan-bernama-kenyataan.

Bukan, bukan berarti nggak boleh terbang tinggi-tinggi oleh mimpi yang kita punya; kenyataannya, impian, cita-cita & harapanlah yang membuat hidup ini bearable & layak untuk terus diperjuangkan… yang membuat hidup penuh oleh target-target yang hasilnya manis saat diwujudkan. Inget jaman masih kecil kita suka bermimpi & punya cita-cita jadi dokter, jadi orang kaya, jadi artis, jadi pelukis atau jadi penyanyi ? Jaman SD dulu kita juga belajar peribahasa “Gantungkan cita-citamu setinggi langit” ?

Tapi… ada baiknya saat bermimpi & berharap, bekali-lah diri dengan keuletan, tools & planning yang jelas; supaya perwujudan impian & harapannya spesific, measurable, achievable & realistic. Supaya terasa berharga, menggigit, menantang & manis saat direalisasikan. Ibaratnya, kalau mau terbang tinggi menikmati indahnya pemandangan daerah Puncak & Sukabumi, naiklah gantole. Belajar juga cara mengemudikan gantole, biar pas terbang nggak oleng. Tapi kalau mau terbang menikmati pemandangan se-pulau jawa, ya Jangan naik gantole… itu sih namanya bunuh diri. Naiklah pesawat. Nabung buat beli tiketnya. Kalo maksa naik gantole, bisa-bisa lu either mati di jalan, kecelakaan atau (paling untung) trauma naik gantole lagi (dalam analogi hal ini : kapok bermimpi).

Dan jangan lupa, siapkan parasut atau pelampung pengaman. Buat jaga-jaga, misalnya pas lagi nikmat-nikmatnya merealisasikan mimpi sambil terbang bermimpi lebih jauh, trus tiba2 ada angin menyerbu & menarik jatuh menuju daratan-bernama-kenyataan. Nggak ada yang salah dengan menyiapkan parasut, pelampung pengaman, atau plan-B. Gunanya, kita jadi nggak mejret pas terhempas mendarat di daratan-bernama-kenyataan. Kalopun lecet-lecet sedikit, bersabarlah… nanti akan sembuh. What doesn’t kill you will make you stronger. Dan kemudian kita jadi tahu, setelah itu kita mau melakukan apa untuk kembali mewujudkan impian & harapan kita.

So, don’t stop dreaming. Don’t stop hoping.

.

“Nothing happens unless first a dream”
(Carl Sandburg)

“Without leaps of imagination, or dreaming, we lose the excitement of possibilities. Dreaming, after all, is a form of planning”
(Gloria Steinem)

“Dreams are necessary to life. To accomplish great things, we must not only act, but also dream; …not only plan, but also believe”
(Anatole France)

“Mimpi adalah kunci… untuk kita menaklukan dunia….”
(
Nidji – Laskar Pelangi)