…Kamis pagi, 9 Oktober kemarin, sebuah sms masuk saat gue masih mengucek-ngucek mata. Baru bangun tidur.

Ternyata dari ayah. Isinya : “A’O, pagi ini bunga matahari yang ayah tanam berbunga…”

Membaca sms itu, semangat gue naik seperti batere HP yang sedang di-recharged. Hehehe, bukannya kenapa2, tapi ada cerita dibalik sms itu.

Juli lalu, saat gue sedang menyiapkan pernikahan, gue bingung menentukan jenis suvenir apa untuk ucapan terimakasih. Bingung karena gue gak mau jadinya membuang-buang budget hanya untuk suvenir yang kelihatannya aja lucu. Yah, lets face it… kebanyakan barang-barang suvenir pernikahan biasanya berakhir tidak terpakai, atau hanya dipakai sebentar. Barang-barang kecil tapi lama kelamaan menumpuk gak terpakai. Gue pengin ngasih sesuatu yang bisa lasting sekaligus ada “value”nya. Gak hanya sekedar benda. Tadinya, gue pengin ngasih suvenir berupa bungkusan kecil berisi kue kering atau cokelat, dengan harapan bisa langsung dimakan & nggak terbuang. Tetapi mengingat belum tentu semuanya awet sampai malam saat resepsi berlangsung (selain harganya ternyata selangit :P), gue mengurungkan ide tsb.

Sampai 3 minggu sebelum acara pernikahan, gue masih belum memesan suvenir. Antara desperate, malas tapi masih penasaran mencari-cari, gue buka lagi contoh2 suvenir di majalah2 edisi pernikahan. Baca… baca… baca… eh, gue menemukan sebuah artikel ttg suvenir, berjudul “The Gift that Keep on Giving”. Disitu ada sebuah suvenir yang nggak biasa : sebuah pot terakota kecil berisi tanah yang didalamnya ditanami biji tanaman. Pot-nya kemudian dibungkus plastik transparan dan diberi direction ttg bagaimana merawat semaian tersebut sampai menjadi tanaman besar. Wah, benar2 hadiah yang terus memberi… memberi keindahan saat tanamannya tumbuh nanti Membaca artikel itu, gue yakin dalam hati kalau “Suvenir ini gue banget !”. Tapi… kalau ngasih dalam bentuk pot tentunya terlalu besar. Dan repot. Gak nyaman juga kalau sepanjang acara nikahan, tamunya kemana-mana bawa pot tanaman Gimana ya, agar bisa dikantongin…

AKhirnya gue memutuskan untuk memberikan biji tanamannya saja. Biji tanaman, karena kuat dalam kondisi apapun, dimana alam memang mendesain biji untuk berada dalam hibernate MODE-ON alias mengalami masa dormansi (puasa) sampai nanti dia menemukan tanah yg cocok, air & sinar matahari secukupnya untuk tumbuh. Rencana gue, biji tersebut gue taruh dalam sebuah amplop kertas kecil ukuran 7 x 11 cm. Di depan amplopnya akan ditulis ucapan terimakasih, di bagian belakangnya akan dibuat panduan untuk menanamnya. Lalu, jenis tanamannya. Gue ingin biji tanaman yang manakala tumbuh nanti menimbulkan rasa bahagia bagi mereka yang menanam & menantinya untuk tumbuh besar, berbunga. Berarti… itu harus tanaman yang berbunga. Nah, di tempat macam Indonesia yg kaya matahari sepanjang hari, kenapa gak gue kasih bunga matahari (Helianthus annuus) aja ? Lagipula, siapa yang gak senang melihat cerianya bunga kuning yang merekah menatap matahari, tumbuh di pekarangan mereka ? Anyway, bagi mereka yang percaya sama primbon, katanya menanam bunga matahari dapat membawa makna baik si bunga -yakni membawa kebahagiaan, kedamaian & keharmonisan rumah tangga- kepada si penanam πŸ˜‰ Gue mah percayanya kalau lihat bunga mekar bersemi itu bikin hati senang, happy dan adem-tentrem.

Biji bunga mataharinya gue pesan dari sebuah nursery di Malang. Infonya dapat dari teman sekantor ayah yang pernah memesan biji bunga tsb. Pas gue telepon nursery-nya & menanyakan viabilitasnya berapa %, pak Chandra si pemilik nursery menjawab 80 %. Baguslah . Untuk amplopnya, gue pesan di tempat yang sama dengan tempat gue bikin undangan pernikahan. Amplop kertas simpel bergambar hiasan bunga matahari bergaya art-noveau; di bagian belakangnya bergambar petunjuk menanam bunga matahari… ada simbol diberi air sedikit & banyak paparan cahaya matahari. Semua gambar gue buat sendiri. Gue masukkan pula proverb Cina “one generation plants the tree, another gets its shade” sebagai pesan-nya. Gue harap mereka yang mendapat suvenir ini terdorong untuk menanam biji bunga yang diberikan… Hadiah yang gak hanya diberikan sebagai hadiah, namun juga disemai untuk terus memberikan hadiah keindahan kpd penyemainya & sukur-sukur, kpd anak-cucu mereka juga.

(Tapi…. gue lupa nulis di petunjuknya kalau bibit bunga matahari ini harus ditanam di tanah yang berserasah, banyak kena sinar matahari, gembur, lembab, hangat & bijinya ditanam sedalam kira2 10-15 3-4 cm ??? Hehe, agak kebanyakan buat ditulis di amplop seukuran 6×8 cm sih, tapi yasudah-lah…)

Paket bibit bunga matahari dari Malang tiba di rumah gue 2 minggu sebelum hari pernikahan gue, dan amplopnya gue ambil 2 hari kemudian. Saat biji bunganya datang, ayah & gue langsung coba menanam 10 biji untuk melihat berapa hari kecambahnya akan keluar. 2 hari sebelum hari pernikahan gue, sudah ada 8 kecambah tumbuh setinggi 10 cm di pot tempat gue menanam si biji bunga.

Btw, U know what ? Akhirnya gue mengerjakan suvenir nikahan secara ekspress. Seminggu aja, coba ! Lumayan juga sih… pas malam-malam gue gak bisa bobo, gue ngerjain suvenir itu sendirian di kamar (sekaligus kontemplasi & menjauhi stress, hahaha). SaatΒ  tante2 gue datang bareng 2 sepupu cewek gue, Tita & Arin, gue minta bantuan mereka semua untuk mengemas si biji bunga dalam amplop. Dari 3 kg biji bunga yang dipesan, semuanya habis terkemas ke dalam 650 amplop Seusai acara nikahan, tadinya gue mau bawa satu amplop biji untuk ditanam di apartemen di Penang… tapi ternyata suvenirnya abis, hiks.

Di Oktober kemarin, terhitung dua bulan sejak Agustus, gue banyak menerima kabar dari saudara & teman-teman gue, bercerita tentang suvenir biji bunga yang mereka tanam. Tante Ellie menanam biji bunga-nya di beranda apartemen & mengabari gue dengan sms : “Hi pengantin baru…masih honeymoon-mode yaaa? Hehe, mau ngabarin niy kalau biji bunga mataharinya dah numbuh :)”. Lewat YM, sahabat gue sesama guru Haiskup, Nining, bercerita kalau dia menanam biji bunga matahari bersama 2 anak cowoknya, “mereka seneng gitu, Ni…nanem biji bunganya di halaman”. Adit, temannya Baim, juga mengabari hal yang sama di guest-book MP; begitu pula dengan Amalia, sepupu gue & Baim, yang mengabari lewat MP πŸ™‚ Ditambah lagi sms ayah yang mengabari kalau bunga matahari yang ditanam bareng gue udah berbunga, meski belum besar-besar banget. Gue pengen banget ngeliat bunga-nya… Pas, dua bulan waktu yang dibutuhkan benih bunga mataharinya untuk sampai berbunga, hehe. Pastinya agar berbunga, butuh siraman air yang secukupnya saja & banyak limpahan sinar matahari.

Kocaknya, karena bentuk si biji bunga mirip dengan penganan kuaci, beberapa orang sempat mengira itu biji kuaci untuk dimakan !? Hehe, bisa juga sih, karena kuaci di Indonesia kebanyakan berasal dari biji bunga matahari (kuaci yg warna bijinya garis2 item), selain kuaci biji semangka yang putih-putih itu. Tante Tina (yang waktu itu sedang hamil) iseng memakan beberapa biji saat mengemas biji2an itu… katanya kuaci itu cemilan yg bagus buat orang hamil πŸ˜€

Om-nya Baim, ami Ajid, juga iseng memakan biji bunganya ; ini cerita dari Mutia, adiknya Baim. Katanya, setelah pesta resepsi, anggota2 keluarga lainnya berspekulasi tentang “Apakah suvenir biji bunga matahari ini untuk ditanam atau dimakan ?”.

Sebagian anggota keluarga bilang, “Ini mah buat ditanam…lihat aja nih di amplopnya ada gambarnya, itu ditanam trus disiram…!”; sementara yang lainnya bilang, “Ah, nggak… nih lihat, bentuknya aja kayak kuaci. Jadi buat dimakan, atuh !”. Untuk mengakhiri polemik tersebut πŸ˜› ami Ajid akhirnya memutuskan untuk mengambil sebiji & memakannya. Sesaat sebelum memakan biji bunga, ami Ajid terdiam, lalu menatap istrinya & berpesan :

“…Mamah, jagain anak-anak yah…”

Kontan semua anggota keluarga yg tadi berdebat, jadi ketawa ngakak. Aya-aya wae πŸ˜€

Anyway, gue senang banget mendengar cerita-cerita bernada happy & kocak dari saudara & teman-teman saat mereka menanam biji bunga mataharinya (ataupun mencoba untuk memakannya, hehe). Happy-nya gak hanya setelah bunganya keluar & bisa dinikmati. Mungkin sekarang-sekarang ini saat bunganya belum muncul, perasaan happy-nya datang either saat mengamati kecambah-kecambah yang akhirnya bermunculan & tumbuh, atau saat menanam bunga bersama orang tercinta. Gue senang aja, menyadari kalau suvenir yang diberikan kemarin jauh dari sekedar “a gift” semata…but a Gift that will keep on giving, as it grows. Insya Allah πŸ™‚