… Perjalanan gue menuju Penang ?

Kacau.

Mari kita lihat kronologisnya :

Sehari sebelum keberangkatan : Gue baru mulai packing (not again !!!!) sehari sebelum keberangkatan, karena hari-hari sebelumnya keluarga masih berdatangan ke rumah, plus kami diminta oleh banyak tetua untuk datang sowan ke rumah mereka dengan alasan sebentar lagi kami akan meninggalkan Indonesia. Jadi sowan sekalian pamit. Kalau gue datang, gue jadi gak kunjung bisa ngepak… tapi kalo gak dateng, ntar kualat.

Semalam sebelum keberangkatan : gue teler + stress karena 4x menata-ulang isi koper gue. Gimana nggak stress, tiap kali ditimbang oleh Baim : Overweight !! Sampai 10 Kg, malah !!

Hari keberangkatan (27-08-08) :

pk.13.00 :

Koper gue baru selesai di-pak (2 jam sebelum gue & Baim berangkat ke airport; Di flight-initienary, pesawat take off pk.17.00 wib, jadi minimal jam 14.00 gue & Baim udah berangkat ke airport

13.35 :

Baim & gue berangkat ke Cengkareng, diantar ibu-ayah-tante Ning-Gansu.

15.00 :

Mobil yg kami tumpangi terjebak macet di jalan tol Bandara. Gue Satu setengah jam perjalanan menuju bandara, coba ??? Gue udah gak bisa mikir. Panik. Akhirnya, gue milih tidur. Baim milih bengong, sambil sesekali sms-an

15.45 :

Menginjakkan kaki di terminal keberangkatan int’l. Setelah ktemu abah & Ahmad (kakaknya Baim), kami langsung masuk utk check-in bagasi. Ternyata… antrian check-in bagasi pesawat & pengurusan visa sudah puanjaang. Crap !

16.20 :

Baru selesai check-in. Masih harus urus Visa. Gw nurut & ngikutin Baim ke loket manapun dia pergi. Gue baca di lembaran check-in, tertulis bahwa Boarding Time : 16.30 wib.

Gue Tanya Baim, apa cukup mengurus visa dalam waktu 10 menit ? Baim cuma menjawab dengan cengiran pasrah.

16.40 :

selesai ngurus Visa. Ibu-Ayah-Abah-Tante Ning minta gue & Baim keluar sebentar untuk pelepasan sebelum berangkat.

Hiks… gue nyaris nangis pas pamitan ma ibu-ayah-abah-tante Ning.

16.45 :

Gak jadi nangis karena Baim ngasi tahu kalau kami udah terlambat 15 menit masuk gate. Kami buru-buru pamitan. Pesawat berangkat 17.00 wib.

Crap ! Craaap !!!

16.55 :

Tersaruk-saruk masing-masing menyeret 1 rolling-cabin bag, memanggul 1 ransel laptop + 1 travelling bag, gue & Baim lari menuju gate D-4, mengejar keterlambatan boarding time. Kayak film AADC banget deh, kalo inget gimana kami lari-lari di airport menuju gate gitu…

Cuma, disitu gue nggak sedang ngejar Nicholas Saputra & berteriak “Ranggaaaa…!” 😛

16.59 :

Baru di mulut gate. Ternyata bersama 3 penumpang  yang mau berobat ke Penang. Pikiran jahat pun  muncul : yaaah, Gak bisa diselak 😛 Sabar… sabar… Toh sama-sama telat ini.

17.00 :

Ternyata pesawatnya diparkir jauuuuh di tengah lapangan udara, rada deket  ke runway… jadilah kami nunggu bus yang bisa ngangkut kami kesana.

Sabar… sabar… Toh pesawatnya masih parkir.

17.15 :

Akhirnya gue & Baim menaiki tangga pesawat; ngos-ngosan, sekujur tubuh pegal-pegal & basah karena keringetan.

Dengan diiringi tatapan menuduh & keluh-kesah dari para penumpang yang sudah nyaman duduk sedari 15 menit yang lalu mengenai keterlambatan kami ini, kami melipir-lipir di aisle pesawat mencari 2 kursi buat diduduki plus space di kabin yang masih kosong, not to mention sesekali tersandung rolling-cabin bag yang kami bawa & sambil mengguman “maaf, permisi…” dan “excuse me…”, meminta jalan.

Memang mengesalkan kalau pesawat yang kita tumpangin delayed atau terlambat terbang sampai berjam-jam. Tapi kalau cuma telat terbang beberapa menit, plis deh, biasa aja, wahai para penumpang yang tepat waktu masuk ke pesawat. Dengan reputasi maskapai penerbangan yang gue naiki, gue yakin, ini bukan jenis keterlambatan yang akan tertunda sampai 5 jam. Gue jadi bête manakala penumpang2 menghujami kami yang terlambat dengan tatapan sinis atau berkeluh kesah. For God’s sake, keterlambatan itu karena akses ke bandara yang juelek setengah mati, bukan karena kami keasyikan belanja di PS atau PI Mall.

Mungkin kombinasi sisa kepanikan karena telat plus capek lari-lari ngejar boarding time sambil bawa rolling-cabin bag kami yang gak bisa dibilang enteng (terakhir ditimbang, beratnya 10 kg), gue jadi sebel manakala melihat beberapa orang yang tadi complain & juga duduk di seat sebelah aisle malah seenaknya menopang kaki sampai menjorok ke aisle (Tolong ya, ini duduk di dalam pesawat, bukan di halte bus). Trus ada penumpang yang bolak-balik ke toilet. Ada juga yang udah duduk, eh berdiri lagi untuk cari seat lain. Ada juga yang sibuk pindah-pindahin isi kabin demi mencari tempat yang lebih luas, manakala masih ada penumpang lain yang ngantri cari seat dibantu oleh kru pesawat yang sibuk lalu lalang. Beneran deh, penumpang macam gitu tuh gak decent, gak tahu sopan santun naik pesawat !!!

Cobaan yang gue dapat kayaknya gak berhenti sampai disitu, karena gue gak sengaja menyenggol ibu-ibu menor, yang kemudian melirik sinis ke gue. Maaf-maaf, tapi badannya butuh jatah 2 kursi daripada 1 kursi yang tersedia buat dia. PLUS, seorang cowok guendut yang ngantri di belakang gue dengan seenaknya menyelak gue karena matanya menangkap celah sisa yang kosong di kabin yang terbuka didepan jalan gue. Bagus, nyaris gue dimakan ibu-ibu itu, sekarang gue kegencet kelek tu cowok, not to mention kepala gue kesundul tasnya. Crap.

Tapi gue gak bisa berharap juga kalau semua penumpang dalam pesawat tersebut adalah manusia yang berbudaya. Yang penting gue & Baim bisa duduk di pesawat ini & berangkat ke Penang. Berkat bantuan para pramugari, rolling-cabin bag & travelling bag kami bisa disimpan, meski terpencar di 3 kabin yang berbeda karena nyempil dimasukin di sisa ruang dalam kabin manapun yang tersisa. Gue & Baim baru bisa menghembuskan napas lega setelah duduk di  2 seat yang tersisa di barisan paling belakang. Seorang pria India yang duduk di seat sebelah aisle tersenyum & berdiri keluar agar kami bisa masuk & duduk (God bless you, Sir !).

Setelah menaruh ransel laptop dibawah kaki kami senyaman mungkin, Gue menoleh ke Baim yang keringetan & capek. Iya-lah capek, lha wong habis lari-lari ngejar pesawat sambil bawa 3 barang segede-gede orang. Sambil memasang sabuk pengaman, Baim berkata kalau gue & dia beruntung mendapat seat paling belakang.

Gue bertanya apa alasannya.

Baim menjawab, karena kalau sampai pesawatnya kecelakaan, jatuh, atau badan pesawatnya robek, prosentase kemungkinan kami untuk selamat lebih besar dibandingkan penumpang lain yang duduk di bagian tengah atau bahkan badan-depan pesawat.

Baim memang suka bercanda. Tapi kali ini… sumpah, becandanya gak lucu sama sekali !!!

AKhirnya jam 17.30, pesawat yang kami tumpangi lepas landas, heading to west. Baru setengah jam kami menikmati empuknya sandaran kursi pesawat, pesawat memasuki ruangan turbulensi & berguncang cukup keras. I meant it, guncangannya keras. Gue sampai memejamkan mata & mencengkram pegangan seat gue. Melihat gue mulai parno, Baim menenangkan gue dengan bilang kalau gue boleh panik jika pesawat berguncang keras DAN tampak keluar asap dari mesin jet atau bagian yang lain, which means, engine failure.

Makasih, Baim. Keterangannya benar-benar membuat gue TAMBAH PANIK !

Tampaknya selama penerbangan ini berlangsung, Baim sama sekali tidak bisa menenangkan hati & pikiran gue karena terus memberitahukan gue fakta-fakta mengerikan tentang kecelakaan pesawat. Sebelum Baim  mulai bikin gue makin senewen, gue mengalihkan perhatiannya pada kereta makanan yang lewat di aisle & membujuknya membelikan gue segelas minuman cokelat panas beraroma French vanilla. Sementara Baim asyik menenggak habis minuman isotonic beraroma lemon, gue menyesap perlahan cokelat panas gue sambil menikmati indahnya matahari terbenam di horizon langit, membiaskan cahaya temaram diantara gumpalan awan-awan yang berarak.

Gue masih bisa melihat relief alam berupa kelokan sungai di daratan hijau gelap sebelum malam turun & pesawat kembali memasuki ruangan turbulensi, kembali berguncang keras. Turbulensi terjadi lagi sampai beberapa menit sebelum kami memasuki perairan Malaysia. Ternyata cuaca di Sumatra & Malaysia sedang hujan, sehingga udara diatasnya berat dipenuh titik air, tekanan udara & muatan ion menyebabkan turbulensi tadi.  Setelah melewati segumpal awan berisi cuaca yang kurang baik, iseng gue memandang keluar jendela. Gelap, sih. Tapi mata gue mencari-cari sesuatu… dan menemukannya.

Di tengah kegelapan mata gue menangkap titik-titik cahaya serupa lampu. Baim yang ikut mengamati bertanya, itu cahaya apa. Gue jawab, itu cahaya lampu dari kapal-kapal di tengah laut, which means…daratan pulau Pinang-atau yang oleh para bule lazim disebut Penang, sudah dekat. Tak lama kemudian suara empuk pramugari mengumumkan kalau 10 menit lagi pesawat akan mendarat di Lapangan Udara Internasional Penang & semua penumpang harap duduk dan menggunakan sabuk pengaman di kursi.

Mata gue mengamati semakin banyak titik-titik lampu kapal di tengah laut, dan seiring dengan melajunya pesawat, titik-titik cahaya tersebut semakin banyak, lalu membentuk relief garis pantai pulau Pinang. Lebih banyak lagi terlihat cahaya-cahaya dari lampu mobil yang terlihat berseliweran di jalan, cahaya dari bangunan-bangunan perumahan, apartemen-apartemen atau pertokoan dibawah sana. Gue tersenyum melihat cahaya dari kota yang akan gue & Baim tinggali nanti.

The best thing is… akhirnya gue nyampe di Penang, bareng Baim 😉